Hadapi perubahan ikllim, ilmuwan Filipina rekayasa varietas padi
2023.07.28
Los Baños, Filipina
Pusat penelitian padi ternama di Filipina, negara yang rentan terhadap perubahan iklim, mengatakan mereka sedang mengembangkan varietas padi yang dapat bertahan dari kekeringan, suhu ekstrem, dan banjir.
Para ilmuwan di Institut Penelitian Padi Internasional (International Rice Research Institute - IRRI), di Los Baños, sebuah kota di selatan Manila, mengatakan mereka bekerja sepanjang hari karena mereka percaya bahwa “tidak ada tanaman yang serentan padi dalam menghadapi pemanasan global.”
Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga tersebut dan mitra-mitranya telah menghasilkan varietas padi yang dapat tumbuh di tengah kondisi cuaca buruk dan di tanah yang terpapar garam tingkat tinggi – sebuah tren yang menurut para ahli diperkirakan akan menjadi lebih sering dan ekstrim akibat perubahan iklim.
“Kami perkirakan di tahun-tahun mendatang, dengan perubahan iklim dan frekuensi topan dan kekeringan, kami mungkin membutuhkan lebih banyak varietas ini,” kata Alice Laborte, ilmuwan senior di IRRI, kepada sejumlah wartawan yang diundang ke institut tersebut pada awal bulan ini.
Beras adalah sumber makanan utama bagi banyak penduduk Asia, benua yang merupakan rumah bagi lima dari 10 negara terpadat di dunia: India, China, Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh.
“Jadi di IRRI, yang kami lakukan adalah melihat di mana varietas ini paling dibutuhkan,” kata Laborte.
Setelah varietas ini tersedia, petani dapat melakukan penanaman di “lingkungan stres” apa pun, kata Wakil Menteri Pertanian Filipina Mercedita Sombilla pada kesempatan yang sama.
“Mereka dapat terus memanen padi dalam kondisi yang berbeda dan jika beras tersedia, tentu akan menstabilkan produksi lokal dan pasokan lokal, sehingga akan menstabilkan harga beras,” katanya.
Awal bulan ini, Organisasi Meteorologi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan peringatan tentang kenaikan suhu setelah sebelumnya melaporkan bahwa fenomena cuaca El Niño telah muncul di wilayah Pasifik yang tropis untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun.
Pada saat yang sama, biro cuaca Filipina mengumumkan fenomena El Nino telah mulai dan memperingatkan warga Filipina bahwa dampaknya dapat dirasakan sampai akhir tahun.
Menurut para ilmuwan, kekeringan akan memengaruhi 88.800 mil persegi sawah di Asia Selatan dan Tenggara, dimana banyak penduduknya adalah petani. Kekeringan dianggap sebagai bencana yang dianggap merusak dengan dampak paling luas dari semua bencana lingkungan, dan dengan curah hujan yang rendah, petani yang mengandalkan sawah tadah hujan atau tidak memiliki fasilitas irigasi akan gagal mengumpulkan air yang cukup untuk menyiapkan lahan mereka untuk tanam padi
IRRI mengatakan varietas padi yang toleranterhadap kekeringan telah dirilis di beberapa negara dalam beberapa tahun terakhir, termasuk India (varietas Sahbhagi Dhan), Filipina (varietas Sahod Ulan), dan Nepal (varietas Sookha Dhan).
Varietas lain yang dikembangkan untuk tahan terhadap kondisi cuaca ekstrem adalah padi tahan banjir yang ditanam di Filipina, dimana terjadi rata-rata 20 badai per tahun, dan di beberapa tempat lain di Asia.
Banjir – baik dari banjir bandang atau genangan air – mempengaruhi tanaman padi pada setiap tahap pertumbuhan. Ketika tanaman benar-benar terendam, peluang mereka untuk bertahan hidup “sangat rendah”, menurut IRRI.
Banjir menyebabkan petani di Bangladesh dan India kehilangan sekitar 4 juta ton beras setiap tahunnya. Angka tersebut, menurut para ilmuwan, dapat mencukupi kebutuhan pangan bagi 30 juta orang.
Ketika topan besar Rai melanda Filipina pada Desember 2021, negara itu kehilangan hasil panen dan lahan pertanian yang diperkirakan mencapai US$215 juta (11,7 miliar peso), dan tanaman padi musnah di beberapa wilayah.
Merujuk pada percobaan IRRI, Laborte mengatakan bahwa varietas padi biasa benar-benar musnah selama banjir tetapi varietas yang tahan rendaman “masih berdiri”.
“Hasil panennya memang tidak setinggi padi hibrida, tetapi dalam situasi banjir, ini adalah taruhan terbaik bagi petani untuk tetap mendapatkan penghasilan dari produksi beras,” kata Laborte.
Di Bangladesh, yang wilayahnya merupakan dataran rendah dan rentan terhadap banjir, penelitian IRRI menemukan bahwa petani mendapatkan penghasilan tambahan $92 (10.000 taka Bangladesh) per hektar dengan menanam varietas padi tahan banjir.
“Ada keuntungan besar bagi warga biasa,” kata Ajay Kohli, wakil direktur jenderal penelitian IRRI.
“Bagi saya dan IRRI, yang sangat menarik adalah melihat sebagian dari uang itu digunakan untuk pendidikan anak, di situlah kita mengalami perubahan transformatif yang sebenarnya. Bayangkan dalam rumah tangga biasa di India dan Bangladesh, di mana penelitian dilakukan, jika orang tua tidak berpendidikan tetapi anaknya berpendidikan, dalam beberapa tahun seluruh keadaan rumah berubah,” kata Kohli.
Suhu, tahan garam
Pemanasan global berpengaruh signifikan terhadap beras.
IRRI mengatakan mereka telah menemukan lebih banyak varietas padi yang toleran terhadap panas, dingin dan salinitas tanah.
Meskipun beras berasal dari daerah tropis, panas yang ekstrim dapat merusak panen, proses penanaman, dan kualitas gabah. Pada saat yang sama, suhu rendah yang sering terjadi dapat menyebabkan kerugian besar bagi petani.
Laporan IRRI menyebutkan China telah mencatat kehilangan panen padi sebesar 3 juta hingga 5 juta ton yang disebabkan oleh suhu rendah.
Selain suhu ekstrem, naiknya permukaan air laut juga mengancam produksi beras karena air asin bergerak ke daratan. Hal ini mengakibatkan salinitas tinggi pada tanah, yang tidak dapat ditahan oleh varietas padi biasa.
Ilmuwan IRRI telah menemukan cara untuk meningkatkan ketahanan beras terhadap garam. Mereka juga menemukan karakteristik varietas padi yang toleran garam dan toleran banjir, yang dapat dikombinasikan untuk menciptakan varietas lain yang mampu mentolerir air banjir dan salinitas tinggi.
Namun tantangannya adalah bagaimana pemerintah dapat meyakinkan petani untuk menanam varietas padi baru.
Sombilla, wakil menteri pertanian Filipina, mengatakan banyak petani lokal enggan mencoba cara baru sampai mereka melihat dampaknya pada orang lain atau setelah mereka mengalami bencana.
“Biasanya sikap mereka adalah tunggu dan lihat,” kata Sombilla. “Terkadang ada keraguan dari mereka untuk segera mengadopsi terutama jika mereka melihat apa yang mereka gunakan sekarang berjalan dengan baik, jadi mengapa mereka harus berubah.