Perusahaan Sawit Divonis Bersalah Atas Kebakaran Lahan Gambut di Aceh
2016.01.28
Banda Aceh
Perusahaan perkebunan sawit PT Surya Panen Subur 2 (SPS 2) divonis bersalah karena terbukti ikut membiarkan kebakaran lahan gambut di kawasan Rawa Tripa, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, Kamis.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat yang diketuai Rahma Novatiana menghukum PT SPS 2, yang dalam persidangan diwakili direkturnya T. Arsul Hadiansyah, untuk membayar ganti rugi senilai Rp 3 miliar.
Rahma dalam amar putusannya menyatakan, PT SPS 2 berperan karena membiarkan terjadi kebakaran meluas di titik api ke wilayah lain. Hukuman ganti rugi Rp 3 miliar lebih rendah dari tuntutan jaksa dalam persidangan sebelumnya sebesar Rp 4 miliar.
Dalam persidangan terpisah, majelis hakim juga memvonis masing-masing tiga tahun penjara terhadap dua karyawan PT SPS 2, yaitu Marjan Nasution selaku kepala proyek perusahaan dan Anas Muda Siregar, kepala kebun. Keduanya diharuskan membayar denda masing-masing Rp 3 miliar.
Tetapi majelis hakim memvonis bebas Presiden Direktur PT SPS 2, Eddy Sutjahyo Busiri karena dianggap tidak terlibat ketika terjadi kebakaran lahan gambut seluas 1.000 hektar awal tahun 2012 di Rawa Tripa, yang merupakan habitat utama orang utan dan masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser.
Mengajukan banding
Menanggapi putusan itu, tim kuasa hukum PT SPS 2 dan kedua terdakwa yang dihukum penjara, Rivai Kusumanegara menyatakan, pihaknya akan mengajukan banding karena vonis majelis hakim dianggapnya tak sesuai dengan fakta di persidangan.
Menurut Rivai, dalam pertimbangan majelis hakim berpendapat PT SPS 2 punya sistem pencegahan. Perusahaan juga membuka lahan tanpa melakukan pembakaran. Selain itu, perusahaan telah membangun akses jalan. "Semua pertimbangan majelis hakim harusnya meringankan PT SPS 2," ujarnya.
Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kerusakan Lingkungan Hidup Kebakaran Hutan dan Lahan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Shaifuddin Akbar mengatakan keputusan itu sudah sesuai fakta selama persidangan berlangsung.
"Kita berharap ini menjadi hal positif bagi semua pihak. Sehingga nanti tidak lagi ada kebakaran hutan dan lahan. Ke depan hakim yang menangani kasus kerusakan hutan dan lingkungan bisa menjadikan ini rujukan dalam mengambil putusan," ujar Akbar.
PT SPS 2 kini masih tersandung gugatan perdata oleh KLHK sebesar Rp 439 miliar. Hingga kini, kasus gugatan perdata belum ada putusan.
Tahun lalu, PN Meulaboh juga menghukum PT Kallista Alam untuk membayar ganti rugi sekitar Rp 366 miliar, setelah digugat perdata oleh KLHK karena terlibat kasus pembakaran lahan seluas 1.000 hektar di Rawa Tripa.
Setelah menempuh upaya hukum banding mulai dari Pengadilan Tinggi Aceh hingga Mahkamah Agung (MA), akhirnya PT Kallista diharuskan membayar ganti rugi karena MA menolak kasasi pada September 2015 lalu.
Hakim bersertifikasi lingkungan
Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dalam pernyataan pers yang diterima BeritaBenar memberikan apresiasi kepada hakim-hakim bersertifikasi lingkungan di PN Meulaboh, karena telah menghukum perusahaan yang membakar lahan gambut di Rawa Tripa.
Menurut catatan TKPRT, PT Kallista Alam bersama direksinya telah divonis bersalah oleh pengadilan, baik perdata maupun pidana. Lalu, kasus pidana perusahaan sawit, manager PT. Dua Perkasa Lestari di Aceh Barat Daya telah divonis bersalah oleh PN Tapaktuan di Aceh Selatan karena kebakaran lahan gambut seluas 1.000 hektar.
TM Zulfikar, staf komunikasi Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), yang juga salah seorang anggota TKPRT, menyebutkan bahwa proses persidangan perkara pidana PT. SPS 2 sudah berlangsung sangat lama yaitu sejak tahun 2013.
“Majelis hakim bersertifikasi lingkungan di PN Meulaboh memiliki komitmen untuk menjaga lingkungan dari bencana kebakaran hutan dan lahan,” katanya.
Dia mencontohkan kasus yang terjadi di PN Palembang ketika majelis hakim menolak gugatan KLHK terhadap PT. Bumi Mekar Hijau senilai Rp 7,8 triliun karena hakimnya tidak bersertifikasi lingkungan.
Padahal, perusahaan itu diduga terlibat dalam kebakaran hutan seluas 20.000 hektar.
Zulfikar berharap agar kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan yang diajukan ke pengadilan ditangani oleh majelis hakim bersertifikasi lingkungan. Dengan begitu, hakim dapat mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan akibat pembakaran lahan dan hutan yang hampir setiap tahun terjadi di Indonesia.