Di hutan Papua, upacara babi memprotes perampasan tanah

Pesta babi menegaskan hak atas tanah leluhur di tengah program lumbung pangan pemerintah.
Victor Mambor
2025.01.22
Kurinbin, Papua Selatan
Di hutan Papua, upacara babi memprotes perampasan tanah 26 penari melakukan ritual "Oktang" di atas sebuah rumah panggung tradisional di Dusun Kurinbin, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, pada awal Januari 2025.
Victor Mambor/BenarNews

Di puncak bukit yang hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki selama berjam-jam melintasi hutan lebat, klan Kimko Jinipjo di Papua Selatan berkumpul untuk upacara yang disebut “Awon Atatbon” awal bulan ini.

Bagi masyarakat adat di wilayah Ha Anim – nama lain untuk wilayah yang sekarang bernama Provinsi Papua Selatan – ritual “pesta babi” ini lebih dari sekadar perayaan identitas budaya.

Upacara ini juga merupakan penegasan hak atas tanah leluhur mereka dan bentuk perlawanan terhadap proyek pertanian pemerintah, eksploitasi sumber daya, dan ancaman kerusakan alam.

“Inti dari Awon Atatbon adalah revitalisasi adat untuk perlindungan wilayah adat melalui gerakan budaya, melalui nyanyian, tarian, ritual adat dan pertunjukan,” kata Vincent Korowa, anggota muda klan tersebut, kepada BenarNews.

Dusun Kurinbin di puncak bukit ini terletak di Distrik Waropko, Kabupaten Boven Digoel. Hingga 2,7 juta hektare hutan dan lahan gambut di kabupaten Boven Digoel, Merauke, dan Mappi direncanakan akan dibuka untuk proyek lumbung pangan (food estate) yang kontroversial, menurut data pemerintah.

Para pemanah yang  diundang khusus untuk memanah babi.JPG
Para pemanah yang diundang, yang dipilih secara khusus, bertugas memburu babi untuk upacara Awon Atatbon di Dusun Kurinbin, Boven Digoel, awal Januari 2025. [Victor Mambor/BenarNews]

Sebagai wilayah dengan keanekaragaman hayati yang indah dan kekayaan alam yang melimpah, Papua telah mengalami konflik panjang.

Dengan keanekaragaman hayati yang menakjubkan dan kekayaan alam yang luar biasa, tanah Papua juga merupakan rumah bagi salah satu konflik yang berlangsung paling lama di dunia—antara Indonesia dan kelompok-kelompok bersenjata Papua yang menginginkan negara merdeka.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional dan Indonesia mengatakan bahwa orang Papua asli, sebuah suku Melanesia yang identitasnya sangat erat kaitannya dengan tanah mereka, menghadapi rasisme yang mendalam di Indonesia, marginalisasi ekonomi, serta kekerasan oleh pasukan keamanan termasuk pembunuhan di luar proses hukum.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia mendorong proyek pembangunan, termasuk program food estate, yang bertujuan mengubah lahan hutan, rawa, dan padang luas menjadi sawah, perkebunan tebu, serta infrastruktur pendukung untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Namun, sebagian pihak menyatakan bahwa program food estate ini mengabaikan hak tanah adat, mempercepat kerusakan hutan, dan mengancam cara hidup masyarakat asli Papua.
Program food estate di wilayah lain Indonesia juga gagal panen. Di Kalimantan Tengah, padi sebagai tanaman utama gagal mencapai hasil yang diharapkan.

“Kami tahu bahwa setiap saat wilayah adat kami terancam. Dulu terancam oleh suku-suku lain. Sekarang terancam oleh orang-orang yang mau bikin kebun besar,” kata Wilem Wungim Kimko, tuan rumah pesta babi tahun ini, kepada BenarNews.

“Tanah adat kami diganggu, leluhur kami akan marah, kami akan susah,” kata Wilem, yang sebagai tuan rumah dikenal sebagai “Big Man.”

Para undangan menikmati babi yang telah dimasak bersama sagu dan sayuran.JPG
Para tamu menikmati babi yang dimasak dengan sagu dan sayuran dalam upacara Awon Atatbon di Dusun Kurinbin, Boven Digoel, awal Januari 2025. [Victor Mambor/BenarNews]

Awon Atatbon diadakan setiap tujuh hingga 12 tahun sekali, atau ketika pemimpin klan Kimko Jinipjo siap menyelenggarakan acara besar ini.

Setelah persiapan selama tiga tahun, klan tersebut tahun ini menyambut ratusan peserta dari daerah dan klan lain di desa leluhur mereka.

Pusat dari upacara ini adalah babi-babi yang diburu oleh pemanah-pemanah pilihan.

“Big Man” kemudian menawarkan babi yang telah ditangkap kepada para peserta dengan harga tetap, berkisar dari Rp5 juta sampai Rp10 juta.

Setelah dibeli, babi-babi tersebut dimasak secara bersama-sama menggunakan metode tradisional dengan batu panas, bersama sagu dan sayuran.

Kegiatan ini memastikan bahwa kekayaan berputar di dalam komunitas, memperkuat ikatan sosial dan ekonomi.

“Pada prinsipnya, Awon Atatbon adalah satu aktivitas berniaga antara warga komunitas adat dengan obyek babi milik tuan pesta yang diperdagangkan,” kata Ponsianus Tarayok Kimko, anggota tertua klan Kimko Jinipjo dan pemimpin acara tahun ini, kepada BenarNews.

Pemimpin ritual Oktang memberkati seorang anak setelah melakukan ritual Oktang.jpg
Pemimpin ritual Oktang memberkati seorang anak setelah menyelesaikan upacara di Boven Digoel, Papua Selatan, awal Januari 2025. [Victor Mambor/BenarNews]

Sebuah ritual yang disebut “Oktang,” yang juga menjadi bagian dari upacara, melibatkan pengujian kekuatan rumah panggung milik Big Man dengan menari di atas atapnya sepanjang malam.

Di bangunan tradisional setinggi satu meter ini, 26 peserta melakukan tarian yang mencerminkan pengabdian spiritual dan penegasan persatuan budaya.

Para tamu yang diundang ke Awon Atatbon datang dari berbagai bagian wilayah Ha Anim, bahkan ada yang menempuh perjalanan jauh dari negara tetangga Papua Nugini.

Mereka berjalan hingga dua hari melintasi medan yang curam, menyeberangi sungai, dan mendaki punggungan untuk menghadiri upacara tersebut.

 “Saya dan keluarga jalan kaki dari Kiunga (Papua New Guinea) selama hampir dua hari. Kami tidur satu malam di hutan. Kami datang karena kami diundang dan kami adalah keluarga tuan pesta” kata Magdalena, salah satu peserta, kepada BenarNews.

Seorang anak marga Kimko Jinipjo menjalani proses inisiasi di rumah adat.JPG
Seorang anak marga Kimko Jinipjo menjalani proses inisiasi di rumah adat, awal Januari 2025. [Victor Mambor/BenarNews]

Ritual, tarian, dan nyanyian memperkuat ikatan komunitas serta klaim teritorial.

Selama acara tersebut, batas-batas tanah klan ditegaskan kembali melalui tanda-tanda alami seperti sungai dan garis tanah, serta doa dipanjatkan kepada nenek moyang untuk perlindungan dan kemakmuran di masa depan.

Ahli antropologi Cypri Jehan Paju Dale, yang mempelajari masyarakat adat Papua di University of Wisconsin-Madison, melihat upacara seperti Awon Atatbon sebagai bagian dari gerakan yang lebih besar untuk mempertahankan tanah dan identitas.

“Komunitas lokal di Papua Barat bekerja tanpa lelah untuk melindungi identitas, tanah, dan hutan mereka,” kata Dale kepada BenarNews, merujuk pada wilayah Papua Indonesia.

“Mereka melakukannya tidak hanya dengan bekerja sama dengan kelompok advokasi, tetapi juga dengan menghidupkan kembali tradisi budaya mereka dan mengekspresikannya dengan cara baru.”

Pesta babi adalah salah satu contohnya, sementara contoh lainnya adalah Gerakan Salib Merah. Dalam gerakan ini, komunitas Kristen adat menanam ribuan salib yang dicat merah untuk menghalangi ekspansi perkebunan besar dan proyek pertambangan.

Sejak dimulai pada tahun 2014, Gerakan Salib Merah telah menancapkan lebih dari 1.400 salib di seluruh wilayah Papua Selatan.

Meski gerakan ini mengadopsi simbolisme Kristen, gerakan ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai adat, menyampaikan pesan bahwa tanah dan hutan bukanlah wilayah kosong, tetapi ruang hidup yang harus dilestarikan.

Babi-babi yang telah dibunuh diletakan di dalam ruamh adat.JPG
Babi-babi yang telah dibunuh diletakkan di dalam rumah adat untuk upacara Awon Atatbon di Boven Digoel, Papua Selatan, awal Januari 2025. [Victor Mambor/BenarNews]

Sementara pemerintah Indonesia terus mendorong agenda pembangunannya, klan Kimko Jinipjo dan klan lain di Papua menghadapi ketidakpastian yang semakin besar.

Big Man tahun ini, Wilem, seperti banyak anggota komunitasnya, tidak memiliki kartu tanda penduduk atau bukti kewarganegaraan Indonesia. Meski tidak mengetahui secara rinci rencana pemerintah, ia sangat menyadari risiko yang ditimbulkan oleh proyek lumbung pangan.

Bagi klannya, hutan menyediakan tidak hanya sumber makanan, tetapi juga identitas budaya dan panduan spiritual.

“Leluhur akan kasih tahu kami melalui tanda-tanda alam,” kata Wilem.

“Hewan-hewan di hutan berkurang itu alam sedang kasih tahu kami, bahwa tanah tempat hewan-hewan itu hidup sedang terancam.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.