Menunggu Bima, 19 Kali Paskah Tanpa Kehadiran Putra Kedua

Penantian orangtua atas sang anak, seorang aktivis yang dihilangkan pada masa Soeharto, dan hingga kini belum ada kejelasan nasibnya.
Heny Rahayu
2017.03.24
Malang
170324_ID_Bima_1000.jpg Genoveva Misiati menunjukkan foto Petrus Bima Anugerah semasa kuliah ketika ditemui di rumahnya di Kota Malang, Jawa Timur, 21 Maret 2017.
Heny Rahayu/ BeritaBenar

Saat menjelang Paskah seperti saat ini, rasa duka yang dipendam pasangan Dionysius Utomo Rahardjo (71) dan Genoveva Misiati (74), muncul kembali. Mereka masih berharap anak kedua mereka, Petrus Bima Anugerah, akan hadir di tengah mereka. Namun, harapan itu sia-sia.

Belasan tahun sudah, Paskah dilewati suami istri itu bersama ketiga anaknya, tanpa Bima. Padahal sebelumnya mereka selalu merayakan bersama di rumah mereka di Malang, Jawa Timur.

Misiati mengenang terakhir kali bertemu Bima, November 1997, sebelum akhirnya dikabarkan hilang, yang diyakini menjadi korban penculikan.

Kala itu, Bima pulang ke rumah seperti biasa.

Ia terlihat ceria, walaupun sebelumnya Bima telah ditahan tiga bulan karena dituduh terlibat Kerusuhan 27 Juli 1996 ketika terjadi penyerbuan sejumlah massa ke kantor Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jakarta.

Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang gencar melawan rezim totaliter Soeharto saat itu, dituduh mendalangi kerusuhan itu. Bima kala itu aktif di PRD.

“Setelah bebas, dia dikenakan wajib lapor. Tapi malah pulang ke Malang tak lapor,” kata Misiati kepada BeritaBenar, Selasa, 21 Maret 2017.

Setelah dua malam di rumah, Bima berpamitan kembali ke Jakarta. Bima berjanji akan merayakan Natal 1997 bersama keluarga. Dua hari berselang kepergian Bima, dua orang berbadan tegap mencarinya.

“Mereka tak memberitahu identitas, menanyakan Bima. Saya jawab sudah balik ke Jakarta, eh tak percaya. Mereka naik pitam, marah dan menggebrak meja,” kenang Misiati.

Orang-orang yang diduga intel itu juga mencari Bima di rumah adik perempuan Misiati di lereng Gunung Kawi, 50 kilometer dari Malang.

Menjelang Natal 1997, Bima berkirim surat memberitahu kalau dia tidak bisa pulang karena banyak pekerjaan.

“Dia janji pulang Paskah, waktu itu jatuh April 1998,” kata Misiati.

Hilang tak ada kabar

Tapi, saat Paskah, Bima tidak datang. Sejumlah temannya di PRD juga tidak mengetahui keberadaan Bima.

Utomo lantas melapor ke Komandan Kodim Kota Malang, Panglima Kodam V Brawijaya dan polisi.

Beberapa pekan kemudian, dia bersama orang tua para aktivis korban penculikan melaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), serta Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Bima hilang bersama para aktivis lain, antara lain Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, dan Dedi Hamdun.

Menjelang tumbangnya pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto pada tahun 1998, sejumlah aktivis yang mengkritik pemerintah, diculik. Sebagian dari mereka, termasuk Bima, tidak pernah kembali hingga kini.

Keluarga mereka membentuk Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan menunjuk Utomo sebagai ketua.

Utomo berulangkali menyambangi Komnas HAM, DPR, Kementerian Hukum dan HAM, dan Markas Besar TNI. Namun, sampai kini belum membuahkan hasil.

Lebih 100 kali, ia bolak-balik Malang-Jakarta untuk menelisik keberadaan Bima.

“Doa tak pernah putus. Kami meminta yang terbaik,” kata Utomo.

Koordinator KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir, mendesak pemerintah membentuk pengadilan HAM adhock untuk menyelesaikan penculikan mahasiswa pada 1997 dan 1998 karena hal itu sesuai rekomendasi DPR RI tahun 2009.

KontraS menolak penyelesaian lewat Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang diusulkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, baru-baru ini, karena mekanisme itu “cacat, tidak kredibel dan melanggar aturan”.

Pendiam dan berprestasi

Bagi Utomo dan Misiati, Bima yang lahir pada 24 September 1973 itu, merupakan anak penurut dan berprestasi. Saat kuliah di FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Bima mendirikan Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID), yang bermetamorfosis menjadi PRD.

Pada tahun 1997, Bima pamit untuk keluar dari Universitas Airlangga dan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Drikara di Jakarta. Kepindahannya itu juga untuk memuluskan idealismenya melawan pemerintahan Orde Baru yang korup.

Ia bersama sejumlah temannya di SMID menjadikan pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan pencabutan UU Politik yang membungkam kebebasan berorganisasi sebagai program utama mereka.

“Kamu sama saja menabrak tembok, bukan tembok biasa, tapi tembok baja; 35 orang melawan pemerintah bisa didor, hilang!” kata Utomo berpesan kepada Bima waktu itu.

Selama mahasiswa, tutur Utomo, Bima sering keliling ke pelosok desa. Ia melihat kondisi rakyat di daerah kering dan tandus yang kesulitan makanan, terutama saat krisis moneter 1997 terjadi.

“Presiden tinggal di istana enak-enak. Sedangkan di sekitar istana banyak anak sekolah tak bersepatu, makan sehari sekali,” ujar Utomo menirukan perkataan Bima.

Tiba-tiba Utomo mengeluarkan selembar surat penghargaan yang diterimanya Maret tahun lalu dari Comando Da Brigada Negra, tentara klandestin bagian dari Falintil, cikal bakal militer Timor Leste, untuk Bima. Penghargaan itu ditandatangani Xanana Gusmao, bekas Perdana Menteri dan Presiden Timor Leste.

“Selain Bima, penghargaan juga diberikan kepada Wiji Thukul,” katanya, menyebut nama penyair yang sajak-sajaknya kerap mengkritik pemerintah. Ia juga belum kembali hingga sekarang. Sejumlah aktivis PRD lainnya juga menerima penghargaan yang sama.

Penghargaan itu mungkin menjadi sebersit kebanggaan bagi Utomo dan Misiati, namun itu tidak menjawab keresahan akan kejelasan nasib sang putra.

“Kita cari kepastian. Bima masih ada apa tidak? Kalau ada di mana? Kalau tidak ada kenapa?” pungkas Misiati, yang bersama suaminya tiada lelah berharap masih bisa merayakan kembali Paskah bersama Bima.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.