Paket Ekonomi III Dinilai Bisa Tekan PHK

Arie Firdaus
2015.10.08
Jakarta
151008_ID_ECONOMY_620.jpg Ratusan pencari kerja berdesakan saat mendaftarkan diri pada pekan raya pekerjaan yang digelar di Kota Sidoarjo, Jawa Timur, 8 Oktober 2015.
AFP

Paket kebijakan ekonomi ketiga yang diluncurkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo hari Rabu 7 Oktober, dinilai bakal mampu menekan angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Pasalnya, paket kebijakan itu mengatur soal kebijakan energi seperti penurunan harga gas, bahan bakar minyak, dan listrik.

"Itu terobosan untuk investasi dan peluang kerja," ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat di Jakarta, Kamis, ketika diminta tanggapannya terkait paket ekonomi ketiga.

Menurut dia, selama ini sektor energi dan listrik adalah komponen terbesar kedua dalam biaya produksi industri tekstil setelah bahan baku, dengan porsi konsumsi sebesar 18-26 persen.

Namun dalam paket kebijakan ketiga, pemerintah memutuskan memberi diskon tarif listrik sebesar 30 persen untuk kelompok industri I3 dan I4 dari pukul 23.00-08.00.

Selain itu, termaktub pula kebijakan penundaan pembayaran tagihan hingga 60 persen dari tagihan selama setahun dan pelunasan sisa 40 persen yang bisa dibayar secara angsuran di bulan ke-13.

Walhasil, menurut Ade, biaya produksi bisa dipotong karena pelaku industri hanya membayar USD 8 sen per kilowatt, dari sebelumnya USD 10 sen per kilowatt.

"Kebijakan ini ibarat angin segar. Menumbuhkan optimisme terhadap pertumbuhan sektor ini di masa mendatang. Jadi, menurut saya, PHK akan terhenti," ujar Ade kepada BeritaBenar.

Dalam catatan API hingga Oktober, buruh yang terkena PHK akibat perlambatan ekonomi mencapai 36 ribu orang dari total 2,74 juta tenaga kerja.

Ekonom Lala Soelistyaningsih sependapat dengan Ade. Menurut dia, kebijakan sektor ekonomi seperti diskon tarif listrik memang bisa menghentikan PHK di industri tekstil. Namun, kata Lala, yang lebih dibutuhkan negara saat ini adalah paket kebijakan yang berdampak baik dalam jangka pendek.

"Kalau kebijakan itu (diskon tarif listrik) berdampak jangka panjang. Yang menjadi masalah sekarang adalah soal daya beli masyarakat sudah melemah," kata Lala.

Ia menilai, harga barang produksi memang bisa turun akibat biaya produksi yang lebih dahulu turun.

"Tapi, apakah masyarakat masih bisa beli?,” ujarnya. "Menurut saya, yang harusnya diturunkan harga Premium sehingga bisa meningkatkan daya beli masyarakat."

Premium tidak turun

Saat mengumumkan paket ekonomi ketiga di Istana Negara, Jakarta, Rabu, Presiden Jokowi  memutuskan untuk menurunkan harga listrik, gas, dan bahan bahan minyak (BBM) kecuali jenis Premium.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, keputusan itu diambil setelah mendengar pertimbangan Pertamina.

"Hitungan Pertamina harus dicapai sehingga (Premium) belum bisa diturunkan," ujar Sudirman Said, seperti dikutip situs Tempo.co, 7 Oktober.

Selain sektor energi, paket kebijakan ketiga membahas beberapa hal lain, antara lain perluasan wirausahawan penerima kredit usaha rakyat (KUR), penyederhanaan izin pertanahan, dan relaksasi sektor keuangan.

Perluasan wirausahawan memuat soal penurunan tingkat bunga KUR dari 22 persen menjadi 12 persen. Penyederhanaan izin pertahanan mengatur soal memperpendek waktu pelayananan. Sedangkan relaksasi sektor keuangan memuat kebijakan bahwa pengusaha boleh menempatkan valuta di bank asing.

Bagi pemerintah, paket kebijakan ekonomi ketiga ini ibarat menjawab kritikan pengamat dan pengusaha atas dua paket ekonomi sebelumnya yang dinilai tak menyentuh akar permasalahan dan berefek jangka panjang. Jokowi telah meluncurkan paket kebijakan ekonomi pertama pada 9 September dan yang kedua tanggal 29 September.

Dampak paket kebijakan ekonomi ketiga juga langsung disambut positif pasar. Mata uang Rupiah menguat menjadi Rp 13.900 perdolar Amerika Serikat, dari sebelumnya Rp 14.065 perdolar.

Pemerintah dinilai panik

Meski rupiah menguat setelah diluncurkan paket paket ekonomi ketiga, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap tak puas. Menurut anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo, rangkaian paket kebijakan ekonomi itu justru menunjukkan bahwa pemerintah panik.

"Antara paket satu hingga ketiga, kan, diumumkan dalam rentang waktu tak lebih dari sebulan. Itu memperlihatkan mereka (pemerintah) asal-asalan. Panik karena rupiah terus melemah," tegas politikus Partai Gerindra tersebut.

Menurut Haryo, paket kebijakan ekonomi baru seharusnya diterbitkan setelah beberapa bulan. Soalnya, dampak ekonomi membutuhkan waktu berbulan-bulan. "Kalau kurang dari tiga bulan tak akan terlihat. Paket kebijakan itu butuh proses," ujarnya kepada BeritaBenar.

"Kalau menerbitkan paket kebijakan ekonomi dalam waktu singkat begini, bisa-bisa justru dapat menimbulkan sentimen negatif pasar."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.