Perkara Hukum Risma Dinilai Dapat Menggoyang Popularitasnya

Heny Rahayu
2015.10.27
Malang
151027_ID_POLITICS_620.jpg Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, sedang berkampanye bersama Presiden Joko Widodo yang saat itu menjadi calon presiden, di Surabaya, 28 Juni 2014.
AFP

Pakar komunikasi politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang, Wawan Sobari menilai perkara hukum yang menjerat calon Walikota Surabaya Tri Rismaharini bisa menggoyang popularitasnya dalam bursa Walikota Surabaya tanggal 9 Desember mendatang.

Risma sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tempat penampungan sementara Pasar Turi Surabaya. Riset yang dilakukan Wawan bersama para koleganya menunjukkan selama ini tak ada isu miring mengenai Risma.

"Masyarakat menganggap Risma calon walikota yang paling jujur," ujarnya.

"Selama ini Risma memberikan kesan positif, pemimpin yang jujur dan membela rakyat," ujarnya.

Setelah muncul opini negatif dengan perkara yang menjerat Risma, dia memperkirakan popularitas Risma bakal jatuh, terutama apabila kasus ini berlanjut. Karena, menurutnya, masyarakat cenderung mencari pemimpin yang bersih dan bebas perkara hukum.

Perkara korupsi katanya, dipastikan akan menggerus popularitas atau keterpilihan kandidat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak mendatang.

Perkara hukum, katanya, merupakan kampanye negatif yang efektif untuk menggoyang dan menggerus kepercayaan publik, terutama terhadap calon walikota yang posisinya kuat dan cenderung tak tergoyahkan.

Figur orang baik, katanya, berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Lantaran sebagian besar pemilih tak memiliki informasi yang cukup untuk mengenal para calon kepala daerah.

Kontradiksi antara kejaksaan dan kepolisian

Perkara ini merupakan ujian bagi Risma dan pasangan calon wakil walikotanya, Whisnu Sakti Buana.

Hari Jumat minggu lalu tiba-tiba Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mengatakan telah menerima berkas Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, yang menetapkan Tri Rismaharini sebagai tersangka kasus dugaan penyalagunaan wewenang terkait Pasar Turi.

Namun, Polda Jawa Timur membantah telah menetapkan Risma menjadi tersangka dalam kasus itu. Kontradiksi ini menyusul jadi perdebatan antara Jaksa Agung dan Kapolri, yang saling tuding dan membantah soal status Risma.

Direktur Reserse Kriminil Umum Polda Jawa Timur, Komisaris Wibowo menjelaskan penyidik telah mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan ke Kejaksaan Tinggi. Namun dalam gelar perkara penyidik menyimpulkan tak cukup bukti untuk melanjutkan perkara tersebut. SPDP bernomor B/415/V/15/Reskrimum dikirimkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, 28 Mei 2015.

Penyidikan itu dilakukan setelah menerima laporan Manajer PT Gala Bumi, Adhy Samsetyo. Penyidik telah berupaya mengumpulkan bukti dan keterangan dugaan PNS yang melakukan kesewenang-wenangan atas dasar.

"Bu Risma diperiksa pada 17 Juni 2015," katanya.

Keputusan menghentikan penyidikan, lanjutnya, ditetapkan setelah gelar perkara terakhir 25 September 2015 di Kepolisian Daerah Jawa Timur. Keputusan SP3 juga disampaikan ke Kejaksaan Agung, 26 Oktober 2015.

"Semua sudah tahu, itu kasus lama," kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Inspektur Jenderal Anton Sutiadji kepada BeritaBenar saat berkunjung ke Malang.

Selain keputusan penyidik melalui gelar perkara, keputusan menghentikan penyidikan ditentukan setelah pelapor mencabut laporannya. Alasannya pelapor tak ingin perkaranya dipolitisasi.

‘Kampanye hitam’

Sikap berbeda yang ditunjukkan Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menjadi misteri bagi Wawan. Seharusnya aparat penegak hukum memiliki sikap yang sama. Lantaran dasar yang digunakan sama, Polda Jawa Timur memutuskan tak cukup bukti sementara Kejaksaan Tinggi melanjutkan kasus itu.

"Bagaimana intepretasinya bisa berbeda," tanya Wawan Sobari, dari Universitas Brawijaya.

Padahal sebelumnya Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan meminta agar aparat penegak hukum menunda penanganan perkara yang melibatkan calon Kepala Daerah. Dia mengkhawatirkan perkara hukum akan menjadi komoditas politik dalam Pilkada serentak.

Sementara itu Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Jawa Timur Yordan M. Batara-Goa menilai jika kasus yang menjerat Risma merupakan kampanye hitam untuk menjatuhkan Risma.

“Jelas ada indikasi rekayasa untuk menjegal Risma,” ujarnya.

Tujuannya, menurut dia, untuk mempengaruhi opini masyarakat dan merusak nama baik Risma untuk menggoyang elektabilitas calon walikota petahana itu. Untuk itu, katanya, PDI Perjuangan melawan segala bentuk rekayasa.

“Prinsipnya kami menghormati proses hukum dan melawan rekayasa,” ujarnya.

Upaya menjegal Risma, katanya, tak hanya sekali. Sebelumnya, Risma juga mengatakan bahwa perkara hukum ini merupakan fitnah dan tak akan berhenti memperjuangkan kebenaran dan hak warga Surabaya.

“Harus ada klarifikasi agar tak menjadi kampanye hitam,” ujar Yordan.

Kepala Kepolisian RI Badrodin Haiti mengatakan akan memerintahkan Polda Jawa Timur untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Setelah SP3 ini dikeluarkan, kata pakar komunikasi politik Wawan Sobari, tim pemenangan harus segera memulihkan nama baik Risma, apalagi para pedagang Pasar Turi membela Risma.

Pilkada Surabaya beberapa kali terancam batal

Politik populis yang dilakukan Risma selamat menjabat lima tahun sebagai Walikota Surabaya telah mengantar Risma sebagai calon Walikota yang terkuat, sehingga banyak calon dan partai berhitung untuk maju melawan Risma.

Bahkan, sejumlah partai politik kompak tak memajukan calon sehingga Risma tak bisa maju sebagai calon tunggal dan Pilkada ditunda sampai 2017.

Ratusan warga Surabaya yang marah menuding sabotase oleh partai-partai saingan dan menggelar “mendaftarkan” sepasang sapi ke kantor Komisi Pemilihan Umum Surabaya sebagai pasangan penantang agar Pilkada diadakan tahun ini.

Belakangan PDI Perjuangan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan pada akhir September, MK menyatakan calon tunggal diperbolehkan ikut Pilkada.

Pencalonan kandidat saingan dari koalisi Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat sempat gagal dua kali karena syarat administrasi. Koalisi PAN dan Partai Demokrat juga sempat bongkar pasang calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.

Awalnya, pasangan Dhimam Abror-Haries Purwoko menjadi penantang Tri Rismaharini-Whisnu Sakti. Namun di hari terakhir pendaftaran tiba-tiba Haries mengundurkan diri, sehingga pasangan itu batal maju.

Penantang berikutnya adalah pasangan Rasiyo-Dhimam Abror. Pasangan yang diusung Partai Demokrat dan PAN kandas di tengah jalan karena KPU menyatakan mereka tidak lolos verifikasi.

Terakhir, koalisi Partai Demokrat dan PAN mendaftarkan pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari, yang pada bulan September lalu akhirnya dinyatakan lolos menjadi penantang Risma dan Whisnu.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.