Analis: Pilkada berlangsung di tengah keletihan politik publik terhadap pemilu
2024.11.28
Jakarta
Penyelengaraan pilkada dalam rentang tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden telah membuat pemilih mengalami kelelahan politik yang berimbas pada rendahnya kualitas pemahaman urgensi pemilu dan kurangnya partisipasi publik, menurut analis.
Sebelumnya, KPU telah menggelar pemilu legislatif untuk tingkat nasional dan daerah berbarengan dengan pemilu presiden (pilpres) pada 14 Februari lalu. Prabowo Subianto, sebagai pemenang pilpres baru saja dilantik pada 20 Oktober lalu.
Anggota dewan pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan masyarakat saat ini tengah mengalami keletihan politik akibat penyelenggaraan pemilu yang dilakukan secara beruntun dalam waktu satu tahun.
“Bahkan, pilkada kali ini dilaksanakan di tengah kelelahan politik, di mana euforia pilpres belum sepenuhnya selesai, dan konsolidasi internal partai-partai politik belum sepenuhnya tercapai,” ujar Titi dalam diskusi daring yang diadakan oleh BenarNews dengan tema “Mengawal Demokrasi Lokal: Catatan Kritis dari Pilkada 2024” pada Rabu (27/11) setelah pilkada serentak usai digelar pagi hingga siang harinya.
Titi menambahkan bahwa kondisi ini semakin buruk dengan adanya narasi pilkada yang hampir sama dengan pilpres yang baru saja berlangsung. Hal ini membuat pemilih tidak mendapatkan pilihan visi-misi yang jelas dari calon pemimpin daerah.
“Contohnya, dari segi pakaian, banyak calon kepala daerah yang mereplikasi gaya calon presiden dari pilpres 2024, karena mereka ingin berasosiasi dengan pemenang pilpres tersebut,” terang Titi.
Menurut Titi, pemahaman akan hubungan antara pilkada dan implikasinya bai kebijakan daerah kedepan perlu ditekankan. Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa suara mereka akan menentukan kualitas pemimpin daerah yang akan menangani berbagai kebijakan lokal.
“Urusan ini berada pada tingkat daerah, bukan nasional,” tukas Titi.
Situasi ini, kata Titi, membuat partisipasi pemilih dalam pilkada ini hanya mencapai sekitar 70% sebagaimana pemantauannya di lapangan bersama tim mahasiswa Universitas Indonesia.
“Ini seharusnya sudah lebih dipahami, namun masih ada kelemahan dalam pemahaman ini, yang mengarah pada kurangnya partisipasi politik,” jelas dia.
Komisioner KPU Idham Holik menyetujui apa yang dikemukakan Titi Anggraini terkait kelelahan politik para pemilih.
“Kami tidak bisa membantah bahwa tren ini memang terjadi yang merupakan dampak dari kelelahan politik. Saya pikir ini menjadi catatan penting bagi kita bersama,” ujar Idham.
Idham mengatakan pentingnya mengevaluasi penyelenggaraan pilkada kali ini dalam rancangan undang-undang pemilu kedepan maupun aturan mengenai pilkada, hal ini sebagaimana pernah KPU sampaikan kepada DPR.
“Kami sempat menyampaikan sebaiknya kedepan desain keserentakan (pemilu) ini ada jeda waktu yang cukup agar kami dari penyelenggara bisa menyiapkan waktu maksimal dan dari seigi sisi psikologi politik, politik tak mengalami kelelahan politik,” ujar Idham.
“Sebaiknya pilkada berjarak dua tahun dari pilpres.”
Titi pun mengusulkan agar penyelenggaraan pilkada berjarak 2 tahun dari pemilu legislatif dan presiden dan pelaksanaannya bergabung dengan pemilu DPRD.
“Jadi yang dipilih bukan hanya kepala daerah tapi juga DPRD sehingga terjadi koherensi antara pilihan parpol dengan calon yang dinominasikan untuk pemilu eksekutif,” jelas dia.
Jadi, tegas Titi, ada dua model penataan keserentakan pemilu. Pertama, pemilu serentak nasional untuk Pilpres, DPR dan DPD pada waktu yang sama. Kemudian, dua tahun kemudian pemilu serantak lokal memilih DPRD dan kepala daerah di tingkat provinsi
dan kabupaten atau kota.
“Ini sebetulnya sudah kami ikhtiarkan sejak lama tetapi belum mampu terwujud. Mudah-mudahan didengar oleh penentu kebijakan diskusi hari ini,” jelas dia.
Titi memendam kekhawatiran jika sistem pilkada seperti ini terus berlanjut, maka proses itu hanya melahirkan demokrasi yang tak substansial.
Imbasnya, kata dia, pemilu hanya menjadi ajang agenda prosedural lima tahun sekali tapi tidak mencapai kepemimpinan yang berorientasi pada pembangunan daerah dan tata kelola pemerintahan yang baik.
“Desain penjadwalan pilkada saja itu seperti semua serba tergesa-tergesa, dari sisi pencalonan oleh partai, dari sisi penyelenggaraan,” ujar dia.
Idham berharap penyelanggaraan pilkada serentak pada tahun yang sama dengan pemilu tingkat nasional dapat menjadi evaluasi bagi pemerintah dan DPR agar masyarakat juga dapat menikmati ajang kontestasi politik daerah sebagai pesta rakyat layaknya pilpres dan pileg.
“Besar harapan kami kepada pembentuk undang-undang dapat mengevaluasi pilkada serentak sehingga dapat ditetapkan di tahun yang berbeda. Khususnya bagi kami ini ada waktu cukup untuk melakukan konsolidasi persiapan pilkada serentak sehingga lebih optimal lagi,” pungkas Idham.