Menjelang Pilkada Serentak, Masih Banyak Masalah

Dewi Safitri
2015.12.07
Jakarta
pilkada-620 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sulawesi Tengah memperlihatkan spesimen surat suara untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Palu, Sulawesi Tengah, 9 November 2015.
BeritaBenar

Pada hari Rabu untuk pertama kalinya pemilihan 269 kepala daerah (Pilkada) akan dilangsungkan bersamaan di berbagai provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Namun kemeriahannya nyaris tak terasa hingga hari-hari terakhir menjelang pemungutan suara.

"Spanduknya jarang. Ada sih dekat pasar. Tapi ya masa mau pilih walikota modal baca spanduk doang," kata Tina Kusumaningrum, warga Muncul, Kota Tangerang Selatan yang akan memilih walikota tanggal 9 Desember.

Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Indah Rahmawati mempertanyakan hal yang sama.

"Saya dengar Pak Bupati tidak mau mencalonkan diri lagi, terus wakilnya nyalon. Belakangan katanya Pak Bupati nyalon juga, ini kok simpang-siur infonya. Soal bagaimana prestasinya wah, kurang tahu deh," keluhnya.

Sebagian publik rupanya terlanjur terbiasa mengasosiasikan Pilkada dengan spanduk calon dan kegiatan kampanye terbuka dimana-mana termasuk dengan pawai fisik di jalan raya.

Akibatnya ketika pemasangan alat peraga kampanye (APK) dibatasi, mereka tak banyak tahu tentang berlangsungnya kampanye calon kepala daerah.

"Sosialisasi terbatas ini antara lain terjadi karena perubahan aturan baik di UU Pemilu maupun KPU, nah pemilih rupanya kurang tahu soal ini," kata Deputi Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR), Sunanto.

Perubahan aturan antara lain menyangkut pembatasan penggunaan APK yang hanya boleh dipasang dalam jumlah dan lokasi tertentu.

Negara menyediakan dana (dalam jumlah terbatas) untuk pemasangan APK untuk menjamin tiap calon mendapat kesempatan setara mengenalkan diri pada massa.

"Negara juga mengongkosi iklan di media dan debat kandidat. Yang dibiayai mandiri oleh kandidat adalah rapat tertutup atau terbuka dengan calon pemilih," tambah Sunanto kepada BeritaBenar.

Untungkan petahana

Namun semangat kesetaraan antar kandidat ini tak tercermin dalam arena kampanye.

Kandidat bermodal besar tetap saja mampu menarik lebih banyak massa dalam ajang kampanye terbuka.

Lebih mencolok adalah kesempatan kandidat petahana yang berpeluang menggunakan jabatan resminya sebagai kepala daerah untuk berkampanye.

"Dia bisa manfaatkan dana hibah atau bantuan sosial, misalnya, untuk sumbang calon pemilih. Dia bisa juga bangun proyek fisik, tentu dengan uang negara, yang diaku sebagai kontribusinya saat kampanye," kata Donal Faris dari Divisi Politik lembaga anti-korupsi, ICW.

Peluang tersebut, menurut Donal membuat potensi korupsi kandidat petahana menjadi besar.

Namun seperti pengalaman pilkada beberapa tahun terakhir, upaya mengusut dan mengawasi praktik korupsi terselubung ini sangat minim.

"Apalagi sekarang, serentak di 269 daerah. Permasalahan terbesarnya adalah kita tidak punya cukup infrastruktur untuk mengawasi apalagi kontrol praktik begitu," tambah Donal.

Yang lebih mencemaskan menurutnya adalah persiapan Pilkada yang sangat singkat karena berbagai masalah yang berakibat pada pragmatisnya kandidat dan calon dalam hal jual-beli suara.

"Pemilih juga tidak kenal kandidat, begitu pula sebaliknya. Masing-masing maunya transaksi singkat saja.

"Di tingkat akar rumput, dikenal istilah 'beli eceran' untuk pembelian suara calon pemilih. Di tingkat petugas atau pejabat yang mengelola Pilkada, dikenal istilah 'beli grosiran' untuk pembelian suara langsung lewat sistem. Berbahaya sekali kalau tidak diawasi," simpul pegiat ICW itu.

Siap “99 persen”

Persiapan Pilkada Serentak juga dibayangi persoalan hukum terkait legalitas calon yang masih disengketakan.

Di dua daerah yakni  untuk gubernur Kalimantan Tengah dan  bupati di Simalungun Sumatera Utara belum jelas daftar calon yang bisa dipilih karena masih tersangkut sengketa hukum.

Namun dalam rapat final koordinasi Pilkada Serentak hari Minggu lalu, Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan persiapan sudah berjalan 99 persen.

"Surat suara seluruhnya sudah cetak, alat kelengkapan TPS telah seluruhnya selesai dan berada di lokasi TPS dan formulir C6 sudah terbagi ke pemilih," kata Husni optimistis.

Terdapat lebih dari seratus juta pemilih di 32 propinsi dalam Pilkada ini.

Kalau ada yang lebih tak siap menghadapi Pilakada Serentak, maka itu adalah partai politik kata Sunanto dari JPPR.

Seperti KPU yang dipaksa bekerja keras menyesuaikan diri dengan UU Pilkada yang baru disahkan akhir 2014, partai-partai harus menyiapkan diri dalam tempo singkat termasuk mereka yang sedang menghadapi masalah internal.

"Parpol banyak yang kaget dan kisruh. Ada masalah partai pecah sehingga sulit mencari calon definitif di daerah, misalnya di Golkar dan PPP. Terus ada aturan calon tidak boleh (berstatus) PNS dan anggota Dewan. Ini juga menyulitkan," tambahnya.

Sebelumnya dalam pidato pada sebuah acara di Jakarta awal September lalu, ketua PDIP, Megawati Sukarnoputri menilai Pilkada Serentak tak siap digelar.

Ia menilai kesiapan penyelenggara pilkada yang masih berkutat pada soal teknis saat itu akan menghambat penyaluran hak politik jutaan warga Indonesia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.