Pilot Susi Air bebas tanpa syarat setelah 19 bulan disandera pemberontak Papua

Menteri Luar Negeri Selandia Baru Winston Peters menyambut baik pembebasan tersebut.
Victor Mambor
2024.09.21
Jayapura
Pilot Susi Air bebas tanpa syarat setelah 19 bulan disandera pemberontak Papua Pilot Susi Air Phillip Mark Mehrtens tiba di Timika setelah dijemput oleh tim kesatuan TNI-Polri Satgas Damai Cartenz pada Sabtu, 21 September 2024, menyusul pembebasannya oleh kelompok separatis Papua.
Courtesy Satgas Operasi Damai Cartenz

Pilot asal Selandia Baru yang disandera selama 19 bulan oleh kelompok separatis Papua dibebaskan pada Sabtu, menurut tim gabungan personel TNI-Polri, yang mengakhiri penyanderaan yang telah menarik perhatian internasional tersebut.

Phillip Mehrtens diculik oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pada Februari tahun lalu. Ia dibebaskan setelah negosiasi panjang yang difasilitasi para pemimpin agama dan suku di kabupaten Nduga, kata Kombes Bayu Suseno, Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz.

"Ya benar sekali, hari ini kami berhasil menjemput pilot Phillip dalam keadaan sehat. Pilot kami terbangkan dari Nduga langsung menuju Timika," jelas Bayu kepada jurnalis di Timika, Papua, Sabtu (21/9).

Mehrtens mendapatkan pemeriksaan kondisi kesehatan untuk memastikan kondisinya stabil secara fisik dan mental, imbuh Bayu.

Mehrtens, 38, bekerja sebagai pilot maskapai penerbangan Indonesia Susi Air ketika pesawatnya dikuasai pemberontak tak lama setelah mendarat di wilayah tersebut.

Para pemberontak, yang merupakan sayap bersenjata Organisasi Papua Merdeka, telah lama berjuang untuk melepaskan diri dari Indonesia.

Ketika Mehrtens ditawan, TPNPB menuntut kemerdekaan Papua sebagai imbalan atas pembebasannya.

Rekaman video Mehrtens yang dikelilingi oleh pemberontak bersenjata lengkap telah beredar daring selama setahun terakhir.

Pilot Susi Air Phillip Mark Mehrtens tiba di Timika setelah dijemput oleh tim kesatuan TNI-Polri Satgas Damai Cartenz pada Sabtu, 21 September 2024, menyusul pembebasannya oleh kelompok separatis Papua. [Courtesy Satgas Operasi Damai Cartenz]
Pilot Susi Air Phillip Mark Mehrtens tiba di Timika setelah dijemput oleh tim kesatuan TNI-Polri Satgas Damai Cartenz pada Sabtu, 21 September 2024, menyusul pembebasannya oleh kelompok separatis Papua. [Courtesy Satgas Operasi Damai Cartenz]
Juru bicara TPNPB Sebby Sambom mengatakan, dalam sebuah pernyataan video yang diunggah di YouTube pada Selasa bahwa kelompoknya akan membebaskan Mehrtens tanpa syarat “atas dasar kemanusiaan”.

Namun, Sambom menegaskan kembali bahwa tuntutan kelompok itu untuk kemerdekaan Papua tetap tidak berubah.

“Perjuangan kami untuk Papua Barat yang merdeka adalah harga mati,” katanya.

Ketika ditanya tentang pembebasan Mehrtens pada Sabtu, Sambom menolak berkomentar, dengan dengan mengatakan bahwa dirinya belum diberi tahu.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Selandia Baru Winston Peters menyambut baik pembebasan tersebut.

"Kami senang dan lega untuk mengonfirmasi bahwa Phillip Mehrtens aman dan sehat dan telah dapat berbicara dengan keluarganya," katanya dalam sebuah pernyataan.

"Berita ini pasti sangat melegakan bagi teman-teman dan orang-orang yang dicintainya."

Pemerintah Selandia Baru telah bekerja sama erat dengan pihak berwenang Indonesia dan pihak-pihak lain untuk memastikan kebebasan Mehrtens, kata Peters.

Konflik separatis di Papua, yang telah bergolak sejak tahun 1960-an, telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan lebih banyak lagi orang mengungsi.

Pilot Susi Air Phillip Mark Mehrtens tiba di Timika setelah dijemput oleh tim kesatuan TNI-Polri Satgas Damai Cartenz pada Sabtu, 21 September 2024, menyusul pembebasannya oleh kelompok separatis Papua. [Courtesy Satgas Operasi Damai Cartenz]
Pilot Susi Air Phillip Mark Mehrtens tiba di Timika setelah dijemput oleh tim kesatuan TNI-Polri Satgas Damai Cartenz pada Sabtu, 21 September 2024, menyusul pembebasannya oleh kelompok separatis Papua. [Courtesy Satgas Operasi Damai Cartenz]
Meskipun Indonesia telah berupaya untuk mengintegrasikan Papua melalui pembangunan infrastruktur dan peningkatan otonomi, banyak orang Papua tetap menolak kendali Jakarta, yang mereka anggap eksploitatif, terutama dalam konteks sumber daya alam yang melimpah di wilayah tersebut.

Human Rights Watch yang berkantor pusat di New York merilis sebuah laporan pada hari Kamis yang merinci apa yang disebutnya sebagai rasisme yang mengakar dan diskriminasi sistemik terhadap penduduk asli etnis Melanesia di Papua.

Laporan tersebut mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menanggapi seruan orang Papua untuk merdeka dengan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemindahan paksa, dan pembunuhan di luar hukum.

Organisasi hak asasi manusia internasional telah berulang kali meminta Indonesia untuk mengizinkan penyelidikan independen terhadap situasi hak asasi manusia di Papua, tetapi pemerintah telah membatasi akses ke wilayah tersebut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.