Perusahaan sebut PLTA Kayan Hydro Energy tetap berlanjut meskipun hadapi kendala
2024.06.14
Jakarta

Pembangkit listrik tenaga air Kayan di Kalimantan tetap berlanjut meskipun menghadapi sejumlah kendala baru, termasuk mundurnya investor utama yaitu PowerChina dan Sumitomo, demikian kata direktur perusahaan lokal yang berada di belakang proyek tersebut.
Bendungan Kayan Cascade, sebuah proyek senilai USD 17,8 miliar (sekitar Rp266 triliun) yang dipelopori oleh PT Kayan Hydro Energy (KHE), adalah serangkaian PLTA yang sedang dikembangkan di Provinsi Kalimantan Utara yang digadang-gadang sebagai yang terbesar di Asia Tenggara.
Dengan memanfaatkan Sungai Kayan, proyek ini diharapkan menghasilkan hingga 9.000 megawatt listrik, yang memainkan peran penting dalam strategi energi Indonesia dan mendukung pertumbuhan ibu kota negara baru, Nusantara, yang sedang dibangun di Kalimantan Timur.
Bekerja sama dengan perusahaan Tiongkok PowerChina, proyek ini diinisiasi pada tahun 2012 yang menandai awal perjalanan pembangunannya yang diwarnai sejumlah kendala.
Kekhawatiran para aktivis lingkungan, perlawanan dari warga lokal, dan mundurnya perusahaan Jepang Sumitomo baru-baru ini, telah menimbulkan keraguan terhadap prospek proyek ini.
Direktur operasional KHE, Sapta Nugraha, mengatakan mereka tetap berkomitmen untuk menyelesaikan proyek bendungan ini meskipun PowerChina dan Sumitomo telah menarik diri.
PowerChina keluar dari KHE karena terhalang pandemi COVID-19 yang menghalangi kemampuannya untuk melakukan kegiatan di Indonesia, terang Sapta.
“Selama pandemi COVID-19, China menghadapi kesulitan dalam komunikasi dan akses ke Indonesia,” kata Sapta kepada BenarNews minggu ini.
“Meskipun ada banyak tantangan, proyek tetap berjalan sesuai target. Kami terus bekerja untuk menghasilkan progres yang diharapkan, sambil tetap terbuka untuk kemitraan dalam memperkuat serta memaksimalkan nilai tambah dari proyek ini.”
Perwakilan Sumitomo dan Kedutaan Besar China di Jakarta tidak menanggapi email dari BenarNews terkait alasan keduanya mundur dari proyek tersebut.
“Bahkan, jika harus berjalan sendiri, kami juga masih sanggup menyelesaikan proyek ini,” tegas Sapta.
Perusahaan juga secara aktif mencari mitra baru dan sedang dalam pembicaraan dengan calon investor lain dari Jepang dan China, katanya.
“Saat ini, KHE sedang dalam proses menjajaki kerja sama dengan sejumlah investor potensial yang menunjukkan minat serius,” kata Sapta.
Ia menambahkan bahwa pihaknya saat ini sedang melakukan pembicaraan dengan pihak Jepang lain dan juga China.
“Kita sedang berproses dengan potensial partner. Bisa siapa saja. Banyak pihak yang sangat interested di proyek ini.”
Agus Cahyono Adi, juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan pentingnya kelancaran proyek tersebut.
“Sungai Kayan memiliki potensi yang besar, dan menjadi andalan kita untuk mendukung tercapainya net zero emission (NZE),” kata Agus kepada BenarNews, Jumat, sebagai tanggapan atas pertanyaan tentang status proyek pembangunan lima pembangkit listrik tenaga air di sungai tersebut.
“Saya berharap PT KHE dapat segera mendapatkan investor baru untuk mewujudkan target pengembangannya.”
Namun dukungan pemerintah pusat untuk proyek ini tidak jelas.
Pada Oktober 2022, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut bendungan Kayan sebagai “Proyek Strategis Nasional (PSN),” namun Agus, juru bicara Kementerian ESDM, mengatakan kepada BenarNews pada hari Jumat bahwa Kayan tidak menjadi bagian PSN.
Pada 2021, dalam apa yang disebut sebagai upaya mempercepat proyek yang lama terbengkalai itu, pemerintah mengeluarkan izin pengembangan kepada perusahaan lain, PT Pembangkit Indonesia Epsilon, untuk membangun bendungan di sepanjang sungai Kayan,
Namun KHE menggugat Epsilon dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, yang telah mengeluarkan izin tersebut, dalam kasus yang sampai ke Mahkamah Agung Indonesia, dan akhirnya memenangkan gugatan itu pada November 2023.
Kepala desa: Air terkontaminasi debu
Di desa Long Peso di sekitar Sungai Kayan, pembangunan dam pertama yang sedang berlangsung telah menimbulkan antisipasi dan kekhawatiran di kalangan penduduk setempat.
Puluhan ekskavator, truk, dan peralatan berat lainnya beroperasi di pusat konstruksi Tugu Lima, di mana lebih dari 100 pekerja sedang membangun jalan baru untuk menghubungkan lokasi dengan bendungan pertama.
Kepala Desa Pulinop Jaui mengatakan bahwa pembangunan tersebut telah menimbulkan polusi dan kebisingan di komunitas yang dulunya damai. Dia prihatin dengan debu dari kegiatan peledakan, yang katanya telah mencemari sumber air desa.
“Dengan adanya blasting-blasting (peledakan) ini, tentunya tidak bisa lagi disebut air bersih karena sumber air terkena debu.” kata Pulinop dalam wawancara telepon dengan BenarNews.
Selama bertahun-tahun, penduduk telah meminta relokasi sumber air bersih mereka, tetapi KHE hanya melakukan survei dan tidak menerapkan solusi apa pun, ujarnya
“Kami mencoba menanyakan progresnya, tetapi mereka tidak memberikan informasi apa pun,” kata Pulinop.
Sapta, perwakilan dari KHE, mengatakan proyek tersebut sangat strategis, karena akan menyediakan energi hijau untuk proyek nasional besar di Kalimantan, termasuk Ibu Kota Nusantara, dan Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara.
Tahun ini, perusahaan fokus membangun infrastruktur pendukung bendungan pertama, termasuk akses jalan dan saluran pengalihan untuk mengalihkan sementara aliran sungai, kata Sapta.
“Langkah awal pembangunan bendungan adalah membuka akses jalan di sekitar lokasi pembangunan,” ujarnya.
“Hal ini penting untuk memastikan sungai tetap mengalir normal dan area konstruksi dapat dikeringkan sebelum dilakukan penggalian dan pembendungan.”
Dia yakin bahwa fase pertama proyek pembangkit listrik berkapasitas 9.000 megawatt ini akan selesai pada 2029.
Rintangan besar: pembebasan lahan
Yayan Satyakti, ekonom energi di Universitas Padjadjaran, mengatakan bahwa salah satu rintangan terbesar adalah pembebasan lahan, aspek penting dari setiap proyek bendungan karena dampaknya terhadap kinerja turbin dan keberlanjutannya secara keseluruhan.
“Proses pembebasan lahan telah berlangsung cukup lama,” kata Yayan kepada BenarNews.
“Dalam proyek PLTA, ini adalah aspek yang paling krusial, dan seharusnya telah diselesaikan sebelum proyek ditawarkan kepada investor, terutama investor asing. Ketidakpastian ini kemungkinan menjadi alasan dibalik mundurnya Sumitomo,” katanya.
Yayan menekankan bahwa keluarnya Sumitomo bukanlah tanda positif untuk iklim investasi energi di Indonesia, dengan menarik paralel ke tantangan serupa yang dihadapi di sektor panas bumi.
Dia menunjuk pada sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2018 yang mengungkapkan bahwa produsen listrik independen (IPP) harus melalui 30 izin untuk setiap proyek. Meskipun ada perubahan regulasi pada tahun 2021, Yayan mengatakan bahwa dia percaya iklim investasi belum membaik secara signifikan.
Yayan menyatakan keraguannya bahwa KHE dapat menyelesaikan bendungan pertama dari lima dam pada tahun 2029. Bahkan jika pembebasan lahan diselesaikan tahun ini, mencapai target 2029 akan menjadi tantangan, dengan perkiraan yang lebih realistis adalah 40-60% penyelesaian.
“Jika pembebasan lahan masih belum jelas, wajar bagi Sumitomo untuk menarik diri,” kesimpulan Yayan.
Senada dengan Yayan, direktur Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari, Wastaman, mengatakan bahwa relokasi warga di setidaknya dua desa yang terdampak, Long Lejuh dan Long Pelban, masih belum jelas. Kedua desa tersebut memiliki jumlah penduduk total sebanyak 1.217 orang, menurut data dari Kabupaten Bulungan.
“Tidak ada kepastian untuk hidup layak ketika sumber penghidupan mereka hilang,” kata Wastaman, kepada BenarNews.
Dia mengatakan bahwa perusahaan seharusnya menyediakan sumber penghidupan pengganti sebelum mereka digusur.
“Nah, ini yang belum ada,” kata Wastaman.
Norjannah di Tanjung Selor, Kalimantan Utara, dan Pizaro Gozali Idrus di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.