Aktivis Lingkungan: Pembangunan PLTA Batang Toru di Sumatra Ancam Orangutan

Pemerintah mengatakan proyek yang dijadualkan selesai tahun 2022 itu akan menstabilkan pasokan listrik di bagian utara pulau Sumatra.
Ahmad Syamsudin
2018.10.25
Jakarta
orangutan_620.jpeg Spesies langka, orangutan Tapanuli terlihat di hutan Batang Toru, Sumatra, 11 Agustus 2018.
AFP

Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) senilai USD 1,6 miliar yang dibangun oleh China di Sumatra Utara bisa mengancam habitat orangutan yang langka di dunia, dan meningkatkan risiko kepunahan primata yang dilindungi tersebut, kata para pakar dan aktivis lingkungan.

PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE), produsen listrik independen dengan ZheFu Holding China sebagai pemegang saham terbesar, sedang membangun bendungan PLTA 510-megawatt di kawasan hutan Batang Toru di Sumatra.

Pembangkit listrik itu bisa menstabilkan pasokan listrik di bagian utara pulau Sumatra, kata pihak berwenang.

Tetapi proyek yang merupakan bagian dari inisiatif China “ One Belt, One Road” itu mengancam terpisahnya habitat spesies orangutan Tapanuli, memperlihatkan bagaimana rencana infrastruktur global China tersebut dapat mengancam lingkungan, demikian kata ilmuwan dan konservasionis kepada BeritaBenar.

“Perkembangan ini akan secara signifikan meningkatkan kemungkinan kepunahan Pongo tapanuliensis,” kata Erik Meijaard, direktur konservasi di Borneo Futures dan profesor di Center of Excellence for Environmental Decisions di Universitas Queensland, merujuk pada nama ilmiah orangutan.

Meijaard mengatakan pembangunan akan menghancurkan beberapa habitat orangutan dataran rendah yang dalam posisi kritis, dengan memotong hubungan antara bagian timur dan barat dari habitat mereka.

“Jadi bukannya satu populasi yang terhubung namun akan menyebabkan ada dua populasi yang lebih kecil,” Meijaard, yang merupakan salah satu ilmuwan yang melakukan penelitian awal pada orangutan Tapanuli, mengatakan kepada BeritaBenar.

Populasi kecil memiliki kemungkinan kepunahan lebih tinggi daripada yang besar, katanya.

Ekosistem Batang Toru adalah satu-satunya tempat yang diketahui sebagai habitat orangutan Tapanuli yang diperkirakan jumlahnya sekitar 800-an ekor, yang ditemukan pada tahun 1939.  Orangutan ini diidentifikasi sebagai spesies baru tahun lalu dan baru-baru ini dimasukkan sebagai hewan yang terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature.

Namun demikian NSHE menyangkal bahwa proyek itu mengancam habitat hewan yang dilindungi itu.

Perusahan itu mengatakan bahwa PLTA itu hanya akan mencakup area seluas 122 hektar (atau hanya 0,07 persen dari Ekosistem Batang Toru.

“Untuk membangun PLTA telah dibebaskan lahan seluas 669 Ha yang semuanya dibeli dari masyarakat. Pada akhir masa konstruksi sisa lahan yang tidak terpakai sekitar 400 Ha rencananya akan ditanami kembali dengan pepohonan multifungsi yang dapat menjadi sumber pakan satwa liar,” kata Agus Djoko Ismanto, perwakilan NSHE.

Ia mengatakan hasil pemantauan para ahli dan LSM lingkungan menyimpulkan bahwa sebagian areal proyek merupakan bagian kecil areal jelajah bagi 3-7 individu orangutan, dan jejak satwa lain seperti harimau, rusa, babi hutan, ditemukan di lokasi itu.

“Pengetahuan ini menunjukkan bahwa lokasi proyek bukan habitat utama orangutan, habitat utamanya ada di hutan dengan ketinggian diatas 600 mdpl bukan di kebun karet atau di lokasi proyek dengan ketinggian 200-435 mdpl,” tambahnya.

Namun konservasionis memperkirakan bahwa proyek ini akan berdampak langsung pada 10 persen habitat orangutan yang semakin berkurang.

Proyek ini didukung oleh China Export & Credit Insurance Corporation, juga dikenal sebagai Sinosure, perusahaan milik negara yang besar di Cina, dan Bank of China. Perusahaan Sinohydro yang berbasis di Beijing telah mendapatkan kontrak untuk membangun PLTA tersebut.

Pemandangan dari udara atas lahan yang dibuka sebagai tempat pembangunan PLTA di Batang Toru, Sumatra, 20 Agustus 2018. [AFP]
Pemandangan dari udara atas lahan yang dibuka sebagai tempat pembangunan PLTA di Batang Toru, Sumatra, 20 Agustus 2018. [AFP]

Seperti membangun Tembok Berlin

Menurut Meijaard, sementara perusahaan mengklaim bahwa hanya sejumlah kecil hutan yang akan terdampak , wilayah ini adalah tempat di mana beberapa kepadatan orangutan tertinggi ditemukan sebelum kegiatan proyek dimulai.

“Setiap pengembangan jalan ke kawasan hutan di Indonesia menyebabkan perambahan, peningkatan perburuan, orang-orang membuat permukiman di sepanjang lokasi dan sebagainya. Dampak tidak langsung ini akan jauh lebih banyak daripada yang langsung,” katanya.

Membagi populasi orangutan menjadi dua akan “seperti membangun Tembok Berlin di tengah Kota Jakarta, dengan tidak ada yang bisa menyeberang dari utara ke selatan kota atau sebaliknya," katanya.

Sebanyak 25 anggota Aliansi Para Peneliti dan Pemikir Lingkungan (ALERT) terkemuka mengirim surat kepada Presiden Indonesia Joko "Jokowi" Widodo pada bulan Juli, mendesaknya untuk menghentikan pembangunan proyek lebih lanjut di habitat orangutan.

“Suatu tindakan dalam kondisi seperti ini akan disyukuri selamanya oleh banyak penduduk Indonesia dan warga negara lain yang ingin melihat munculnya pemimpin konservasi global di dunia yang semakin mementingkan diri sendiri, pada saat banyak pemimpin lainnnya yang  telah kehilangan pandangan akan pentingnya kelestarian lingkungan bagi masyarakat dan anak-anak kita,” demikian isi surat itu.

Pembangunan pembangkit listrik itu adalah salah satu proyek prioritas di bawah pemerintah Jokowi yang mengutamakan peningkatan infrastruktur di Indonesia.

Tetapi proyek yang merupakan bagian dari inisiatif One Belt, One Road, proyek ambisius China yang bertujuan untuk menghubungkan Beijing dengan Asia, Eropa, dan Afrika dengan membangun jalan raya besar, kereta api, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya itu, telah menarik kecaman dari para pencinta lingkungan di seluruh dunia.

"Saya pikir ini mengkristal, dengan cara yang dapat dipahami orang, apa yang akan terjadi dengan datangnya tsunami dari 7.000 proyek lebih terhadap alam," kata profesor Bill Laurance, direktur Pusat Ilmu Lingkungan dan Keberlanjutan Tropis di James Cook University di Australia kepada AFP, "masalah ini menjadi wajah dari inisiatif ‘Belt and Road’,”

Agung Pribadi, juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, membela pembangunan pabrik hidroelektrik tersebut, yang dijadwalkan akan bisa dilihat hasilnya dalam empat tahun.

“NSHE telah melakukan penilaian dampak lingkungan, sosial dan kesehatan, termasuk studi tentang populasi orangutan, yang telah disetujui oleh pihak pemberi pinjaman [bank],” kata Agung kepada BeritaBenar.

“PLTA Batang Toru diharapkan dapat memperkuat pasokan tenaga listrik di sistem Sumatera bagian utara dan menyumbangkan penghematan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) setara dengan USD 383 juta per tahun,” ujarnya.

“PLTA merupakan pembangkit berbasiskan energi terbarukan yang dapat "membawa" energi terbarukan lainnya yg bersifat intermittent (Variable Renewable Energy/VRE).”

Ia mengatakan mayoritas masyarakat mendukung proyek PLTA Batang Toru, hanya sebagian kecil yang masih menolak.

“Yang berpandangan negatif karena alasan-alasan terkait pembebasan lahan, keinginan untuk bekerja dan kekhawatiran tentang dampak lingkungan,” ujarnya.

 

Pembangkit listrik di Bali

Yuyun Indradi, aktivis Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan kepada BeritaBenar bahwa kontroversi mengenai pembangkit listrik itu menyoroti masalah dengan proyek-proyek yang didanai China di Indonesia.

"Cina telah berinvestasi dalam energi kotor, termasuk pembangkit listrik bertenaga batubara di Jawa, Bali dan Sumatra," katanya.

Greenpeace mengatakan pembangkit listrik tenaga batubara Celukan Bawang di Bali senilai 700 juta dolar yang dibangun oleh China Huadian Corporation, telah "meracuni" pulau wisata itu.

Proyek ini telah dilanda masalah, seperti kompensasi lahan yang tidak memadai, pemiskinan, dan masalah kesehatan yang diakibatkan dari pembangunan proyek ini, kata Yuyun.

 

Pada bulan Agustus, pengadilan mengalahkan gugatan yang diajukan oleh Greenpeace dan masyarakat setempat terhadap Gubernur Bali dan proyek tersebut, yang memutuskan bahwa keputusan pemerintah daerah mengeluarkan izin untuk proyek itu sah.

Para penggugat telah membawa kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara tetapi keputusannya masih tertunda, kata Yuyun.

“Pemerintah di berbagai level terus mengabaikan dampak sosial-ekonomi, lingkungan, dan kesehatan PLTU Celukan Bawang,” ujarnya, “masyarakat dibiarkan sendiri menghadapi persoalan tersebut.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.