Diusulkan Jadi Kapolri, Tito Disambut Pro-Kontra

Arie Firdaus
2016.06.17
Jakarta
160617-ID-police-chief-620.jpg Tito Karnavian menjawab wartawan usai dilantik sebagai Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) oleh Presiden Joko Widodo di Jakarta, 16 Maret 2016.
Tia Asmara/BeritaBenar

Pengusulan nama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal (Komjen) Tito Karnavian sebagai calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) baru menggantikan Jenderal Badroddin Haiti menuai respons beragam.

Ada yang menyambut baik, namun ada juga menanggapi negatif. Mereka menilai Tito sebagai sosok yang suka pendekatan represif sehingga dikhawatirkan mengubah pola pendekatan polisi secara keseluruhan kepada masyarakat Indonesia.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyampaikan surat permohonan persetujuan Tito sebagai calon Kapolri ke DPR, Rabu, 15 Juni 2016. Sebelum mengajukan surat ke DPR,  Jokowi mengaku telah mendapat masukan dari Polri, Kompolnas dan masyarakat.

Presiden berharap Tito dapat meningkatkan profesionalisme Polri sebagai pengayom masyarakat dan memperbaiki kualitas penegakan hukum, terutama terhadap kejahatan narkoba, terorisme dan korupsi.

"Saya meyakini beliau mempunyai kemampuan, cerdas, mempunyai kompetensi yang baik. Dan kita berharap DPR bisa segera memproses ini," kata Jokowi dalam pernyataan pers yang dikirim Tim Komunikasi Presiden, Ari Dwipayana, Kamis, 16 Juni 2016.

Penilaian Kontras

Tetapi, pandangan berbeda disampaikan Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Puri Kencana Putri ketika ditanya BeritaBenar, Jumat. Menurut dia, Tito adalah sosok yang kerap mengedepankan kekerasan.

"Penggusuran Kalijodo, penggusuran Kampung Pulo, atau penangkapan mahasiswa Papua di Thamrin Jakarta, misalnya," ujarnya. "Banyak penegakan hukum yang tidak humanis, bahkan cenderung brutal semasa ia (Tito) menjabat Kapolda Metro Jaya."

Tak cuma dinilai represif, Tito dianggap tidak berani transparan untuk diawasi pihak lain. Hal itu, tambah Puri, ditunjukkan Tito saat menjadi pucuk pimpinan Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88 Mabes Polri.

Tito menjabat Kepala Densus 88 pada kurun 2009 hingga 2010. Sepanjang periode itu, kata Puri, terdapat beberapa dugaan pelanggaran hak asasi manusia seperti kematian terduga teroris atau salah tangkap.

"Ia mungkin spektakuler, tapi tak punya logika pengawasan," ujar Puri seraya berharap DPR berani mendesak Tito untuk terlebih dahulu berani berubah sebelum menduduki kursi nomor satu di jajaran Polri.

Desakan sama diutarakan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar. "DPR harus mempertanyakan keseriusan Tito. Jangan sampai kasus seperti tewasnya Siyono saat dalam pengawasan polisi terulang,” ujar Dahnil saat dihubungi BeritaBenar.

Tangani kasus besar

Anggota Komisi III DPR Sahat Silaban mengaku pihaknya pasti akan menanyakan Tito soal dugaan pelanggaran HAM saat uji kepatutan, Rabu pekan depan. “Semuanya akan ditanyalah,” katanya tanpa memerinci lebih lanjut.

Secara pribadi, Sahat menilai Tito adalah sosok yang tepat untuk memimpin Polri karena berpengalaman menangani kasus-kasus besar. Ia menyontohkan penanganan aksi teror di Thamrin pada Januari lalu dan penangkapan Tommy Soeharto, putra mantan Presiden Soeharto.

"Menurut saya, ia sudah terbaik dari yang terbaik saat ini untuk menjadi Kapolri," kata politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) itu.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Yotje Mende juga menyatakan Tito punya rekam jejak bagus dan cocok jadi Kapolri menggantikan Jenderal Badroddin Haiti yang segera memasuki masa pensiun.

"Saat jadi Kapolda Papua, ia juga sangat bermasyarakat. Bahkan, ia pernah menginap di daerah rawan kelompok kriminal bersenjata. Jadi, ia sosok yang tepatlah," kata Yotje.

Karir melesat cepat

Tito (51) adalah lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1987. Saat ini, dialah satu-satunya lulusan Akpol di angkatannya yang telah berbintang tiga. Karirnya melesat cepat karena terlibat dalam penanganan kasus-kasus besar.

Selain penangkapan Tommy Soeharto pada 2001, dia juga terlibat dalam pelumpuhan teroris Dr Azahari Husin, pria Malaysia yang diduga dalang aksi bom Bali 2002 dan 2005. Dianggap sukses, Tito mendapat promosi kenaikan pangkat jadi Komisaris Besar. Tidak lama, dia meraih bintang satu setelah dianggap berhasil menumpas jaringan Noordin M. Top.

Karirnya terus merangkak naik sampai ia menduduki posisi Kepala Densus 88. Kemudian berturut-turut menjadi Kepala Polda Papua, Asrena Polri, Kepala Polda Metro Jaya, dan Kepala BNPT pada Maret lalu.

Melangkahi banyak senior

Perihal cepatnya karir Tito dipadang Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta Pane berpotensi menghambat regenerasi di tubuh Polri. Dengan usia pensiun pada umur 58 tahun, Tito memang berpotensi memegang jabatan Kapolri hingga 2022.

"Masih ada lima angkatan di atas (Tito). Ini kurang sehat bagi Polri," ujar Neta kepada BeritaBenar.

Tito melangkahi beberapa perwira tinggi di atasnya, seperti Wakapolri Komjen Budi Gunawan, Kepala BNN Komjen Budi Waseso, Inspektur Pengawasan Umum Polri Komjen Dwi Priyatno, Kepala Baharkam Polri Komjen Putut Eko Bayu Seno, Kepala Lemdikpol Komjen Syafruddin, Sekretaris Utama Lemhanas Komjen Suhardi Alius, dan Kabareskrim saat ini, Komjen Ari Dono Sukmanto.

Tito sendiri mengatakan para seniornya tidak mempermasalahkan pengajuan namanya menjadi Kapolri. Dia mengaku telah menjalin komunikasi dan mendapat dukungan.

Namun Neta meragukannya. "Meskipun dia layak, tapi jika didorong, dipastikan tak akan nyaman memimpin seniornya sendiri," pungkas Neta.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.