2 Polisi di Ambon Diduga Jual Senjata ke Kelompok Separatis Papua
2021.02.22
Jakarta
Divisi Propam Mabes Polri akan mengirimkan tim khusus ke Maluku setelah dua polisi dan empat warga sipil ditangkap karena dugaan keterlibatan penjualan dua senjata api serta ratusan peluru ke kelompok separatis di Papua, demikian pejabat Polri, Senin (22/2).
Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo mengatakan dua anggota yang bertugas di Polresta Pulau Ambon dan Pulau Pulau Lease itu ditangkap pada Minggu (21/2) di Ambon, Maluku.
Ferdy menolak mengungkap identitas dan peran keduanya, namun mereka terancam menjalani persidangan pidana umum dengan maksimal hukuman seumur hidup, jika mereka terbukti bersalah.
“Apabila dua anggota Polri melakukan tindak pidana seperti yang disangkakan yaitu melakukan jual beli senjata maupun amunisi kepada KKB Papua, karenanya akan diajukan ke pengadilan,” kata Ferdy dalam keterangan tertulis kepada BenarNews.
KKB adalah kelompok kriminal bersenjata, sebutan yang kerap dipakai aparat keamanan Indonesia untuk separatis di Papua.
Tim khusus Propam akan mendampingi Polda Maluku dalam melakukan pemeriksaan terhadap dua anggota tersebut, sambung Ferdy.
“Sidang Komisi Etik Propam Polri akan segera dilakukan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht,” katanya.
Kabag Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan dugaan penjualan senjata berawal dari penangkapan perantara berinisial WT (35) di Bentuni, Papua Barat, yang membawa satu senjata laras panjang rakitan, satu revolver beserta 600 butir peluru kaliber 5.56 pada 10 Februari 2021.
Dari hasil pemeriksaan, WT mengaku senjata itu didapat dari anggota yang bertugas di Polresta Pulau Ambon dan hendak dibawa menuju Nabire, Papua, melalui jalur laut, sambung Ahmad dalam keterangan pers, Senin.
“Kemudian tindak lanjutnya, Kapolda Maluku memerintahkan Kapolresta Ambon untuk melakukan penyelidikan. Hasil penyelidikan diamankan enam orang yang diduga terlibat dengan asal-usul senjata tersebut,” kata Ahmad.
Awal Januari, Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw mengatakan Nabire saat ini menjadi jalur utama pengiriman senjata dan amunisi untuk kelompok separatis di lima kabupaten paling rawan, yakni Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya dan Mimika.
Pintu masuk ke Nabire yang bisa dilalui melalui udara, laut dan darat dari Papua Barat mempermudah masuknya senjata api ilegal baik yang dibawa aparat maupun kaki tangan kelompok separatis, salah satunya Komite Nasional Papua Barat (KNPB), kata Paulus dikutip dari AntaraNews.
“Dari Nabire saat ini juga sudah bisa jalan darat hingga ke Enarotali dan Timika sampai Intan Jaya, walaupun belum semuanya dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan bermotor,” katanya.
November 2020, Kepolisian Papua Barat berhasil menggagalkan upaya penyelundupan senjata api ilegal dari Filipina yang dibawa seorang ibu rumah tangga di Manado, Sulawesi Utara ke Manokwari untuk selanjutnya diangkut dua tersangka lain menuju Nabire.
Ketika itu polisi mengamankan enam pucuk senjata api, 43 butir peluru kaliber 45, serta tiga buah magazin, yang dipesan oleh YZ alias Jhon, buronan polisi yang diduga memasok senjata untuk KKB di Intan Jaya.
Adapun harga satu pucuk senjata dijual berkisar Rp30 juta, tulis keterangan resmi Kepolisian Daerah Papua Barat, yang dilansir KOMPAS.com.
‘Sejak 15 tahun silam’
Juru bicara kelompok separatis Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) Sebby Sambom mengakui pihaknya telah mendapatkan pasokan senjata dari oknum kepolisian maupun tentara sejak 15 tahun silam. Namun, belakangan pasokan berkurang lantaran banyak petugas yang tertangkap.
“Benar, kami sudah lama bekerja sama dengan polisi dan tentara yang memasok senjata. Sejak tahun 2006 sampai sekarang. Jadi senjata kami selain dari rampasan juga dari polisi dan tentara,” kata Sebby melalui sambungan telepon kepada BenarNews.
Sebby menolak memerinci berapa banyak senjata yang telah dipasok oknum aparat sepanjang periode waktu itu, namun mengatakan saat ini kelompoknya memiliki lebih dari seratus senjata yang sebagian besarnya merupakan hasil rampasan dari pasukan yang dikirim untuk bertugas di wilayah Pegunungan Tengah, Puncak Jaya, Intan Jaya, Tembagapura dan Paniai.
Bongkar jaringan
Sementara itu, Kapolda Papua Paulus Waterpauw mengatakan pihaknya akan segera menangkap anggota yang terlibat dalam jaringan pemasok senjata ke kelompok separatis.
“Saya mau kasih tahu ke semuanya bahwa dalam era teknologi seperti ini, kita sudah melakukan upaya-upaya sedemikian rupa. Jadi lambat atau cepat, oknum-oknum yang terlibat penjualan senjata pasti dapat lipat (tangkap),” kata Paulus melalui keterangan yang dibagikan Humas Polda Papua.
Pihaknya menyebut adanya jaringan pemasok senjata di Nabire dan Sorong, Papua Barat, serta Ambon, Maluku. “Itu sudah kita ikuti tapi kami tidak akan ungkap di sini,” katanya.
Polda Papua mencatat sepanjang 2020 terjadi 49 kasus penembakan, penganiayaan dan perampasan yang dilakukan kelompok separatis dengan korban meninggal dunia sebanyak 5 orang dari unsur TNI dan Polri dan 12 lainnya adalah warga sipil.
“Senjata api itu bukan saja untuk menembak anggota, tetapi juga warga sipil hingga menimbulkan korban jiwa,” tukasnya.
Penyelundupan senjata untuk kelompok separatis di Papua bukan kali pertama dilakukan oleh petugas keamanan. Pengadilan Militer Jayapura pada Februari 2020, memecat dan memvonis tiga anggota TNI dengan hukuman 10 tahun penjara karena terbukti memasok amunisi untuk kelompok pemberontak di Papua.
Satu bulan setelahnya, pengadilan yang sama juga menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Pratu Demisla Arista Tefbana karena terbukti menjual 600 amunisi kepada separatis saat terpidana bertugas di Kodim Mimika.
Konflik antara kelompok separatis dan aparat keamanan terus memanas di Intan Jaya. Sepanjang 2021, empat anggota TNI, seorang warga sipil dan empat terduga anggota kelompok separatis tewas di provinsi paling timur Indonesia itu.