Sofyan, Mantan Polisi yang Pernah jadi Ekstrimis
2016.10.26
Solo
Penampilannya jauh dari kesan ekstrimis. Sofyan Tsauri mengisahkan pengalamannya saat menjadi bagian jaringan radikal, tapi kemudian berhenti. Mantan polisi itu kini aktif dalam program deradikalisasi.
Nama Sofyan dikenal karena terkait jaringan Jamaah Islamiyah (JI) pimpinan Dulmatin, yang menjadi buronan internasional sebelum tewas dalam penggebrekan di Pamulang, Tangerang Selatan, pada 9 Maret 2010.
Sofyan menjadi pemasok senjata untuk kelompok Dulmatin. Dia juga terlibat merekrut dan melatih puluhan militan di pegunungan Jalin di Aceh, awal 2010.
Sebelum bergabung dengan JI, Sofyan adalah polisi yang bertugas di Kepolisian Resort Depok. Sofyan diberhentikan dengan tidak hormat dari kepolisian pada Agustus 2008.
Dia tidak mau menuturkan kenapa ia dipecat, namun ia mengatakan telah menjadi radikal dan memutuskan untuk “berjihad” sejak tahun 2003 ketika ia masih aktif sebagai polisi.
“Dua belas tahun saya di kepolisian sebelum akhirnya banting setir,” tuturnya kepada wartawan di Solo, Jawa Tengah, Sabtu, 22 Oktober 2016.
Setelah dipecat, dia bertemu Dulmatin saat ke Aceh, akhir 2009. Sofyan ke Aceh untuk melatih pengikut JI yang sebagian besar berasal dari pulau Jawa.
Saat itu, Dulmatin yang memiliki nama alias Hamzah, sudah jadi buron kelas dunia yang dihargai US$10 juta oleh Pemerintah Amerika Serikat.
Melatih dan memasok senjata
Sebelumnya, Sofyan dipercaya melatih sejumlah relawan Front Pembela Islam (FPI) asal Aceh yang mau “berjihad” ke Palestina pada 2009.
Dalam pelatihan yang digelar di Depok, Jawa Barat, Sofyan mengajari mereka tentang drill contact, pertempuran jarak dekat, bela diri, baris-berbaris, penghadangan kendaraan dan menembak.
Banyak rekannya di kepolisian yang tak mengetahui Sofyan sudah dipecat membuatnya mudah membeli senjata pesanan Dulmatin. Selama dua tahun Sofyan menjadi pemasok senjata untuk mereka.
“Teman-teman banyak yang tidak tahu saya banting setir, saya bawa senjata saya jual ke mereka (kelompok Dulmatin),” ujar Sofyan.
Maret 2010, Sofyan ditangkap tim Densus 88 di Jalin. Pelatihan militan yang dilakukan kelompok Dulmatin dibocorkan orang yang disebut Sofyan sebagai penyusup.
Dalam persidangan, Sofyan mengaku memasok 24 pucuk senjata api laras panjang dan pendek jenis AR-14, AK-47, AK-58, Revolver, FN dan FR serta 19.000 butir peluru untuk kelompok JI.
Sofyan dituntut 15 tahun penjara, tapi divonis 10 tahun penjara, awal 2011. Dia hanya menjalani setengah dari vonis dan dibebaskan awal 2016 karena berkelakuan baik.
Melihat penyimpangan
Sofyan mengaku bahwa banyak penyimpangan dilihatnya selama bergabung dengan jaringan militan.
“Bertahun-tahun saya lihat penyimpangan. Bagaimanapun saya masih berpegang pada keyakinan bahwa agama itu fitrah,” ujarnya.
Beberapa penyimpangan yang dimaksud Sofyan tak sesuai dengan hati nuraninya antara lain kelompok teroris menghalalkan untuk berbuat keburukan di Indonesia karena tidak menerapkan syariat Islam.
“Itu alasan mereka serang Indonesia. Yang utama diserang adalah polisi karena dianggap aparat negara,” katanya.
Kaum ekstrimis juga begitu mudah mengkafirkan orang-orang di luar jaringan.
“Padahal, mengucapkan kafir berkaitan erat dengan darah karena yang dinyatakan kafir halal untuk dibunuh dan dirampas hartanya,” tegas Sofyan.
Penyimpangan lain, lanjutnya, adalah mereka tak mau shalat di masjid yang dibangun pemerintah dan tidak mau makan hewan sembelihan kecuali yang menyembelih mereka sendiri.
Aktif dalam deradikalisasi
Sofyan sudah tak ingin lagi terlibat jaringan radikal. Tapi ia tak bisa meninggalkan rekan-rekannya. Makanya, Sofyan kembali “berdakwah” dan aktif dalam deradikalisasi.
Jika dulu berdakwah untuk jihad, sekarang ia mengajak mereka yang terkena doktrinasi jihad untuk kembali ke jalan Islam yang cinta damai dan menghentikan aksi teror.
“Mereka hanya bisa disadarkan dengan menggunakan bahasa seperti saat mereka didoktrin karena mereka menggunakan ideologi terbalik,” jelas Sofyan.
Sukanta, aktivis Lembaga Pusat Rehabilitasi Korban Negara Islam Indonesia (NII Crisis Center) institusi yang memiliki misi Indonesia tanpa paham radikalisme, menyebutkan, seseorang menjadi radikal adalah melalui proses. Begitu pula, ungkap dia, yang terjadi pada Sofyan dan dirinya.
“Pengaruh itu datang dari mana saja, bahkan dari pergaulan yang tidak disangka-sangka karena memang tak selalu berkedok agama,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurut Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Irfan Idris, deteksi dini diperlukan untuk mencegah pengaruh radikal. Saat seseorang mulai menunjukkan gejala terindoktrinasi, dia harus segera ditangani oleh yang memang ahli.
“Terorisme adalah kejahatan luar biasa yang butuh penanganan luar biasa. Awasi putra-putri kita, terutama ISIS yang semakin aktif merekrut anak-anak muda,” ujar Irfan.
Sofyan memberi tips cara penanganan awal saat seseorang terkena pengaruh radikal, yaitu dimulai dengan memutuskan komunikasi antara anggota keluarga dan pemberi pengaruh.
“Jika itu melalui internet, putuskan segala akses untuk membuka internet,” ujarnya.
Kalau melalui orang, lanjutnya, larang orang tersebut mendekati anggota keluarga kita. Jika masih nekat, beri ancaman agar menghentikan usahanya mendoktrin atau lapor kepada polisi.
“Doktrin ini seperti nyabu, dia harus menerimanya terus-menerus. Ketika terhenti, dia akan sakau dan kondisinya menjadi labil. Saat kondisi inilah ajak bicara karena dia mulai bercerita dan semakin banyak dia bicara, maka doktrin akan runtuh,” pungkas Sofyan.