Polisi penembak anggota FPI tetap bebas, aktivis kritik budaya “impunitas”
2022.09.13
Jakarta
Aktivis hak asasi manusia pada Selasa (13/9) menyerukan kasus penembakan yang menewaskan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) hampir dua tahun lalu dibuka kembali menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan pembebasan dua polisi yang dituduh melakukan penembakan.
Dua pelaku dalam kasus penembakan mematikan yang terjadi pada 7 Desember 2020 itu, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella dinyatakan bebas dalam putusan sidang yang digelar Mahkamah Agung pekan lalu, namun putusannya baru diunggah Senin di situs MA.
“Harus dibuka ulang kasus ini karena pelaku kemungkinan tak hanya dua orang tapi juga ada upaya eksekusi melalui perintah, atau ada pelaku lain,” kata Ketua YLBHI Muhamad Isnur kepada BenarNews.
“Negara gagal melindungi korban. Hal ini membuat rakyat menduga, ada rekayasa dalam penyidikan, jadi mereka ditargetkan bebas sejak awal,” kata dia.
Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum dalam kasus pembunuhan anggota FPI di jalan tol Jakarta-Cikampek pada Desember 2020, menurut media nasional yang mengutip putusan yang diunggah ke situs MA.
Putusan hakim Mahkamah Agung ini menguatkan vonis bebas terhadap para pelaku oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Maret lalu, yang menilai perbuatan mereka dalam rangka pembelaan di situasi terpaksa.
Isnur melanjutkan, berkaca pada perkara kasus penembakan Brigadir Yosua Hutabarat yang diduga dilakukan oleh Ferdy Sambo dan anak buahnya, dia menduga “ada penyembunyian fakta-fakta yang terjadi di lapangan.”
“Ini sangat mengusik fakta keadilan di masyarakat, sehingga masyarakat menjadi tidak percaya hukum, tidak percaya pengadilan, karena hasilnya tidak akan memenuhi keadilan bagi korban,” katanya.
Andi Rezaldi, ketua divisi hukum KontraS, menyayangkan putusan MA yang menurutnya menggambarkan keganjilan.
“Padahal jelas tindakan anggota kepolisian itu merupakan unlawful killing seharusnya pelaku ini bertanggung jawab atas perbuatannya, dan diputus bersalah demi rasa keadilan,” kata dia kepada BenarNews.
Sejumlah keganjilan antara lain kedua terdakwa tidak dilakukan upaya penahanan, adanya perbedaan keterangan dalam berita acara pemeriksaan, luka tembak di titik yang mematikan, dan dugaan telah terjadi kekerasan terhadap korban sebelum meninggal, serta intimidasi terhadap warga yang merekam di area kejadian, ujarnya.
Menurut dia, dengan preseden ini, ada kekhawatiran peristiwa serupa akan terulang kembali karena adanya impunitas.
“Dikaitkan dengan prinsip penggunaan kekuatan senjata api harus digunakan sesuai keperluan dan harus masuk akal. Sementara kasus ini tidak memenuhi prinsip-prinsip itu,” kata dia, seraya meminta jaksa untuk membuka kembali kasus ini dengan menghadirkan bukti baru.
Dalam hasil investigasi yang dirilis sekitar sebulan usai insiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melabeli tindakan terdakwa sebagai pelanggaran HAM berupa pembunuhan di luar hukum karena masih melepaskan tembakan kendati para terduga pelaku kejahatan sudah berhasil ditangkap.
Kasus tersebut berawal dari insiden penembakan enam laskar FPI yang terjadi di tol Jakarta-Cikampek KM.50 pada 7 Desember 2020 dalam aksi kejar kejaran saat keenam pemuda tersebut mengawal pimpinan mereka, Muhammad Rizieq Shihab, yang mangkir sebagai saksi dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan.
Polisi mengatakan baku tembak menyebabkan dua anggota FPI Ahmad Sukur dan Andi Oktiawan meninggal dunia. Sementara empat anggota FPI lainnya yaitu Muhammad Reza, Akhmad Sofiyan, Luthfi Hakim dan Muhammad Khadavi tewas di dalam mobil polisi.
Menurut keterangan polisi, keempat laskar FPI tersebut melakukan perlawanan sehingga terpaksa ditembak. Sebelum persidangan berjalan, jumlah tersangka dalam perkara ini ada tiga. Namun satu tersangka yakni Ipda Elwira Priadi meninggal dunia yang menurut polisi akibat kecelakaan lalu lintas.
Tidak heran
Menanggapi hal tersebut, Pihak Kuasa Hukum Laskar FPI, Azis Yanuar mengaku pihaknya sudah memperkirakan kalau hasil kasasi akan ditolak dan dua pelaku pembunuhan enam laskar FPI tetap bebas.
“Tidak heran dan sudah bisa memperkirakan. Saya yakin masyarakat juga sudah pada cerdas kok dan sependapat dengan saya,” kata dia dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan kepada BenarNews.
Menurut Azis, dua orang pelaku tersebut hanya diadili untuk ditumbalkan dan dipasang seolah sebagai aktor penembak. Namun, ujar dia, kejadian sebenarnya tidak demikian.
“Diduga dua orang itu kan cuma disuruh ngaku dengan janji dibebaskan dan sudah berhasil skenarionya,” kata dia.
“Ini kan skenario yang tadinya diduga akan digunakan juga oleh FS dalam kasus Duren Tiga. Kan sama persis itu skenarionya kan?” ujarnya menyinggung kasus terbunuhnya polisi Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di tangan tersangka atasannya, mantan Kadiv. Propam Polri Ferdy Sambo, yang kasusnya menjadi perhatian publik.
Oleh karenanya, Azis mengatakan justru dengan bebasnya dua orang pelaku, maka kejadian penembakan enam laskar FPI itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
“Seharusnya kasus ini bisa diusut dengan pelanggaran HAM berat sesuai UU no.26 tahun 2000 bukan pengadilan pidana biasa seperti yang terjadi saat ini,” ujar dia.
Sementara JPU, Zet Tadung Allo mengatakan meskipun menghormati putusan MA, menurutnya tidak menutup kemungkinan kasus ini dibuka lagi dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) jika ditemui bukti baru (novum).
“Silakan setiap masyarakat yang mau bersaksi bisa jadi pintu untuk membuka kembali kasus ini lewat jalur PK,” kata Zet dalam keterangan tertulis seperti dikutip Tempo.co.
“Novum itu datang sendiri misalnya dengan pengakuan saksi yang mengungkap fakta baru yang dulu tidak disampaikan,” ujarnya.