Polisi Tahan Politikus Tersangka Penyebar Konten Rasis Atas Aktivis Papua

Ambroncius Nababan membandingkan Natalius Pigai dengan gorila di medsosnya memicu kemarahan masyarakat.
Ronna Nirmala
2021.01.27
Jakarta
Polisi Tahan Politikus Tersangka Penyebar Konten Rasis Atas Aktivis Papua Membawa poster dengan wajah dicat warna bendera bintang kejora, lambang gerakan separatis Papua, seorang aktivis bersama pengunjuk rasa lainnya melakukan protes mengecam rasisme yang ditujukan kepada warga Papua, di Jakarta, 28 Agustus 2019.
AP

Polisi menahan Ambroncius Nababan pada Rabu (27/1) yang ditetapkan sebagai tersangka kasus penyebaran konten bermuatan rasis, setelah politikus itu membandingkan Natalius Pigai seorang aktivis asal Papua dengan seekor gorila, dalam posting di media sosial yang memicu kemarahan masyarakat.

Ambroncius memposting foto Pigai, mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), disandingkan dengan foto gorila di akun Facebook miliknya  dengan kalimat “Vaksin ko bukan Sinovac pace tapi sodara bilang vaksin rabies.”

Postingan tersebut merupakan respons politisi dari Partai Hanura itu terhadap Pigai yang dalam sebuah wawancara YouTube mengatakan ia menolak divaksinasi menggunakan vaksin Sinovac-Biotech Cina dan mengtakan bahwa vaksinasi harus bersifat sukarela.

Dalam postingan Facebook lainnya, merespons terhadap Pigai, Ambroncius menulis: Mohon maaf yg sebesar-besarnya. Vaksin Sinovac itu dibuat utk MANUSIA bukan utk GORILLA apalagi KADAL GURUN. Karena menurut UU Gorilla dan kadal gurun tidak perlu di Vaksin. Faham?”

Ambroncius dipanggil untuk diinterogasi dan ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa setelah polisi menerima pengaduan dari kelompok pemuda Papua.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Rusdi Hartono mengatakan penyidik telah memperoleh bukti yang cukup untuk menahan Ambroncius, yang juga adalah relawan pendukung Presiden Joko “Jokowi” Widodo. 

“Penyidik mempertimbangkan untuk kepentingan penyidikan, kemudian juga berdasarkan hasil pemeriksaan diperoleh bukti yang cukup dan juga tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan,” kata Rusdi dalam konferensi pers, Rabu. 

“Yang pasti penyidik Polri akan menuntaskan kasus ini secara profesional dan akuntabel.”

Tokoh masyarakat Papua, Samuel Tabuni, mengatakan pernyataan yang ditulis oleh Ambrocius telah memicu kemarahan orang Papua.

“Kami sangat kesal, masih ada tokoh di Indonesia, apalagi politisi, yang pikirannya belum bijak dalam menanggapi dinamika demokratisasi di Indonesia,” kata Tabuni melalui sambungan telepon. 

“Memang orang Papua juga marah, kami sudah buat petisi agar yang bersangkutan dihukum sesuai UU yang berlaku di negara Indonesia,” lanjutnya. 

Sekretaris II Dewan Adat Papua, John Nasion Robby Gobay, yang ikut melaporkan dugaan tindakan rasis Ambroncius ke Polda Papua pada Senin lalu, mengatakan ungkapan rasis kepada orang Papua sering dilontarkan banyak pihak namun upaya hukumnya masih belum memberikan rasa keadilan. 

“Kasus rasisme masih segar dalam ingatan kolektif orang Papua yang terjadi pada 2019. Luka ini yang kami alami masih belum sembuh, namun sudah ada kasus rasisme lagi terhadap kami,” kata John dalam keterangan tertulisnya, Rabu. 

Kendati memicu kemarahan, John meminta masyarakat Papua untuk tetap tenang dan menyerahkan dan mengawal penegakan kasus ini kepada pihak kepolisian. 

“Saya mengingatkan bahwa kasus ini dilakukan oleh seorang oknum, Ambroncius, bukan suku Batak atau lainnya, maka saya berharap tidak ada masyarakat Papua yang membuat gaduh namun tetap menjaga kesatuan dan persatuan,” tukasnya. 

Pada Senin, juru bicara Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan kasus Ambroncius diambil alih Bareskrim Polri di Jakarta merujuk pada analisa siber yang dilakukan tim terkait.

Ambroncius terancam hukuman penjara minimal lima tahun karena melanggar pasal berlapis dalam UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Tindakan Rasis dan Diskriminasi serta Pasal 156 KUHP. 

Permintaan maaf

Dalam sebuah wawancara yang di kanal YouTube presenter senior Karni Ilyas pada 18 Januari 2021, Pigai berbicara perihal program vaksinasi dari perspektif HAM. 

Pigai berpendapat bahwa program vaksin tidak bisa dipaksakan dan warga yang menolak tidak bisa dipidana karena hingga saat ini menurutnya pemerintah belum menyatakan kondisi darurat pandemi COVID-19 sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan. 

Aktivis itu juga mengatakan warga berhak memilih merek vaksin apa untuk program tersebut, seraya mengatakan bahwa dirinya tidak bersedia untuk disuntik dengan vaksin buatan perusahaan farmasi Cina, Sinovac.

“Yang jelas saya tidak mau dengan vaksin yang digunakan pemerintah hari ini,” katanya. 

Saat tiba di Gedung Bareskrim untuk menjalankan pemeriksaan, Ambroncius tidak membantah bahwa dirinya yang mengunggah foto kolase tersebut, namun menolak sebagai pembuat konten. 

“Sebenarnya gambar itu saya kutip, saya copas,” kata Ambroncius. 

“(Niat rasis) tidak ada. Hanya mengkritik bahwa Pak Pigai, tolong Anda kalau memang tidak setuju Sinovac, itu tidak masalah, semua orang bisa nggak setuju, tapi jangan Anda ekspos ke luar,” tambahnya. 

Pada kesempatan itu Ambroncius turut menyampaikan permintaan maafnya kepada Pigai dan masyarakat Papua. 

"Saya benar-benar dengan hati yang tulus meminta maaf ke seluruh masyarakat Papua. Mohon hal ini tidak menjadikan kita jadi salah pengertian, miskomunikasi dan mudah-mudahan hal ini bisa dimaklumi dan dibukakan pintu maaf,” tukasnya. 

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mohammad Mahfud MD mengingatkan publik untuk tidak menghina dan bersikap rasis.

“Kalau Anda tak suka dengan statement atau tudingan seseorang yang Anda anggap ngaco, tak usahlah menghinanya dengan cacian atau gambar hewan. Diamkan saja, ada ungkapan, ‘tarkul jawaab alal jaahil jawaabun’, ‘tidak menjawab dengan statement atau tudingan orang dungu adalah jawaban terhadap orang dungu tersebut,” kata Mahfud dalam akun Twitter miliknya. 

Pada 17 Agustus 2019, mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, menerima perlakuan diskriminasi serta rasisme karena tudingan perusakan Bendera Merah Putih di depan asrama mereka.

Kejadian itu memicu protes di Papua dan beberapa wilayah lainnya. Pada 19 Agustus 2019, aksi unjuk rasa menentang perlakuan diskriminasi dan tuntutan referendum terjadi di beberapa kota/kabupaten di Papua dan Papua Barat.

Unjuk rasa yang semula damai berakhir ricuh. Beberapa fasilitas negara, baik perkantoran pemerintah maupun milik badan usaha milik negara (BUMN), dirusak. Lebih dari 40 orang dilaporkan meninggal dunia dalam kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat dalam kurun Agustus – September itu.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.