Polisi tangkap 17 tersangka teroris di tiga provinsi di Sumatra

Pejabat BNPT mengatakan walaupun aksi teror di Indonesia berkurang, kegiatan organisasi mereka terus berkembang.
Dandy Koswaraputra
2022.07.25
Jakarta
Polisi tangkap 17 tersangka teroris di tiga provinsi di Sumatra Polisi mengawal seorang terduga anggota militan Jemaah Islamiyah setibanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, 18 Maret 2021 setelah ditangkap bersama sejumlah terduga militan lainnya beberapa hari sebelumnya di Jawa Timur.
[Achmad Ibrahim/AP Photo]

Polisi mengumumkan pada Senin (25/7) bahwa mereka telah menangkap 17 orang terduga militan dari kelompok Jemaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di tiga provinsi di Sumatra dalam beberapa hari terakhir, yaitu Aceh, Sumatra Utara dan Riau.

Penangkapan ini merupakan yang terbesar sejak Mei dan 13 di antaranya dilakukan di provinsi Aceh. Seorang pengamat terorisme mengatakan bahwa penangkapan di Aceh mengindikasikan bahwa militan mungkin telah memindahkan kegiatan mereka ke provinsi paling utara Sumatra itu.

Juru bicara Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan 17 orang tersebut – yang semuanya diidentifikasi dengan inisial mereka, terdiri dari 15 orang terduga anggota JI dan dua orang lainnya anggota JAD.

“Ini update terbaru penangkapan. Kemudian Densus akan menggeledah dan menyita barang bukti,” kata Ramadhan dalam konferensi pers.

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe, Al Chaidar, mengatakan JI -yang merupakan organisasi terlarang di Indonesia karena terlibat aksi terorisme- pada 2011-2012 mengalihkan pusat kegiatan mereka dari Solo dan Lampung ke Aceh.

“Baru sekarang ini terdeteksi, mungkin karena penggunaan media sosial atau keterangan dari anggota yang tertangkap di Solo dan Lampung,” ujarnya.

Menurut Al Chaidar, JAD sampai sekarang aktif menggunakan platform pesan Telegram untuk merekrut orang dan terus berencana menyerang aparat keamanan.

Sementara itu, pengamat terorisme dan direktur eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andri, mengatakan agenda jangka pendek dan menengah JAD adalah penyerangan pada musuh, sedangkan JI tidak begitu tertarik melakukan jihad kekerasan.

“Karena tidak berbentuk struktur, organisasi JAD lebih liat. Meski kecil, berbentuk sel, dengan local leadership JAD tampak lebih lincah dan siap untuk menyerang,” kata Taufik kepada BenarNews, terkait kelompok militan yang telah berbaiat kepada ISIS yang juga telah merupakan organisasi terlarang di Indonesia.

Sedangkan JI, kata dia, selalu berbasis struktur, dengan tata kelola yang terpusat, dengan strategi dan agenda menjadi keputusan organisasi.

“Demikian juga mandat kerja yang bersifat harian maupun tahunan, selalu merujuk pada keputusan markaziyah [pusat]. Terpola, terarah dan terkontrol. Jadi keputusan sporadis jarang ada di JI,” kata dia.

JI aktif melakukan kekerasan pada dekada tahun 2000-an, termasuk melakukan aksi bom di Kuta, Bali pada 2002 yang menewakan 202 orang- yang hingga kini tercatat sebagai peristiwa terorisme yang paling mematikan di Indonesia.

Mantan anggota JI, Nasir Abas, mengatakan jumlah anggota kelompok terduga yang ditangkap oleh polisi kebanyakan dari jaringan JI, dan Densus juga menemukan bahwa kelompok tersebut masih tetap terus bergerak dan berkembang.

“Ada kegiatan-kegiatan, seperti kegiatan pendanaan, untuk mendukung JI, kemudian kegiatan pengiriman ke luar negeri, ke tempat konflik, kegiatan yang mereka menyebutnya sebagai persiapan perang, seperti ada sasana bela diri,” kata Nasir kepada BenarNews. 

Jadi, kata Nasir, kegiatan JI ini lebih luas dan lebih banyak dibanding kelompok kelompok JAD, karena kelompok ini sudah lama mengakar di Indonesia melalui Negara Islam Indonesia.

Namun, kata Al Chaidar, kedua kelompok ini memiliki soliditas yang sangat kuat, bahkan bisa mengalahkan ikatan darah dalam genealogi keluarga.

“Mereka sangat erat yang mereka sebut sebagai persaudaraan di luar garis lineage,” kata Al Chaidar.

Teroris masih mempunyai masa depan yang lama di Indonesia dan di luar negeri karena ada ketidakadilan politik dan diskriminasi hukum di masyarakat.

“Mereka merasa diri sebagai pejuang pembebasan yang akan membawa perubahan bagi masyarakatnya,” kata dia.

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan upaya pencegahan terus dilakukan lembaganya mengingat kelompok-kelompok tersebut tetap bahaya laten meski mereka telah mengurangi aksi kekerasannya.

“Karena kan target mereka adalah membentuk khilafah dan mengganti ideologi negara melalui ide,” kata Irfan kepada BenarNews.

Irfan menambahkan pada bidang yang dia tangani saat ini terus melakukan pendekatan deradikalisasi agar para teroris tidak menyebarkan idenya kepada yang lain, seraya mengakui bahwa kegiatan aksi teror di Indonesia berkurang tetapi kegiatan organisasi mereka terus berkembang.

Alvin Prasetyo berkontribusi pada artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.