Polisi Tembak Mati Terduga Teroris di Riau
2020.02.07
Jakarta
Polisi mengatakan pada Jumat (7/2/2020) telah menembak mati seorang terduga teroris yang disebut melemparkan bom rakitan ke arah petugas yang berusaha menangkapnya di Kabupaten Pelelawan Provinsi Riau.
Seorang polisi terluka dalam kejadian hari Kamis (06/02/20) di Sungai Kampar itu dan harus menjalani perawatan, demikian Kepala Bidang Humas Polda Riau, Kombes Sunarto.
Wahyu alias Ibnu Thayyi (29), yang merupakan warga Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo Ulu, Jambi, diduga terlibat jaringan teroris yang terafiliasi ISIS, Jamaah Ansharud Daulah (JAD), di Jambi, kata Sunarto.
Sunarto mengatakan dalam proses penangkapan dipimpin Densus 88 Mabes Polri, Wahyu berupaya kabur dengan menggunakan perahu nelayan.
“Saat diminta menyerahkan diri, pelaku melemparkan bom pipa ke arah petugas, sehingga terpaksa dilumpuhkan,” katanya saat dihubungi BenarNews, Jumat.
Akibat peristiwa itu seorang anggota Polisi terluka dan harus dirawat di rumah sakit Bhayangkara Kota Pekanbaru, Riau. Dari pelaku polisi menyita sejumlah barang bukti termasuk sisa bom rakitan yang meledak.
Sunarto mengaku pihaknya belum bisa merinci keterlibatan Wahyu dengan kelompok JAD.
Saat penangkapan terjadi, warga mengaku mendengar beberapa kali tembakan bersahutan.
Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Polisi Asep Adi Saputra, mengaku belum bisa menyampaikan lebih jauh terkait penangkapan tersebut karena tim densus 88 Mabes Polri masih melakukan pengembangan.
Wahyu disebut telah lama tak terlihat di kampungnya. Razali, Kepala Desa Desa Tekuk Pandan, Rebahan, Kecamatan Tebo Ulu, Jambi mengatakan, sejak sebulan terakhir, Wahyu jarang terlihat di kampung.
“Memang sudah lama tinggal di desa ini. Kami tidak tahu apakah dia ada keterlibatan dengan teroris. Kalau berbaur sama masyarakat pastilah,” katanya seperti dikutip Tribunnews.
Wahyu meninggalkan seorang istri dan seorang anak. Pihak keluarga masih menunggu jenazah diserahkan oleh polisi.
“Pihak keluarga sudah diberitahu, tapi kapan jenazah akan diserahkan belum ada kabarnya,” kata Razali.
Pemulangan WNI dari Suriah
Sementara itu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memastikan bahwa hingga kini pemerintah Indonesia belum memutuskan untuk memulangkan sekitar 660 warga Negara Indonesia di Suriah segera mungkin. Hal ini disampaikan menyusul pro-kontra yang terjadi terkait rencana pemulangan mereka dalam beberapa hari terakhir.
Kepala BNPT, Suhardi Alius mengatakan, pihaknya masih memverifikasi keberadaan WNI di Suriah. Menurutnya berdasarkan informasi intelijen, WNI di Suriah tersebar di tiga kamp, yaitu Al-Hol, Al-Ruj, dan Ainisa. Masing-masing kamp itu dijaga oleh otoritas yang berbeda.
“Ada SDF (Syrian Democratic Forces), ada pemerintah Suriah, ada pemerintahan Kurdistan," katanya kepada wartawan, di gedung Kementerian BUMN, Jakarta.
Menurut Suhardi, yang tinggal di kamp-kamp tersebut umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Suhardi mengatakan BNPT tak dapat masuk ke tiga otoritas tersebut untuk melakukan memverifikasi. Pihaknya telah meminta bantuan intelijen sejumlah negara, untuk memudahkan proses verifikasi itu.
“Kita minta bantuan teman-teman, termasuk kemarin saya baru MoU dengan intelijen Abu Dhabi, dari Uni Emirat Arab, tolong dicek dong, begitu," katanya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo menyampaikan, keputusan pemulangan WNI dari Suriah akan diambil dalam rapat terbatas. Hasil rapat itu akan memutuskan, apakah WNI itu dipulangkan atau tidak. "Kalau bertanya kepada saya, saya akan bilang tidak. Tapi masih dirataskan," kata Jokowi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, ratas terkait Nasib WNI di Suriah akan dilakukan pada bulan Mei atau Juni mendatang. Menurutnya saat ini pemerintah sedang membuat prosedur hukum terkait rencana pemulangan itu.
"Kecenderungannya mungkin nggak dipulangkan. Tapi karena menyangkut prosedur hukum juga, sekarang dibentuk satu tim yang dipimpin Alius Suhardi (Kepala BNPT) akan buat draft,” kata Mahfud Kamis.
Bisa menguntungkan
Sejumlah pengamat berharap pemerintah segera memutuskan memulangkan WNI yang berada di Suriah.
“Kesaksian mereka tentang kondisi di sana dapat menjadi bahan refleksi bagi masyarakat, bahwa bergabung ISIS maupun kelompok teroris lainnya tidak menguntungkan, bahkan membuat mereka menderita di sana,” kata peneliti terorisme Universitas Malikul Saleh Lhokseumawe, Al Chaidar, kepada BenarNews.
Namun dia menggarisbawahi, WNI yang dipulangkan dari Suriah, harus mereka yang benar-benar menyesal dan tidak berpotensi melakukan aksi terorisme di dalam negeri.
“Jangan sampai setelah mereka kembali, melakukan aksi lagi seperti yang sudah-sudah. Harus dipastikan lebih dahulu siapa saja mereka yang dipulangkan dan mengikuti program deradikalisasi yang memadai,” ujarnya.
Sementara Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones, mengatakan, sebaiknya pemerintah memprioritaskan mereka yang tidak berisiko untuk dipulangkan segera.
“Saya kira lebih baik memilih anak-anak dan perempuan yang telah dipastikan tidak terlibat dengan militan ISIS terlebih dahulu dari pada mempertimbangkan lebih lama lagi, sebab kondisi di sana semakin tidak menentu,” ujarnya saat dihubungi.
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan sesuai dengan undang-undang kewarganegaraan, mereka yang berangkat ke Suriah dan bergabung dengan ISIS telah kehilangan kewarganegaraanya.
“Sejak awal para WNI ini hendak bergabung dengan ISIS, maka mereka menganggap ISIS sebagai negara mereka. Oleh karenanya sejak saat itu mereka telah rela melepas kewarganegaraan Indonesianya," katanya.
Apalagi beberapa diantaranya disebut-sebut telah membakar paspor Indonesia. Karena itu menurut Hikmahanto, pemerintah tidak perlu memikirkan pemulangan mereka.
"Memang secara teori eks-WNI ini berstatus stateless. Namun kondisi stateless ini tidak berada di Indonesia sehingga pemerintah tidak perlu pusing untuk mewarganegarakan mereka," ujarnya.