Polri Janji Transparansi Pengusutan Kaburnya Djoko Tjandra

Sejumlah polisi dan aparat hukum lainnya ikut terseret terkait kaburnya buronan kasus korupsi itu.
Arie Firdaus
2020.07.31
Jakarta
200730_ID_Djoko_1000.jpg Petugas kepolisian Indonesia mengawal buronan korupsi, Djoko Tjandra (berbaju oranye) saat ketibaannya di Bandara Jakarta, pada 30 Juli 2020, setelah ditangkap di Malaysia mengakhiri pelariannya selama 11 tahun.
AFP

Kapolri Jenderal Idham Aziz mengatakan, Jumat (31/7), kepolisian akan menindak tegas pihak yang membantu pelarian Djoko Tjandra, yang sebelumnya sempat menjadi buronan kasus korupsi selama 11 tahun sebelum ditangkap di Malaysia dan dipulangkan ke Indonesia sehari sebelumnya.

Djoko yang sudah divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung pada tahun 2009 karena bersalah dalam kasus korupsi Bank Bali, ditangkap di sebuah apartemen di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Kamis siang (30/7) dan langsung dibawa ke Indonesia malam harinya menggunakan pesawat carteran.

Idham berjanji institusinya akan transparan dalam mengusut kasus seputar masuknya Djoko ke Indonesia tanpa terdeteksi pada bulan Juni lalu dan kaburnya kembali ke luar negeri, hal yang banyak disorot karena memperlihatkan lemahnya hukum di Indonesia.

"Pihak yang terlibat dalam pelarian Djoko akan disikat dan diproses hukum. Ini juga upaya bersih-bersih Polri terhadap oknum nakal," kata Idham dalam keterangan tertulis, Jumat (31/7).

"Kami akan transparan dan objektif untuk mengusut tuntas apa yang terjadi."

Menurut Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang memimpin penjemputan di Malaysia, kerja sama operasi penangkapan Djoko dimulai sekitar sepekan lalu atau tak lama setelah ia diketahui memasuki Indonesia tanpa terdeteksi pada awal Juni.

Sepanjang waktu singgah di Indonesia tersebut, ia diketahui sempat memperbarui Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) di Kelurahan Grogol Selatan Jakarta dalam kurun waktu sejam, mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari yang sama, dan beberapa kali pergi ke Pontianak, Kalimantan Barat.

Padahal Djoko sudah mendapat kewarganegaraan Papua Nugini tahun 2012 selama dia dalam status buron, yang berarti dia sudah menanggalkan status sebagai warga negara Indonesia.

Belakangan dilaporkan media Australia ABC bahwa paspor Papua Nugini dia telah dicabut.

Untuk memperlancar proses penangkapan, terang Listyo, Kapolri Idham Aziz harus menyurati petinggi Polis Diraja Malaysia (PDRM) untuk membantu penangkapan Djoko.

"Setelah ditangkap PDRM, baru diserahkan kepada kami," ujar Listyo.

‘Memulihkan kepercayaan masyarakat’

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam keterangan pers di Jakarta berharap penangkapan Djoko dapat menjadi kesempatan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.

"Ini menjadi pernyataan sikap yang tegas bahwa negara pada akhirnya tidak bisa dimainkan oleh siapa pun yang mencoba bersiasat mengangkangi hukum di negara ini," kata Yasonna.

"Serta menjadi contoh bagi lembaga penegak hukum agar tidak melakukan hal serupa. Pencopotan semata tidak cukup, harus diikuti proses pidana," ujarnya.

Sejumlah petinggi polisi dan sipil memang turut terseret dalam pelarian Djoko.

Tiga jenderal polisi yaitu Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Napoleon Bonaparte, Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia, Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibobo, dan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil aaaaaa(PPNS) Bareskrim Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo telah dicopot dari jabatan masing-masing usai diduga membantu pelarian Djoko.

Napoleon dan Slamet diduga berperan dalam penghapusan red notice atas nama Djoko Tjandra dari data Interpol.

Sementara Prasetijo diduga menandatangani surat jalan untuk Djoko dan turut terbang ke Pontianak pada 19 Juni bersama pengusaha itu. Khusus untuk Prasetijo, ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka pemalsuan surat dan dugaan menghalangi penyidikan dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.

Adapula Lurah Grogol Selatan Asep Subahan yang dinonaktifkan karena dianggap menyalahgunakan wewenang saat melayani pembuatan e-KTP Djoko.

Selain itu, jaksa Pinangki Sirna Malasari yang dicopot dari jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.

Tak ketinggalan kuasa hukum Djoko yakni Anita Kolopaking yang dijadikan tersangka atas dugaan pidana pemalsuan surat.

Latar belakang kasus

Kasus Djoko bermula saat Direktur Utama Bank Bali kala itu Rudy Ramli kesulitan menagih piutang sebesar Rp3 triliun yang tertanam di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara pada 1997.

Sampai ketiga bank tersebut masuk ke dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan piutang tak kunjung cair.

Pada Januari 1999, Rudy kemudian menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima, di mana Djoko kala itu duduk sebagai salah satu direktur perusahaan. Lewat kerja sama itu, Era Giat disepakati menerima bayaran sebesar setengah dari total piutang yang dapat ditagih.

Bank Indonesia dan BPPN kemudian mengucurkan uang untuk Bank Bali sebesar Rp905 miliar, tapi belakangan Bank Bali hanya beroleh Rp359 miliar. Sisanya sebesar Rp546 miliar mengalir ke rekening Era Giat.

Seiring waktu, sejumlah kejanggalan terkuak seperti cessie, atau surat pengalihan hak, yang tidak diketahui BPPN, tidak dilaporkan ke Bappepam dan Bursa Efek Indonesia --padahal Bank Bali sudah melantai di bursa.

Ketua BPPN Glenn Yusuf kemudian membatalkan perjanjian cessie, tapi digugat Era Giat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan memenangkannya. Tak terima, BPPN mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan berakhir dengan kemenangan BPPN pada November 2004.

Namun Era Giat kemudian menggugat Bank Bali dan Bank Indonesia secara perdata agar tetap mencairkan dana Rp546 miliar tersebut dan memenangkannya, bahkan hingga tahap Peninjauan Kembali (PK).

Seiring sengkarut itu, Kejaksaan Agung mengambil alih kasus dan menetapkan sejumlah tersangka, seperti Djoko, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), Rudy, hingga Tanri Abeng (Menteri Pendayagunaan BUMN), atas tuduhan korupsi yang merugikan negara sebesar Rp546 miliar.

Belakangan, hanya tiga yang dikenai hukuman. Pande Lubis yang dihukum empat tahun penjara atas putusan Mahkamah Agung pada 2004 dan Syahril Sabirin yang divonis tiga tahun penjara. Sementara Djoko divonis bebas.

Tak terima dengan putusan itu, kejaksaan kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Berdasarkan keputusan MA, Djoko yang dijerat perkara cessie Bank Bali, semestinya dihukum dua tahun penjara sejak 2009. Namun demikian, ia sudah terlebih dahulu kabur ke luar negeri.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.