Tangkap Warga karena Berkomentar Soal Gibran, Polisi Virtual Dikritik

Keberadaan polisi virtual dikecam memperburuk demokrasi Indonesia.
Ronna Nirmala
2021.03.16
Jakarta
Tangkap Warga karena Berkomentar Soal Gibran, Polisi Virtual Dikritik Gibran Rakabuming Raka (kiri), putra dari Presiden Joko Widodo, menghadiri pelantikan dirinya sebagai walikota Solo didampingi oleh istrinya Selvi Ananda (kanan) di Solo, Jawa Tengah, 26 Februari 2021.
AFP

Kelompok pegiat kebebasan berpendapat di internet mengkritik kewenangan kepolisian untuk mengawasi dan menindak percakapan di dunia digital usai penangkapan seorang warga di Jawa Tengah akibat unggahannya yang dianggap menghina Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang juga putra Presiden Joko “Jokowi” Widodo. 

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga mengatakan keberadaan polisi virtual mengancam dan memperburuk demokrasi di Indonesia dan justru menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan pendapat atau kritik atas jalannya pemerintahan. 

“Sebaiknya polisi virtual ini difokuskan untuk menangani kejahatan-kejahatan siber yang juga amrak terjadi seperti penipuan online yang saat ini menjadi sorotan masyarakat,” kata Sustira melalui keterangan tertulis kepada BenarNews, Selasa (16/3). 

Pada Senin, tim polisi virtual Polresta Surakarta menangkap Arkham Mukmin, warga Slawi, akibat komentarnya pada sebuah unggahan di akun Instagram @gardarevolusi terkait rencana Gibran yang juga putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mengundang semifinal dan final Piala Menpora di Solo. 

Pada kolom komentar unggahan yang muncul pada Sabtu (13/3) itu, Arkham menuliskan, “Tau apa dia tentang sepakbola, taunya cuma dikasih jabatan saja.”

Kapolresta Surakarta Kombes Ade Safri Simanjuntak mengatakan komentar tersebut bermuatan hoaks, dengan argumen bahwa Gibran mendapatkan jabatannya karena mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung sesuai regulasi yang berlaku. 

“Untuk muatan hoaksnya ada pada caption yang di-share yang bersangkutan,” kata Ade kepada jurnalis. 

Mabes Polri pada bulan lalu mengumumkan dibentuknya polisi virtual yang ditujukan untuk memonitor konten di media sosial yang berpotensi melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), termasuk pencemaran nama baik dan berita bohong.

Pernyataan itu menyusul kritikan masyarakat bahwa UU ITE telah disalahgunakan untuk mempidanakan warga yang kritis terhadap pemerintah dan pejabat negara.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Iskandar Fitriana Sutisna menolak tuduhan bahwa Polresta Surakarta melakukan penangkapan terhadap Arkham. 

Arkham diizinkan meninggalkan kantor polisi setelah komentarnya dihapus dan meminta maaf secara terbuka melalui sebuah video yang diunggah pada akun resmi Instagram Polresta Surakarta, @PolrestaSurakarta. 

“Tidak ada penangkapan. Polres Surakarta hanya mengingatkan apabila ada postingan atau konten negatif, sehingga para netizen tidak melanggar UU ITE dan bijak dalam bermedia sosial,” kata Iskandar kepada BenarNews, Selasa. 

Iskandar menjelaskan, tim polisi virtual hanya bertugas untuk mengedukasi warganet agar tidak membuat unggahan yang mengandung unsur penghinaan, kebencian, SARA, radikalisme, dan seterusnya. 

“Setelah diedukasi terhadap pemilik akun untuk segera menghapus posting-annya, maka yang bersangkutan menyadari atas kesalahannya dan meminta maaf,” tukasnya. 

Sustira dari ICJR mengatakan, meski telah dilepaskan, tindakan penangkapan yang dilakukan kepolisian berlebihan dan merupakan langkah mundur pasca-pidato Jokowi terkait kebebasan berpendapat dan demokrasi pada awal Februari lalu. 

Selain itu, menurutnya penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai dalih penangkapan juga tidak tepat. Sebab, jika menggunakan beleid tentang penghinaan, maka pasal itu seharusnya digunakan sebagai delik aduan oleh korban secara langsung. 

“Selain menunjukan UU ITE harus direvisi, masalah utama juga terletak pada pemahaman aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, terkait dengan individu dan jabatan dalam konteks penerapan UU ITE,” kata Sustira. 

ICJR juga tidak sepakat dengan klaim kepolisian yang menggunakan istilah keadilan restoratif (restorative justice) dalam insiden ini. 

“UU ITE sama sekali tidak mengatur perlindungan terhadap pejabat negara, dan pejabat negara harusnya tidak dilindungi dalam konteks penghinaan dalam kapasitas jabatannya,” tukasnya.  

Badge awards

Selain keberadaan unit baru polisi, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri juga berencana memberikan lencana bagi masyarakat yang aktif berpartisipasi melaporkan tindak pidana di media sosial. 

Wacana pemberian penghargaan yang disebut “badge awards” itu terungkap melalui akun Instagram milik Dittipidsiber (@ccicpolri) pada Jumat pekan lalu. 

Kasubdit I Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Reinhard Hutagaol kepada Tirto.id mengatakan lencana itu akan diberikan melalui proses verifikasi terlebih dahulu. Bila program ini konsisten, artinya masyarakat juga akan membantu polisi virtual berpatroli di ruang-ruang siber, lanjutnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai pemberian “badge awards” hanya akan memicu ketegangan dan konflik sosial. 

“Kejadian penangkapan seperti yang menimpa warga Slawi dapat terulang lagi. Warga seharusnya tidak perlu takut pada ancaman hukuman pidana atau dipaksa untuk minta maaf hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai,” kata Usman, kepada BenarNews.  

Di sisi lain, rencana ini juga menurutnya menunjukkan bahwa pemerintah semakin jauh dari janjinya untuk memberi rasa keadilan kepada masyarakat terutama dalam menyampaikan pendapat, kritik atau ekspresi lainnya yang sah. 

“Meskipun pemerintah telah berulang kali mengaku ingin melindungi, belum terlihat langkah nyata dari pemerintah untuk membuktikan komitmen tersebut,” kata Usman. 

Tegur 89 akun

Juru Bicara Polri Argo Yuwono bulan lalu mengatakan kehadiran polisi di ruang digital adalah bentuk pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui edukasi dan pemberitahuan kepada pengguna internet. 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono mengatakan hingga hari ini, polisi virtual telah menegur 89 akun di media sosial yang terindikasi melanggar ketentuan pidana dalam dunia siber. 

“Peringatan dilayangkan melalui DM (direct message). Mayoritas mau mengubah, responsnya baik,” kata Rusdi melalui pesan singkat. 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut kehadiran polisi virtual hanya akan mempersulit warga untuk membela diri ketika dianggap melanggar UU ITE. 

“Karena nanti polisi akan mengatakan sudah diperingatkan. Kalau seperti itu bandingnya bagaimana?” kata Asfinawati. 

Dalam agenda peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 pada 8 Februari 2021, Presiden Jokowi mengajak seluruh elemen bangsa berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik dengan aktif mengkritik pemerintah. 

Namun pernyataannya mengundang respons dari masyarakat yang mengatakan tidak mungkin mereka bisa bebas mengkritik pemerintah tanpa ancaman jeratan UU ITE. 

Merespons hal itu, Jokowi kemudian meminta Kapolri untuk lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan yang menjadikan UU ITE sebagai rujukan hukumnya. Menurutnya, belakangan ini banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan berdasarkan UU ITE dan proses hukumnya dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.

Kapolri kemudian menerbitkan Surat Edaran (SE) bertajuk “Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif” yang ditandatangani pada 19 Februari 2021. 

Selang beberapa hari setelahnya, pemerintah juga membentuk tim khusus untuk mengkaji UU ITE yang selama ini dianggap mengandung pasal yang mengekang kebebasan berbicara.

“Pembentukan tim untuk membahas substansi, apakah betul ada pasal karet,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD, di Jakarta.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.