Polri Waspadai Teror Saat Lebaran

Ramadan sering digunakan kelompok militan untuk melakukan "amaliyah", demikian menurut polisi.
Rina Chadijah
2018.06.12
Jakarta
180612_ID_Policeterror_1000.jpg Polisi bersiaga di sebuah jalan di Bandung , Jawa Barat, mengawasi arus mudik Lebaran, 11 Juni 2018.
AFP

Mabes Polri telah memerintahkan jajarannya di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan guna mencegah aksi teror saat musim mudik dan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriyah, yang diperkirakan jatuh pada Jumat, 15 Juni 2018.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen. Pol. Muhammad Iqbal, mengatakan pihaknya telah menyiagakan Satuan Tugas (Satgas) antiteror di seluruh daerah, untuk menjamin agar tidak ada aksi teror pada hari besar umat Islam tersebut.

Mereka bergabung dengan satuan-satuan lain yang mengamankan mudik. Sebanyak 177.000 aparat gabungan dikerahkan untuk mengamankan mudik dan liburan Idul Fitri.

“Tentu kita terus melakukan upaya-upaya pengamanan. Kita ingin seluruh masyarakat dapat mudik dan merayakan Lebaran dengan tenang,” kata Iqbal kepada BeritaBenar, Selasa, 12 Juni 2018.

Menurutnya, perintah membentuk Satgas anti-teror telah disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian kepada seluruh Kepala Kepolisian Daerah, beberapa waktu lalu.

Namun, Iqbal menampik peningkatan pengamanan yang dilakukan polisi menyusul ada ancaman teror saat Lebaran seperti yang terjadi tahun lalu di Mapolda Sumatera Utara.

Menurutnya, hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga ketertiban masyarakat yang ingin merayakan Idul Fitri dengan tenang.

“Tidak secara khusus, tetapi memang kita harus terus waspada. Sebab mereka bisa melakukan aksi kapan saja, tidak hanya saat Lebaran tapi bisa juga setiap saat,” ujar Iqbal.

Sebelumnya, Wakapolri Komjen Syafruddin menyebut Polri terus memantau pergerakan jaringan teroris saat mudik Lebaran karena seperti masyarakat umumnya, para terduga teroris juga melakukan tradisi mudik.

"Tentu tetap kami pantau, seperti masyarakat mudik, pergerakan jaringan-jaringan terorisme yang juga melakukan mudik akan kami pantau," katanya kepada wartawan di Jakarta, Senin.

"Masyarakat nggak usah khawatir. Pokoknya diamankan," ujarnya.

Usai serangan teror pada Mei lalu di sejumlah daerah yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Riau, Polri telah menciduk 82 terduga teroris dan 14 lagi ditembak mati karena disebut melawan petugas saat hendak ditangkap.

Polri mengakui masih terus memburu para terduga teroris yang terlibat serangan yang disebut dilakukan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok militan yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Serangan saat lebaran

Peningkatan kesiagaan polisi menjelang Lebaran cukup beralasan.

Saat perayaan Idul Fitri tahun 2017, dua terduga teroris menyerang dan membakar pos polisi Mapolda Sumatera Utara di Medan

Polisi yang bertugas jaga saat itu, Martua Sigalingging, tewas ditikam.

Salah seorang pelaku, Ardial alias Bewe, kemudian tewas ditembak setelah mencoba menyerang petugas lain. Pelaku lainnya, Syawaludin Pakpahan berhasil ditangkap.

Pada 16 Mei 2018, Syawaludin, seorang simpatisan ISIS yang pernah enam bulan tinggal di Suriah, divonis hukuman 19 tahun penjara oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Dalam persidangan, Syawaluddin mengaku penyerangannya itu terinspirasi oleh tulisan dan ceramah pimpinan JAD, Aman Abdurrahman, yang kini sedang menunggu vonis pengadilan pada 22 Juni 2018, atas keterkaitan dengan sejumlah aksi teror di Indonesia.

Sehari menjelang Lebaran dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 5 Juli 2016, Mapolresta Solo diserang oleh seorang pelaku bom bunuh diri dengan menggunakan sepeda motor.

Sang pelaku, Nur Rohman, adalah simpatisan ISIS, demikian menurut Jenderal Badrodin Haiti, Kapolri saat itu. Badrodin menambahkan aksi itu adalah implementasi seruan pemimpin ISIS untuk melakukan amaliyah, istilah kelompok militan untuk melakukan serangan teror, pada bulan Ramadan.

Patut diantisipasi

Pengamat terorisme Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, mengatakan belajar dari sejumlah serangan sebelumnya, kelompok teroris selalu memanfaatkan kelengahan petugas dalam melancarkan aksinya.

“Intelijen juga harus kuat memantau pergerakan para teroris dan menelaah informasi yang berkembang di lapangan,” ujarnya.

Menurutnya, kewenangan Polri dalam mencegah teror makin luas setelah disahkan revisi Undang-undang Antiterorisme.

“Polri punya kewenangan untuk menyadap dan memantau pergerakan mereka lebih luas sekarang. Karenanya harus dimaksimalkan upaya-upaya pencegahan,” katanya.

Sementara itu, peneliti terorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe di Aceh, Al-Chaidar, berpendapat pengawasan dan pelacakan jaringan JAD harus dimaksimalkan karena kelompok ini paling aktif dan kerap menunjukkan eksistensinya.

“Apalagi jelang vonis amir mereka Aman Abdurrahman, potensi ancaman saya lihat juga semakin besar dengan hukuman yang menurut mereka tidak adil itu. Jadi memang harus terus diwaspadai,” katanya saat dihubungi.

Jaksa Anita Dewayani dalam persidangan 18 Mei lalu, menuntut Aman dengan hukuman mati karena dinilai terbukti menjadi dalang dan menginspirasi sejumlah orang lain untuk melancarkan aksi teror di Indonesia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.