Pengamat: Kasus Pencatutan Nama Presiden Cermin Rendahnya Budaya Malu Politisi
2015.11.17
Jakarta
Setya Novanto menjadi salah satu nama yang paling banyak disebut awal minggu ini di Indonesia.
Ketua DPR itu dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dengan tudingan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapat 20% saham PT Freeport dan sebuah proyek pembangkit listrik di Papua.
Sejak Senin siang, saat Ketua DPR itu dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dengan tudingan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden, media massa dan pengguna jejaring sosial habis-habisan membahasnya.
Setya Novanto sendiri menyangkal semua klaim yang dituduhkan kepadanya. Seperti dilansir pada laman Jakarta Post hari Selasa (17/11), ia mengatakan ia tidak pernah mencatut nama presiden dan wapres, sementara pertemuannya dengan Freeport adalah untuk memfokuskan pada tanggung jawab sosial perusahaan tersebut pada rakyat Papua.
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengaitkan nama Setya dengan kasus lawatan pimpinan DPR ke AS September lalu, yang dianggap memalukan kelembagaan DPR karena Setya dan pimpinan lain hadir dalam kampanye capres AS dari Partai Konservatif yang dikenal kontroversial, Donald Trump. Mereka berfoto bersama Trump dengan pose yang dianggap memalukan Indonesia.
Dalam kariernya sebagai politisi, Setya pernah dikaitkan dengan sejumlah kasus termasuk skandal cessie Bank Bali, korupsi pengadaan Al-Quran, hingga pengadaan e-KTP bernilai triliunan rupiah.
Terakhir, Menhan Ryamizard Ryacudu menyebutnya campur tangan dalam urusan pengadaan pesawat amfibi untuk TNI dari Jepang.
Setya sendiri sudah membantah berbagai tudingan ini. Dari insiden kampanye Trump di AS, Setya hanya dikenai hukuman peringatan oleh MKD.
“Hal biasa”
Sanksi ringan atas pelanggaran kode etik seorang pimpinan lembaga tertinggi negara ini, menurut pengamat politik Jayadi Hanan mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap rasa malu dan asas kepatutan dalam dunia politik di Indonesia.
“Fatsun dan aturan politik ada, jelas. MKD itu itu pasalnya lengkap. Tapi tidak berdiri dengan tegah sehingga pelanggaran nampaknya dianggap hal biasa,” kata Jayadi pada BeritaBenar.
Dalam laporan Menteri ESDM, dugaan pelanggaran jauh lebih berat: mencatut nama dua pimpinan negara dengan imbalan 20% saham PT Freeport ditambah jaminan proyek pembangkit listrik di Papua.
Bahkan meski belum terbukti sekali pun, laporan seberat ini akan memaksa politisi sejumlah negara mundur karena tekanan rasa malu.
“Tidak usah di Amerika atau Eropa, contoh Jepang dan Taiwan saja. Malah bisa jadi hara-kiri saking malunya,” tandas Jayadi.
Tuntutan mundur antara lain muncul dari sekelompok politisi muda dari partai Setya sendiri, Golongan Karya. Suara yang lebih keras menuntut ia mundur dan menjalani proses hukum muncul, lagi-lagi dari sosial media.
Jayadi menilai rendahnya tradisi rasa malu politis dan pejabat publik di Indonesia berkait erat dengan lemahnya penegakan hukum.
Kerap kali pelanggaran serius setingkat korupsi yang sudah diendus publik dianggap hal biasa.
“Ada istilah, ah biasalah itu. Mungkin dia (politisi) lagi apes aja katanya,” kritik Jayadi yang juga pengajar ilmu politik di Universitas Paramadina.
Kasus pencalonan kepala daerah di arena Pilkada menunjukkan istri, anak, anggota keluarga koruptor tak malu mencalonkan diri untuk jabatan yang sama.
Bahkan pejabat publik setingkat Ketua DPR seperti Setya Novanto tetap dilantik, meski tahun lalu muncul peringatan KPK tentang potensinya terseret dalam kasus hukum.
Presiden Joko Widodo juga tetap mencalonkan KomJen (Pol) Budi Gunawan meski pun namanya dikaitkan dengan dugaan kasus korupsi dan dijadikan tersangka oleh KPK.
“Belum dengar laporan”
Fungsi internal lembaga menurut Jayadi sulit diharapkan membantu mendongkrak tata krama dan rasa malu politisi.
“Karena itu kalau mau ada perubahan, yang bisa mendorong ya publik. Seperti hari ini, lakukan social pressure lewat social media dan jejaring lain,” saran Jayadi Hanan.
Dugaan itu nampaknya tak meleset.
Meski tudingan percaloan jadi perhatian publik, MKD belum menunjukkan akan menyegerakan pembahasan kasus.
Tak satupun dari daftar pimpinan MKD merespon pertanyaan tentang kelanjutan laporan Menteri ESDM. Seorang anggota MKD, Budi Supriyanto, mengatakan kepada BeritaBenar bahwa dia belum mendengar tentang soal ini.
“Belum, belum ada. Saya kira masih dibahas di tingkat pimpinan baru nanti anggota diundang untuk bahas. Tunggu, lah,” jelas Budi.