Polri: Kekerasan Atas Ulama Kriminal Murni
2018.02.21
Jakarta
Polisi mengatakan kekerasan terhadap sejumlah ulama belakangan ini adalah murni kriminal biasa, menepis anggapan sejumlah pihak tentang adanya rekayasa di balik kejadian itu.
Sedikitnya ada 21 kasus penyerangan yang terjadi sejak Desember 2017 hingga kini, dimana 15 di antaranya disebutkan “pelakunya tak waras”.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komjen. Pol. Ari Dono Sukmanto mengatakan kasus-kasus yang menurutnya merupakan kriminal biasa itu menjadi ramai karena ada anggota kepolisian terlalu dini mengatakan pelakunya tidak waras.
“Cepat sekali langsung memvonis gila. Kan seperti itu jadi rame publik. Memang ada bahasa medis, ada bahasa awam. Saya mohon maaf atas nama institusi kalau memang polisi ini tadi terlalu cepat bilang seperti itu,” ujar Ari di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Rabu, 21 Februari 2018.
Dia menambahkan kebetulan kasus-kasus itu terjadi dalam waktu berdekatan, tapi tidak ada indikasi berlangsung secara sistematis.
Polri masih menyelidiki kasus-kasus tersebut sesuai prosedur yang dimiliki institusinya.
“Siapa yang melakukan sudah ketangkap. Penganiayaannya jelas tindak pidana,” ujarnya.
Pernyataan ini menepis persepsi sejumlah pihak yang memperkirakan adanya rekayasa dalam kejadian-kejadian tersebut.
“Seperti bagian rekayasa sistematis, karena rentetan kasus dan waktu kejadiannya serupa, menyasar para pemuka agama dan tempat ibadah. Kenapa dari Desember sampai sekarang seperti musim munculnya orang gila,” ujar Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsudin.
Sekretaris Jenderal MUI, Anwar Abbas, menyebutkan interpretasi terhadap masalah tersebut di kalangan ulama beragam dari yang lunak hingga keras.
“MUI mendesak kepolisian segera menjelaskan agar tak ada kebisingan. Apalagi kita akan ada Pilkada dimana keamanan menjadi sangat penting,” ujarnya.
Berdasarkan data Bareskrim Polri, terdapat 21 kasus kekerasan terhadap ulama dan tokoh agama, dengan rincian 13 terjadi di Jawa Barat, empat di Jawa Timur, dan masing-masing satu kasus di Jakarta, Banten, Aceh dan Yogyakarta.
Ari menegaskan bahwa pihaknya telah memerintahkan para kepala kepolisian daerah untuk memberi pengamanan lebih kepada para ulama di daerahnya masing-masing dan meminta semua pihak tidak terpancing isu.
“Kami juga sedang menyelidiki pelaku yang tertangkap yang sengaja menggoreng beritanya. Sudah ada lima orang yang kita tangkap.”
Di antara kasus-kasus itu yang paling menonjol antara lain ialah Ustaz Abdul Basit dikeroyok belasan pemuda di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, 10 Februari 2018.
Pada 1 Februari 2108, Ustaz HR Prawoto, Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam meninggal dunia usai dianiaya seorang pria di Bandung, Jawa Barat.
Sebelumnya, tokoh Nahdlatul Ulama yang juga Pengasuh Pesantren Al-Hidayah Cicalengka di Bandung, Jawa Barat, Umar Basri juga dianiaya seorang pria saat sedang berzikir setelah shalat subuh di masjid, 27 Januari 2018.
Seruan moral
Kasus-kasus kekerasan itu memaksa aktivis keagamaan dan akademisi menyuarakan “Seruan Moral untuk Menjaga dan Memperjuangkan Kebhinnekaan” di Jakarta, 20 Februari 2018.
Seruan yang digagas kelompok advokasi hak asasi manusia Setara Institute ditandatangani 185 orang terdiri dari enam butir, di antaranya meminta pemerintah sebagai pengelola sumber daya politik, hukum, dan keamanan untuk professional dalam merespon tiap upaya mengancam kebhinekaan bangsa.
“Presiden Joko Widodo berulangkali menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia dan kebebasan beragama hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Maka, standing position Presiden tersebut harus memberikan energi tambahan bagi setiap aparat untuk menindak setiap ancaman atas kebhinekaan,” ujar Henny Supolo, Ketua Yayasan Cahaya Guru, yayasan yang bertujuan untuk menjaga keberagaman di sekolah, membacakan maklumat seruan.
Para aktivis dan akademisi juga menuntut kompetisi di setiap perhelatan politik, termasuk Pemilihan Kepala Daerah serentak di 171 daerah pada tahun ini, juga Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden tahun depan, tidak menggunakan politisasi agama, kampanye hitam, dan kebencian berbasis sentimen SARA yang dapat mengancam kohesi sosial, kebhinekaan, dan integrasi nasional.
Mereka juga meminta kepada para tokoh dan pemuka agama memiliki peran sentral dalam merawat kebhinekaan dalam kehidupan kebangsaan Indonesia.
“Mereka harus memastikan pendidikan dan pengajaran keagamaan efektif membentuk kepribadian bangsa dan mencegah segala upaya yang dapat memecah belah antarelemen bangsa dengan menggunakan sentimen-sentimen keagamaan,” ujar pengamat politik Ray Rangkuti yang juga ikut dalam menyuarakan seruan moral tersebut.
Ketua Setara Institute, Hendardi menilai penyerangan terhadap tokoh agama dan rumah ibadah serta persekusi terhadap minoritas menunjukkan adanya ancaman serius terhadap kebhinekaan.
“Ikatan kebangsaan yang dibangun oleh para pendiri bangsa sedang dalam pertaruhan. Membiarkan intoleransi, diskriminasi, persekusi, dan segala ancaman atas kebebasan beragama sebagai salah satu ruh kebhinekaan nyata-nyata merupakan pengkhianatan atas amanat kebangsaan yang dimandatkan kepada kita,” ujarnya.
Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, HS Dillon, mengingatkan pembiaran terhadap berkembangnya isu SARA memiliki dampak negatif sama dengan kejahatan terkait SARA itu.
“Jangan kita membiarkan para politisi menghancurkan bangsa untuk meraih kepentingan jangka pendek politik mereka,” katanya.