Dua Militan Tewas di Poso dari Suku Uighur
2016.03.16
Poso
Diperbaharui pada 17-3-2016, 21:00 WIB
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Kapolda Sulteng), Brigjen. Pol. Rudy Sufahriadi mengungkapkan, dua korban tewas dalam baku tembak dengan pasukan gabungan TNI/Polri di Kabupaten Poso, berasal dari etnis Uighur di Provinsi Xinjiang, Tiongkok.
Hal itu disampaikan Rudy dalam jumpa pers di Palu, Rabu, 16 Maret 2016, setelah tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda melakukan proses identifikasi terhadap kedua jenazah korban, yang kemudian diketahui bernama Farok alias Magalasi Bahtusan dan Nuretin alias Abdul.
Mereka tewas dalam kontak senjata dengan TNI/Polri yang tergabung dalam Operasi Tinombala 2016 di Desa Talabosa, Kecamatan Lore Piore, Kabupaten Poso, Selasa, 15 Maret 2016.
Dalam insiden itu, dua terduga anggota kelompok militan mengalami luka tembak. Tak ada korban tewas maupun terluka pada pihak pasukan keamanan pemerintah.
Kedua warga Uighur bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah – sosok paling diburu aparat keamanan setelah meyatakan mendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
"Proses identifikasi bisa berjalan cepat karena kami melibatkan seorang anggota MIT yang ditangkap hidup yaitu Zaelani. Dia mengaku kedua jenazah itu adalah Farok dan Nuretin dari Uighur, Tiongkok," jelas Rudy.
Ia mengaku, kedua jenazah masih disemayamkan di kamar jenazah RSU Bhayangkara demi kepentingan indentifikasi lanjutan.
"Masih ada yang perlu diketahui, makanya proses identifikasi masih akan dilakukan," ungkap mantan Kapolres Poso itu yang baru beberapa hari lalu menggantikan Brigjen. Pol. Idham Azis.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah etnis Uighur bergabung dengan kelompok radikal di Indonesia. Akhir tahun lalu, polisi menangkap dan menahan seorang lelaki suku Uighur di Bekasi karena diduga terlibat dalam upaya untuk melakukan serangan bom bunuh diri.
Tahun lalu, empat warga etnis Uighur divonis enam tahun penjara karena melakukan tindak terorisme. Mereka disebut hendak bergabung dengan kelompok pimpinan Santoso.
Bergabung dengan MIT tahun 2015
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng, Ajun Komisaris Besar Polisi Hari Suprapto menyebutkan, belum mengetahui bagaimana warga negara asing (WNA) dari suku Uighur bisa masuk dan bergabung bersama Santoso di pegunungan Poso.
Tapi berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari Zaelani diketahui kalau keduanya bergabung dengan MIT sejak pertengahan 2015.
"Dengan tertembaknya Farok dan Nuretin diperkirakan masih ada empat lagi warga Uighur bersama Santoso dan anak buahnya di pedalaman Poso karena informasi dari Zaelani jumlah mereka semua enam orang,” katanya kepada BeritaBenar.
Hari menambahkan bahwa polisi masih mendalami bagaimana WNA itu bisa masuk dan bergabung dengan kelompok MIT. Tapi diperkirakan mereka bergabung setelah mendengar seruan Santoso di media sosial dan Youtube diunggah, beberapa waktu lalu.
"Dugaan kami dampak dari seruan itu sehingga mereka bergabung. Sekarang kami masih mendalami bagaimana mereka masuk ke Poso. Siapa kurirnya dan apa peran mereka dalam MIT," imbuh Hari.
Teraniaya di negara asal
Kongres Uighur Dunia menghubungkan nasib orang Uighur di Indonesia itu sebagai dampak dari penganiaan yang diduga dilakukan pemerintah China terhadap suku minoritas di negara itu.
“Orang-orang Uighur tidak tahan akan penganiayaan dan memaksa mereka untuk meninggalkan daerah asal mereka untuk pergi ke berbagai penjuru dunia," kata Dilxat Raxit, juru bicara kelompok Uighur di pengasingan kepada BeritaBenar.
"Jika ada orang (Uighur) yang terlibat dalam perilaku ekstrim, Beijing harus memikul tanggung jawab politik secara langsung," katanya.
"Hal ini karena penumpasan brutal oleh China telah mengakibatkan sejumlah besar Uighur menjadi pelarian, yang dipengaruhi secara berbeda di berbagai negara."
Dia menyatakan keprihatinan bahwa pemerintah China mungkin menggunakan insiden Indonesia "untuk melakukan tindakan keras bahkan lebih kejam pada Uighur atas nama perang terhadap terorisme."
Polda kecolongan
Direktur LPS-HAM Sulteng, Moh. Affandi mengatakan bahwa Polda Sulteng telah kecolongan karena enam warga Uighur berhasil masuk ke Poso dan bergabung dengan Santoso pada tahun lalu ketika sedang gencar dilakukan Operasi Camar Maleo.
"Sudah pasti kecolongan, apalagi jumlah mereka yang sudah bergabung itu enam orang. Sekarang tersisa empat karena sudah tewas dua. Meski tinggal empat, itu merupakan ancaman tersendiri bagi Polda," ujarnya.
Affandi menduga, keenam warga Uighur itu bergabung bersama MIT tidak mungkin tanpa tujuan. Pasti mereka tidak hanya membawa diri, melainkan juga membawa perlengkapan perang seperti senjata api, bahan peledak, dan lain sebagainya.
"Adanya kehadiran mereka dalam MIT, otomatis akan timbul banyak pertanyaan. Nah, sekarang tinggal Polda yang akan menjawab itu semua," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, jumlah kelompok MIT tersisa sekitar 30-an orang, termasuk tiga amirnya yaitu Santoso alias Abu Wardah, Basri alias Bagong, dan Ali Kalora.
Selain itu, terdapat tiga perempuan asal Bima, Nusa Tenggara Barat yang bergabung dengan MIT sejak 2012 setelah ketiga suaminya tewas dalam kontak senjata di Poso. Kabarnya mereka sudah menikah dengan ketiga amir MIT.
Versi terbaru ini memasukkan informasi tentang pandangan Kongres Uighur Dunia terhadap peristiwa ini.