Revisi PP Gambut Ditanggapi Pesimis Aktivis Lingkungan Hidup

Tia Asmara
2016.12.07
Jakarta
161207_ID_Peatland_1000.jpg Petugas dan anak-anak berusaha memadamkan api di lahan gambut di pinggiran Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 28 Oktober 2015.
AFP

Sejumlah aktivis lingkungan hidup pesimis revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut) akan berpengaruh banyak pada perbaikan lahan gambut dan penurunan tingkat kebakaran hutan.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Yuyun Indradi, menilai masalah utama dalam penanganan lahan gambut adalah penegakan hukum dan kurangnya transparansi.

“Peraturan baru tidak akan memberikan perlindungan penuh bagi lahan gambut untuk mencegah kebakaran. Degradasi lahan gambut dari perkebunan yang ada di gambut akan terus berlanjut,” ujarnya.

Menurutnya, tidak adanya ketegasan hukum, terutama, menjadi penghadang efektifnya implementasi PP tersebut.

“Peraturan yang mewajibkan perlindungan gambut lebih dari 3 meter sudah berada di tempat selama bertahun-tahun sebelum peraturan baru ini, tapi secara luas diabaikan,” tambahnya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Yaya Nur Hidayati, yang mengatakan perlindungan ekosistem gambut tidak bisa berdiri sendiri karena harus berdampingan dengan penegakan hukum bagi korporasi yang terlibat pembakaran hutan.

“KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) bisa meningkatkan perannya terhadap pelaku kebakaran hutan seperti mencabut izin langsung jika memang terbukti,” katanya kepada BeritaBenar di Jakarta, Rabu, 7 Desember 2016.

Menurutnya, pemerintah memberi perizinan terlalu luas bagi pelaku usaha kehutanan sehingga membuat perusahaan tidak mampu mengelola luasan lahannya dengan baik.

“Buktinya selalu terjadi kebakaran. Itu membuktikan mereka tidak bisa mengelola,” ujarnya.

Salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan setiap tahun di Indonesia, tuturnya, akibat kesalahan dalam pengelolaan lahan gambut untuk kegiatan usaha.

Kenyataan menunjukkan bahwa kebakaran terjadi di lahan gambut terutama di Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah serta sebagian di Riau, Jambi, dan Kalimantan Selatan yang memberikan indikasi kebakaran sangat sulit dipadamkan.

Yaya berharap pemerintah menerapkan rasionalisasi untuk melihat dan meninjau ulang luasan lahan yang diberikan kepada pengusaha.

“Pemerintah bisa memonitor apakah sudah sesuai terhadap kapasitas perusahaan. Jika tidak, pemerintah bisa mengurangi luasan izin yang diberikan itu,” tambahnya.

Dilarang bakar gambut

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Karliansyah, mengungkapkan dalam PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, Senin 5 Desember lalu, menegaskan larangan untuk membakar lahan gambut dan pembukaan baru lahan gambut.

“Intinya tidak boleh membuka lahan baru, dan perizinan yang sudah ada sementara tidak boleh diapa-apakan,” ujarnya saat dikonfirmasi BeritaBenar.

Sementara izin pengusahan lahan gambut tetap berlaku sampai masa berlakunya habis. Setelah itu, tak ada izin baru lagi yang diterbitkan.

“Kecuali jika lahan gambut itu memiliki fungsi budidaya. Nanti akan diatur dalam peraturan,” jelasnya.

Dalam PP diatur juga batasan muka air gambut yang menjadi kriteria kerusakaan yaitu ditetapkan secara mutlak muka air gambut paling rendah 0,4 meter dari permukaan.

Sulit dipenuhi

Tanggapan keras datang dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dengan alasan berbeda. Kepala kompartemen riset lingkungan GAPKI Bandung, Sahari, menegaskan bahwa persyaratan pemerintah sangat sulit dipenuhi dan tidak mendasar.

“Ini akan berimplikasi besar terhadap kebun karena tanaman sawit akan tergenang dan tidak akan bertahan lebih dari dua minggu. Akibatnya, produksi sawit akan berkurang,” ujarnya.

Apalagi, tambah Sahari, jika musim kemarau sangat sulit mencapai batasan muka air gambut 0,4 meter dari permukaan.

“Sungai saja tidak ada air, gimana kita bisa apply, apakah mampu?” katanya.

Di sisi lain, batasan muka air 40 cm di bawah permukaan gambut, menurut Yuyun, tidak efektif karena lapisan atas gambut terus menurun, runtuh, dan mudah terbakar.

“Operator tanaman industri dapat memanipulasi catatan mereka dan tingkat air selama inspeksi untuk melanjutkan bisnis seperti biasa,” katanya.

“Perlindungan minimum gambut 30 persen bisa berubah menjadi janji kosong. Hukum yang sebelumnya menetapkan minimal tutupan hutan 30 persen dalam rencana tata ruang provinsi tidak terpenuhi.”

Sahari menyebutkan, pengaturan tinggi muka air gambut yang belum banyak perubahan itu dikhawatirkan akan mematikan roda usaha, mengurangi serapan tenaga kerja, serta berujung pada merosotnya sumbangan devisa negara.

“Jika sudah begitu, pasti banyak yang gulung tikar, tingkat pengangguran tambah tinggi. Ini multiplier effect yang diciptakan,” jelasnya.

Menurutnya, pada 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor produk minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya mencapai 18,65 miliar dolar AS.

“Ini menjadikan minyak sawit sebagai penghasil devisa negara terbesar Indonesia, yang melampaui minyak dan gas,” ujarnya.

Industri sawit juga berperan besar dalam pembukaan lapangan kerja, yang mencapai 7,9 juta jiwa pada 2015, meningkat dibanding tahun 2014 sebanyak 7,6 juta jiwa, katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.