Warga lokal tolak rencana Prabowo galakkan kembali transmigrasi ke Papua

Mereka mengatakan, “Papua butuh pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan—bukan transmigrasi.”
Victor Mambor
2024.11.04
Jayapura
Warga lokal tolak rencana Prabowo galakkan kembali transmigrasi ke Papua Anggota Solidaritas Rakyat Papua melakukan protes di Sorong, Papua, menentang rencana Presiden Prabowo Subianto membuka kembali program transmigrasi ke Papua, 30 Oktober 2024.
Victor Mambor/BenarNews

Hanya sehari setelah pelantikan Prabowo Subianto, Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara mengumumkan rencana melanjutkan program transmigrasi ke Indonesia Timur, terutama Papua, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan persatuan.

“Agar Papua betul-betul menjadi bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks kesejahteraannya, dalam konteks persatuan nasionalnya, dalam konteks lebih besar," kata Iftitah dalam serah terima jabatan kementerian pada 21 Oktober.

Kementerian bermaksud merevitalisasi sepuluh kawasan transmigrasi di Papua, dengan lebih fokus pada pemindahan warga lokal daripada mendatangkan orang dari luar. Iftitah berjanji untuk melakukan evaluasi ketat yang berfokus pada kesejahteraan komunitas, bukan sekadar angka relokasi.

Namun, rencana ini menuai penolakan keras dari masyarakat asli Papua yang menyoroti masalah sosial-ekonomi terkait program ini.

Para mahasiswa menggelar unjuk rasa di Bundaran Abepura di Jayapura, Papua, memprotes rencana pemerintah pusat untuk melanjutkan program transmigrasi, pada 4 November 2024. [Victor Mambor/BenarNews]
Para mahasiswa menggelar unjuk rasa di Bundaran Abepura di Jayapura, Papua, memprotes rencana pemerintah pusat untuk melanjutkan program transmigrasi, pada 4 November 2024. [Victor Mambor/BenarNews]

Simon Balagaize, pemuda Merauke, menyoroti dampak negatif transmigrasi di masa Orde Baru di Papua, seperti perampasan lahan, penggundulan hutan, dan pergeseran budaya.

"Tanah adat diambil, hutan ditebang, dan masyarakat Malind kini lebih lancar berbahasa Jawa daripada bahasa ibu mereka," katanya kepada BenarNews, Jumat (1/11).

Dewan Gereja Papua menegaskan bahwa Papua sangat membutuhkan layanan pendidikan dan kesehatan, bukan transmigrasi yang secara historis menimbulkan masalah.

"Papua butuh pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan—bukan transmigrasi yang hanya meminggirkan pemilik tanah," ujar Pendeta Dorman Wandikbo, anggota dewan tersebut kepada BenarNews.

Transmigrasi ke Papua juga memicu protes terkait kekhawatiran berkurangnya lapangan kerja untuk masyarakat asli serta dampak politik dan ekonomi yang lebih luas.

Apei Tarami, yang ikut dalam demonstrasi di Sorong Selatan, Papua Barat Daya, memperingatkan konsekuensinya, menyatakan bahwa "kebijakan ini akan berdampak pada aspek politik dan ekonomi Papua."

Aktivis hak asasi manusia (HAM) Theo Hasegem mengkritik rencana pemerintah tersebut, menyebut bahwa rencana ini mengabaikan isu HAM dan berpotensi membahayakan non-Papua, karena kelompok separatis sering menargetkan pendatang.

“Apakah presiden dan wakil presiden menjamin keamanan mereka yang dipindahkan dari Jawa?” tanya Hasegem kepada BenarNews, menambahkan bahwa dirinya tidak terlalu yakin bahwa pemerintah hanya berfokus pada pemindahan warga lokal Papua.

Program transmigrasi, yang dimulai pada tahun 1905, berlanjut di berbagai pemerintahan untuk mempromosikan pembangunan dan persatuan.

Kebijakan ini dihidupkan kembali pasca-kemerdekaan pada 12 Desember 1950 oleh Presiden Soekarno untuk mencapai kemakmuran dan pemerataan pembangunan, serta mendorong persatuan sosial.

Menurut Pemerintah Provinsi Papua, transmigrasi di Papua berlangsung dari 1964 hingga 1999, melibatkan 78.000 keluarga.

Namun, di Papua, program ini dihentikan sementara pada 2001 setelah berlakunya Undang-undang Otonomi Khusus yang mensyaratkan penyesuaian dengan peraturan daerah.

Anggota DPR Papua John NR Gobay mempertanyakan peran pemerintah daerah di enam daerah otonom baru Papua dalam proses transmigrasi, menekankan bahwa sesuai UU Otonomi Khusus, transmigrasi memerlukan peraturan provinsi dan persetujuan gubernur.

Tanpa peraturan daerah yang jelas, transmigrasi tidak memiliki dasar hukum kuat dan berpotensi bertentangan dengan aturan otonomi khusus.

Gobay juga menyebut Peraturan Daerah Khusus pada 2008 yang kembali menegaskan tentang penghentian program transmigrasi ke Papua menyatakan bahwa transmigrasi hanya boleh dilaksanakan setelah populasi penduduk asli Papua mencapai 20 juta.

Hingga tahun 2023, jumlah penduduk Papua yang tersebar di enam provinsi adalah 6.240.702 jiwa, menurut Badan Statistik Nasional

Gobay menyarankan untuk mengutamakan transmigrasi lokal guna mendukung pengembangan masyarakat adat di wilayah mereka sendiri.

Anggota Parlemen Inggris Alex Sobel, ketua International Parliamentarian for West Papua, menyatakan keprihatinannya atas transmigrasi di Papua yang menyebabkan perubahan demografis besar dan diskriminasi struktural dalam pendidikan, hak atas tanah, dan lapangan pekerjaan.

“Transmigrasi telah memperkuat ketidaksetaraan, bukan kemakmuran,” kata Sobel kepada BenarNews, menambahkan bahwa transmigrasi berkontribusi membuat Papua tetap menjadi wilayah termiskin di Indonesia.

Ini merupakan hal ironis mengingat Papua kaya akan sumber daya alam termasuk menjadi salah satu lokasi tambang emas terbesar di dunia.

Pramono Suharjono, yang bertransmigrasi ke Papua pada tahun 1986, sedang memanen jeruk di lahannya di Arso II di Kabupaten Keerom, 1 November 2024. [Victor Mambor/BenarNews]
Pramono Suharjono, yang bertransmigrasi ke Papua pada tahun 1986, sedang memanen jeruk di lahannya di Arso II di Kabupaten Keerom, 1 November 2024. [Victor Mambor/BenarNews]

Namun, seorang warga Arso II di Keerom, Papua, Pramono Suharjono, menyambut baik gagasan memulai kembali program transmigrasi, menganggapnya sebagai hal positif bagi perkembangan Papua. “Kami sangat bersyukur,” katanya kepada BenarNews.

“Ini mendukung pembangunan nasional, bukan penjajahan,” kata Pramono.

Pramono, seorang transmigran dan wakil rakyat setempat, mencatat bahwa transmigrasi memungkinkan pertukaran pengetahuan dalam pertanian, kerajinan, dan perdagangan antara masyarakat lokal dan pendatang.

Namun, penelitian Dosen Universitas Cenderawasih La Pona mengungkapkan masalah sosial yang telah berlangsung lama, termasuk ketegangan akibat perbedaan budaya yang meminggirkan masyarakat adat dan menimbulkan ketidakpuasan terhadap warga pendatang.

Papua juga menghadapi krisis kemanusiaan akibat konflik antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok separatis, dengan data PBB menunjukkan antara 60.000 hingga 100.000 warga Papua mengungsi dari 2018 hingga 2022.

Per September 2024, advokat HAM memperkirakan 79.000 warga Papua masih mengungsi, sementara Indonesia menolak akses PBB ke wilayah tersebut.

Pizaro Gozali Idrus di Jakarta berkontribusi dalam artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.