Setelah 11 Tahun, Presiden Terima Peserta ‘Aksi Kamisan’

Sebagian melihat ini simbol politis semata, namun ada yang menilai ini menjadi babak baru menuju terselesaikannya masalah HAM masa lalu.
Nisita Kirana Pratiwi
2018.05.31
Jakarta
180531_ID_Kamisan_1000.jpg Sejumlah perwakilan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia ketika berada di Istana Merdeka, Jakarta, 31 Mei 2018.
Nisita Kirana Pratiwi/BeritaBenar

Setelah menggelar unjuk rasa setiap Kamis yang dikenal dengan “Aksi Kamisan” selama 11 tahun, akhirnya Presiden Joko Widodo menerima para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 31 Mei 2018.

Sebanyak 20 perwakilan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menggelar 540 kali aksi sejak Januari 2007 lalu di depan Istana untuk menuntut keadilan kepada negara diterima Jokowi dalam satu pertemuan tertutup.

Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi didampingi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Koordinator Staf Khusus Teten Masduki, Juru bicara Kepresidenan Johan Budi, dan Staf Khusus Adita Irawati.

Usai pertemuan, peserta Aksi Kamisan menuju ke depan gedung Istana Merdeka untuk kembali melanjutkan aksi.

Maria Catarina Sumarsih, ibu Bernardus Realino Norma Irawan (Wawan) - mahasiswa Universitas Atmajaya yang tewas ditembak pada 1998 - menyatakan adanya sedikit harapan.

“Dalam pertemuan itu, Pak Presiden menyatakan akan mempelajari dulu berkas yang kami sampaikan agar kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu bisa diselesaikan sesuai harapan kami,” kata Sumarsih.

Saat pertemuan dengan Jokowi, tambahnya, mereka menyerahkan berkas yang berisi permintaan agar pemerintah menuntaskan kasus-kasus yang dilakukan aparat militer yang sudah diselidiki Komnas HAM.

“Kasus pelanggaran HAM berat itu adalah insiden Semanggi 1, Semanggi 2, Trisakti, penghilangan paksa, kerusuhan 12-15 Mei 1998, Talangsari Lampung, dan tragedi 1965. Ini menjadi kewajiban Jaksa Agung untuk menindaklanjuti ke tingkat penyidikan,” tuturnya.

Sumarsih melanjutkan Jokowi berjanji akan mengkoordinasikan masalah itu dengan Komnas HAM dan Jaksa Agung.

Menurutnya, peradilan untuk kasus HAM tidak kenal kedaluwarsa.

“Jadi siapa pun yang duduk sebagai presiden, termasuk Jokowi, wajib menyelesaikan kasus pelanggaran HAM baik yang saat ini maupun masa lalu,” ujar Sumarsih yang setiap Kamis selalu hadir dalam aksi tersebut.

Sementara itu, Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 kepada BeritaBenar mengatakan tuntutan mereka tetap yaitu meminta rehabilitasi dan pemulihan nama baik serta pengungkapan kebenaran.

“Kami optimistis dan memilih harapan kalau tidak hari ini ya besok, atau nanti. Intinya kami ingin direhabilitasi dan hentikan stigmatisasi bagi korban pelanggaran HAM 65, stop diskriminasi dan buka kebebasan atau akses yang sama dengan warga negara yang lain,” ujarnya.

Juru bicara presiden, Johan Budi, menyatakan dalam pertemuan itu Jokowi lebih banyak mendengar apa yang disampaikan perwakilan peserta Aksi Kamisan.

“Pertemuan singkat tidak bisa dijelaskan secara detail," katanya kepada wartawan usai pertemuan.

Peserta Aksi Kamisan memajang foto-foto korban pelanggaran HAM saat menggelar aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, 31 Mei 2018. (Nisita Kirana Pratiwi/BeritaBenar)
Peserta Aksi Kamisan memajang foto-foto korban pelanggaran HAM saat menggelar aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, 31 Mei 2018. (Nisita Kirana Pratiwi/BeritaBenar)

Bukan hal istimewa

Suciwati Munir, istri almarhum Munir Said Thalib - pegiat HAM yang dibunuh saat dalam perjalanan dari Jakarta ke Belanda pada 2004 - menyatakan pertemuan Jokowi dan perwakilan Aksi Kamisan bukan hal yang istimewa.

Sejak awal, jelasnya, tujuan utama Aksi Kamisan bukan semata-mata untuk bertemu presiden, tapi mendesak pertanggungjawaban negara atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

“Kami mengkhawatirkan pertemuan yang dilakukan hanya sesuatu yang bersifat simbolis atau merupakan sebuah 'gimmick' di tengah tahun politik yang sedang berlangsung,” kata dia dalam pernyataan tertulis.

“Jika pertemuan tidak dilandasi oleh tekad dan komitmen yang kuat dari kepala negara untuk bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, hal itu justru menghina rasa keadilan dan kemanusiaan, serta semakin memupus harapan korban dan keluarga korban.”

Pernyataan senada diutarakan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) dalam pernyataan bersama yang diterima BeritaBenar.

“Ini justru menimbulkan pertanyaan karena Aksi Kamisan telah berlangsung selama 11 tahun di depan Istana dan telah mengirimkan ratusan surat kepada presiden, termasuk di era kepemimpinan Jokowi, namun tidak pernah satupun mendapatkan respons yang berarti,” tulis mereka.

Terlepas dari kekhawatiran adanya gejolak menjelang tahun politik, Direktur Amnesti Internasional Indonesia, Usman Hamid, yang ditemui di sela Aksi Kamisan menyatakan pertemuan pertama kali antara Presiden Jokowi dan peserta Aksi Kamisan merupakan babak baru.

“Harapannya adalah Presiden dapat menindaklanjuti pertemuan itu,” katanya, seraya berharap hasil pertemuan tersebut segera ditindaklanjuti.

Suciwati dan Sumarsih menegaskan meski sudah menemui Jokowi, Aksi Kamisan akan tetap dilakukan.

“Aksi Kamisan ke depan akan tetap berlangsung baik dikunjungi, ditemui ataupun tidak oleh Presiden. Kebijakan Presiden Jokowi selama ini juga membawa mundur upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat,” tutur Suciwati.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.