Pernyataan Presiden boleh kampanye dan memihak, tuai kecaman keras
2024.01.25
Jakarta
Pernyataan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang mengklaim bahwa kepala negara boleh memihak dan berkampanye untuk kandidat tertentu dalam pemilu menuai kecaman dari sejumlah pihak karena dinilai menodai netralitas proses pemilu.
Pengamat politik dan masyarakat mengkhawatirkan bahwa komentar Jokowi yang diucapkan sehari sebelumnya itu mengindikasikan ia akan mendukung putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden bagi kandidat presiden Prabowo Subianto.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja, yang paling penting, presiden itu boleh lho kampanye, presiden boleh lho memihak," kata Jokowi yang saat mengatakan hal tersebut didampingi Prabowo, yang juga adalah menteri pertahanan.
"Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh, kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, masa begini nggak boleh, berpolitik boleh, menteri juga boleh," lanjut Jokowi.
Pakar hukum Todung Mulya Lubis yang merupakan Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) pasangan calon (paslon) Ganjar Pranowo - Mahfud MD, menilai pernyataan Jokowi sangat merisaukan karena belum pernah terjadi pada masa presiden-presiden sebelumnya.
“Ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap sifat netral yang melekat pada Presiden,” kata Todung dalam konferensi pers yang ditayangkan Kompas TV.
Undang-undang Pemilu tahun 2017 mengizinkan presiden, wakil presiden, menteri, dan pemimpin daerah untuk ikut serta dalam kampanye pemilu.
Namun menurut Todung, klausul pasal 281 UU nomor 7 tahun 2017 itu dimaksudkan untuk presiden jika maju lagi dalam pemilihan berikutnya, bukan membela calon lain.
“Dalam konteks ini saya membacanya pasal itu kalau presiden kampanye itu untuk pemilihan selanjutnya kalau dia maju lagi,” ujar dia.
“Jokowi sudah tidak bisa maju lagi jadi seharusnya bisa menahan diri,” kata Todung.
Deputi TPN paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Mardani Ali Sera, menilai pernyataan Jokowi tersebut sebagai bentuk kecemasan setelah elektabilitas Prabowo-Gibran tidak kunjung meningkat sebulan menjelang pencoblosan.
“Saya melihat ada bentuk kepanikan, ketakutan kalau kalah dalam dua putaran,” ujar Mardani.
“Secara aturan memang tidak masalah, tapi dalam konteks mendidik demokrasi bagi masyarakat, sikap partisan itu sangat berbahaya,” katanya.
Walaupun menduduki tempat teratas dalam dua survei terbaru, dukungan terhadap Prabowo mengalami stagnasi di angka 46-47%. Aturan pemilu mengharuskan adanya pemungutan suara putaran kedua bagi dua kandidat teratas – jika tidak ada yang mencapai 50% suara pada hari pemilu 14 Februari.
Jokowi disebut mengadakan pertemuan terpisah awal bulan ini dengan para pemimpin partai koalisi pendukung Prabowo-Gibran dan menyatakan kekesalannya terhadap kinerja koalisi karena survei memperlihatkan elektabilitas pasangan tersebut masih di bawah 50 %, seperti dilaporkan Tempo yang mengutip sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Netralitas Jokowi dan ambisinya membangun dinasti politik dipertanyakan sejak Mahkamah Konstitusi yang saat itu diketuai oleh iparnya, pada Oktober lalu mengubah syarat umur minimal capres/cawapres yang semula 40 tahun, ke tanpa ketentuan umur asalkan pernah menjadi anggota legislatif atau menjabat di daerah. Perubahan itu memuluskan langkah Gibran (36) yang adalah wali kota Solo, maju sebagai cawapres.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih mengecam keras pernyataan Presiden Jokowi terkait bolehnya presiden berkampanye. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang merupakan salah satu anggotanya mengatakan pernyataan itu mengancam keadilan pemilu.
“Selain mengontrol bawahannya untuk taat pada konstitusi, keteladanan untuk berbuat fair itu seharusnya dimunculkan oleh Presiden. Sayangnya, lewat berbagai pernyataan...Presiden tampak sangat berpihak pada salah satu paslon yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka,” kata Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS.
Penyalahgunaan kekuasaan berkedok bantuan sosial telah dipertontonkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, kata Dimas.
“Ada etika politik yang dilanggar oleh Presiden, karena terang-terangan mencederai demokrasi prosedural dan substansial, sebab dapat diartikan ada keberpihakan,” tambah Dimas.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan pernyataan Presiden tersebut merupakan sikap yang berbahaya dan menyesatkan yang akan merusak demokrasi.
“Sikap ini menunjukkan konflik kepentingan Presiden yang memperbolehkan dirinya, para menteri maupun pejabat publik di bawahnya melakukan pelanggaran prinsip pemilu,” kata Isnur.
>>> Untuk berita lainnya terkait Pemilu 2024, klik di sini.
“Merusak keharmonisan kabinet”
Sejumlah pakar juga menilai sikap Jokowi itu berpotensi membuat ketidakharmonisan dalam kabinetnya yang masih akan berjalan beberapa bulan ke depan.
"Menjaga soliditas di tahun terakhir itu memang sulit, tapi sekarang tambah sulit karena ada faktor paslon yang didukung Jokowi," demikian disampaikan Peneliti Advance Research Unika Atma Jaya Jakarta, Yoes Kenawas kepada BenarNews.
"Ada poin Jokowi yang menginginkan agar bagaimanapun pasangan nomor urut 2 (Prabowo-Gibran) bisa menang, sehingga perpecahan tidak bisa dihindarkan," kata dia.
Sebelumnya, sejumlah menteri dikabarkan akan mengundurkan diri dari kabinet Jokowi, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Basuki.
Pengajar politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menambahkan rangkaian manuver Jokowi yang ikut campur dalam kontestasi politik secara tidak langsung telah membangun kubu-kubu dalam kabinet.
Adi merujuk saling bantah secara terbuka antara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Sri Mulyani terkait anggaran pengadaan senjata.
"Siapa pun presiden ke depan, konflik kepentingan harus dihindari,” ujarnya.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana membantah kalau banyak menteri ingin mengundurkan diri.
“Semua menteri dari berbagai background partai politik juga bekerja dan mengesampingkan perbedaan pendapat dalam politik. Dan itu sama sekali tidak ada suasana pemilu di dalam bekerja itu,” kata Ari dalam keterangannya kepada wartawan di Istana Merdeka.
Siap koalisi
Mardani Ali Sera dari TPN Anies-Muhaimin mengaku siap berkoalisi dengan kandidat mana pun dan partai-partai koalisinya pada putaran kedua pemilihan umum.
"Pada putaran kedua berkoalisi dengan siapa, kita akan lihat. Siapa yang masuk dan siapa yang tidak," ujar Mardani kepada BenarNews.
"Peta kan masih sangat cair. Komunikasi politik kami lakukan dengan siapa saja," tambah politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut, saat ditanya perihal potensi berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang selama ini berseberangan dengan partainya.
Politikus PDIP Masinton Pasaribu mengatakan telah terjadi komunikasi informal antara kubu Ganjar dengan kubu Anies, bahkan mengklaim telah ada kesepahaman.
Komunikasi informal membangun pemahaman bersama, platform bersama baru nanti diformalkan," kata Masinton dikutip Tempo.co.