Presiden nyatakan penyesalan atas pelanggaran HAM berat masa lalu

Keluarga korban dan aktivis sebut permintaan maaf tidak cukup, perlu pertanggungjawaban hukum.
Tria Dianti dan Arie Firdaus
2023.01.11
Presiden nyatakan penyesalan atas pelanggaran HAM berat masa lalu Para orangtua yang kehilangan anaknya dalam tragedi 1988 berpartisipasi dalam Aksi Kamisan menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap anak mereka, para aktivis pro-demokrasi, di depan Istana Merdeka di Jakarta, 17 Mei 2018.
[Willy Kurniawan/Reuters]

Untuk pertama kalinya sejak menjabat, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Rabu mengakui dan menyatakan penyesalan atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu, termasuk pembantaian orang yang diduga komunis tahun 1965-66.

Namun demikian keluarga korban dan aktivis hak asasi mengatakan permintaan maaf saja tidak cukup tanpa pertanggungjawaban hukum.

Jokowi menyebut 12 peristiwa antara tahun 1965 dan 2003 sebagai “pelanggaran hak asasi manusia berat” dan berharap hal seperti itu tidak terulang lagi.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan, saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat,” kata dia dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta.

“Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang,” katanya, seraya berjanji untuk berupaya memulihkan hak para korban secara adil “tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.”

Selain peristiwa 1965, kejadian lainnya adalah penembakan misterius 1982-1985, pembantaian oleh anggota TNI di Talangsari, Lampung 1989, penculikan aktivis 1997-1998, dan kerusuhan Mei di Jakarta 1998.

Sebagian sejarawan memperkirakan sekitar 500.000 orang dibunuh dalam peristiwa 1965-66. 

Selain itu, ada juga penyiksaan terhadap warga Aceh yang dilakukan oleh aparat Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI selama konflik Aceh 1989-1998 dan operasi militer di Wamena tahun 2003, Papua yang menewaskan setidaknya empat orang, dan menyebabkan puluhan lainnya meninggal karena kelaparan saat mengungsi di hutan. 

Pemerintah membentuk tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi masa lalu pada Agustus 2022, beranggotakan 12 orang dan diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD.

Dalam wawancara dengan BenarNews Oktober tahun lalu, salah satu anggota tim, Makarim Wibisono menegaskan bahwa tim memberikan rekomendasi pemulihan bagi korban atau keluarganya berupa rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya.

Mahfud mengatakan tim diminta melakukan penyelidikan ulang atas berbagai peristiwa itu dan mencari kemungkinan penyelesaiannya di dalam situasi baru yang sesuai dengan situasi politik, ekonomi, sosial budaya yang berkembang sekarang ini.

“Tim ini tidak meniadakan proses yudisial karena dalam UU disebutkan pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi sebelum tahun 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc atas persetujuan DPR sedangkan yang sesudah tahun 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM biasa,” katanya.

Tercatat, kata dia, ada empat pelanggaran yang terjadi sesudah tahun 2000 ditolak semua oleh Mahkamah Agung. Terakhir, pengadilan negeri Makassar membebaskan anggota TNI Isak Settu dalam kasus penembakan warga sipil di Paniai, Papua.

“Semua tersangkanya dibebaskan karena tidak cukup bukti dikatakan pelanggaran HAM berat, bahwa itu kejahatan iya, tapi bukan pelanggaran HAM berat, karena itu berbeda,” katanya. 

Ia mengatakan, UU Pengadilan Hak Asasi Manusia juga mengatur bahwa tidak ada masa kadaluarsa untuk memproses hukum pelanggaran berat.

Hal baik namun tidak cukup

Peneliti Human Rights Watch (HRW) Andreas Harsono menyebut pernyataan Jokowi sebagai "sesuatu yang baik" tapi masih banyak hal lain yang harus dilakukan pemerintah, antara lain, membentuk pengadilan hak asasi manusia.

"Itu statemen baik, tapi perlu langkah lebih banyak seperti mengungkap di mana korban yang hilang atau di mana kuburan mereka. Masih banyak anak yang tidak tahu di mana kuburan orang tua mereka. Mereka enggak ada closure terhadap apa yang terjadi," kata Andreas kepada BenarNews.

Jokowi merupakan presiden kedua yang mengakui pelanggaran HAM berat di Indonesia, setelah Abdurrahman Wahid pada 2000.

Kala itu, Abdurrahman secara spesifik meminta maaf kepada keluarga korban peristiwa 1965.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah berharap tim penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia memastikan apakah korban mendapatkan haknya.

“Kami juga mendorong Presiden agar ada komitmen di bidang penegakan hukum agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sudah selesai diselidiki oleh Komnas HAM bisa ditindaklanjuti melalui proses hukum di pengadilan HAM,” ujar dia.

Maria Catarina Sumarsih, yang putranya - Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan - tewas dalam kekacauan politik tahun 1998, berpartisipasi dalam Aksi Kamisan di luar Istana Merdeka di Jakarta, 17 Mei 2018. [Willy Kurniawan/Reuters]
Maria Catarina Sumarsih, yang putranya - Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan - tewas dalam kekacauan politik tahun 1998, berpartisipasi dalam Aksi Kamisan di luar Istana Merdeka di Jakarta, 17 Mei 2018. [Willy Kurniawan/Reuters]

Pertanggungjawaban secara hukum

Maria Catarina Sumarsih yang merupakan orang tua korban peristiwa Semanggi I pada November 1998 menilai pengakuan Jokowi tidak cukup karena yang dibutuhkan korban dan keluarga korban adalah pertanggungjawaban secara hukum.

"Kalau ada permintaan maaf sekalipun, itu tidak perlu. Karena apa arti meminta maaf kalau kekerasan aparat selalu terjadi? Kalau tidak dibawa ke pengadilan, pelanggaran akan terus terjadi," kata Sumarsih kepada BenarNews.

Putra dari Sumarsih yang bernama Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan yang merupakan mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta menjadi satu dari 17 korban meninggal dunia akibat kekerasan aparat saat peristiwa Semanggi.

"Bukti-bukti sudah terpampang, sekarang tergantung kemauan pemerintah," ujar Sumarsih.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid sependapat.

“Pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya. Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas,” kata Usman.

Menurut dia, jika Presiden benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran, pihak berwenang Indonesia harus secara “efektif, menyeluruh, dan tidak memihak” menyelidiki semua orang yang diduga terlibat.

“Tidak bisa hanya mengatakan tidak cukup bukti. Mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM dan memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarganya,” kata dia.

“Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan,” ujarnya.

Beberapa jenderal purnawirawan yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia masa lalu masuk dalam kabinet Jokowi, seperti Prabowo Subianto yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dan Wiranto yang pernah menjabat sebagai Menko Polhukam.

Kemunduran demokrasi

Di lain pihak, kelompok hak asasi manusia menyatakan Indonesia mengalami kemunduran demokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi”, dengan menyebut maraknya pembatasan kebebasan sipil dan pengawasan yang dilakukan pihak kepolisian.

Dalam laporan Oktober lalu, KontraS memaparkan bagaimana iklim kebebasan semakin memburuk dalam tiga tahun periode kedua Jokowi, dengan adanya kasus penangkapan sewenang-wenang dan serangan terhadap pembangkang pemerintah.  

Pada 2020 lalu misalnya, sebanyak 5.198 mahasiswa ditangkap tanpa alasan yang jelas dan 87 orang diantaranya harus mendekam di penjara, kata KontraS.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.