Presidential Threshold Berpotensi Hadirkan Calon Presiden Tunggal
2018.07.12
Jakarta
Sejumlah akademisi dan praktisi prodemokrasi kembali menggugat ambang batas calon presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Pemilu karena menilai persyaratan tersebut berisiko terhadap adanya hanya satu calon.
“Kalau satu calon, kita tidak bisa katakan itu pemilihan. Kami beranggapan presidential threshold 20 persen sangat bertentangan dengan konstitusi,” kata mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay kepada BeritaBenar, Kamis, 12 Juli 2018, di Jakarta.
Dalam pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 disebutkan bahwa pengajuan calon presiden hanya bisa dilakukan oleh parpol atau koalisi parpol yang memiliki 20 persen kursi DPRI atau 25 persen suara sah Pemilu 2014.
Berdasarkan persyaratan tersebut, sejauh ini yang sudah pasti dapat maju sebagai calon presiden pada pemilihan 2019 adalah kandidat petahana Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Sedangkan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang dicalonkan partainya, belum memiliki koalisi partai pendukung.
Lobi-lobi partai untuk membentuk koalisi masih terus berlangsung menjelang pendaftaran pasangan calon presiden pada Agustus mendatang.
Penggugat lain, M Busyro Muqoddas, menambahkan presidential threshold bisa terus digugat jika memiliki alasan berbeda dari gugatan sebelumnya.
“Tentunya kami berharap bisa segera MK putuskan,” imbuh mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu kepada BeritaBenar.
Hal baru
Dalam persidangan, hakim konstitusi meminta seluruh pemohon menunjukkan masalah konstitusional yang baru dan tidak mengulang dari penggugat sebelumnya.
“MK akan membahas ketika ada hal yang baru. Artinya di situ ada, selalu ada argumen konstitusional yang dikaitkan dengan ini," kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat memimpin sidang, Senin lalu.
Pada Januari lalu, MK telah menolak uji materi tentang presidential threshold.
Menurut mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, MK harus bergerak cepat untuk memutus gugatan uji materi presidential threshold.
Dia menyebutkan, jika MK terlambat mengabulkan gugatan menjadi 0 persen, putusan baru akan berlaku pada periode Pilpres berikutnya.
"Kalau diputus sesudah batas pendaftaran pasangan calon presiden pada 10 Agustus, ini berlaku di 2024. Jadi idealnya sebelum 5 Agustus, tapi itu terserah pada MK," katanya.
Sementara itu Hadar Nafis Gumay mengaku, pihaknya mendaftarkan gugatan pada 13 Juni 2018 dan proses persidangan sedang berlangsung di MK.
Dia menyebutkan, pihaknya punya alasan berbeda dari beberapa gugatan sebelumnya yang sudah pernah ditolak MK.
Salah satu alasannya adalah pasal 222 UU Pemilu, memakai frasa “syarat” pencalonan presiden, sedangkan UU Dasar 1945 hanya mendelegasikan “tata cara”.
“Jadi, itu jelas bukan tata cara padahal konstitusi memerintahkan pengaturan tata cara diatur pada UU selanjutnya," ungkapnya.
Bakal banyak calon
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah juga menolak persyaratan ambang batas 20 persen tersebut.
"Saya berdoa mudah-mudahan nol persen, supaya kandidatnya banyak, wah lucu-lucu nanti kita lihat banyak kandidat. Ada mantan gubernur, ada mantan anggota DPR, ada pimpinan parpol, jadi banyak, bagus,” katanya kepada BeritaBenar di kompleks DPR RI.
Senada dengan Fahri, Politisi Partai Gerindra Fadli Zon mengaku, ambang batas 0 persen harusnya dijadikan semacam rujukan karena 20 persen itu sudah pernah dipakai pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
"Bagaimana presidential threshold yang sudah dipakai dan sudah basi kok mau dipakai lagi. Padahal, situasi politiknya kan sudah berubah, konfigurasi politiknya juga sudah berubah," terang Fadli kepada BeritaBenar.
Meskipun Fahri dan Fadli mendukung, namun berbeda dengan Politisi Golkar Zainudin Amali, yang menyatakan gugatan sebelumnya ditolak MK, membuktikan presidential threshold 20 persen sudah sangat tepat.
"Salah satu yang mengusulkan ambang batas 20 persen saat pembahasan RUU Pemilu adalah fraksi Partai Golkar. Otomatis kami mendukung yang ada sekarang dan menolak gugatan itu,” tandas Amali.
Ada celah borong partai
Pakar Hukum Tata Negara dan Pengamat Politik, Refly Harun, memberikan pendapatnya soal pengajuan uji materi ambang batas pencalonan presiden.
Dia menyebutkan, jika aturan ambang batas pencalonan presiden itu menjadi celah bagi pasangan calon. Menurutnya, pasangan calon punya kesempatan untuk memborong semua partai politik sehingga bisa jadi calon tunggal.
Refly menegaskan, bahwa sejak awal ia sudah menolak aturan ambang batas tersebut.
"Aturan ambang batas menjadi celah bagi pasangan calon untuk memborong semua parpol sehingga bisa jadi calon tunggal,” katanya.
Pengamat Politik Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menilai ambang batas pencalonan presiden sudah tidak relevan lagi setelah MK memutuskan Pileg dan Pilpres dilaksanakan serentak.
Ray menambahkan, kekhawatiran akan munculnya banyak calon presiden kurang tepat karena berkaca dari Pilkada, pengajuan pasangan calon kepala daerah waktu demi waktu makin berkurang.
"Artinya, seiring dengan waktu, euforia pencalonan pasangan capres dan cawapres akan berkurang pada masa yang akan datang," katanya.