Pro Kontra Hukuman Kebiri

Zahara Tiba
2016.05.12
Jakarta
160512_ID_Sexualvilence_1000.jpg Komite Aksi Perempuan yang terdiri dari sejumlah organisasi dan individu menunjukkan poster mereka dalam aksi solidaritas melawan kekerasan seksual di Jakarta, 4 Mei 2016.
AFP

Rencana pemerintah menambah hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak setelah mendapatkan vonis pengadilan menuai pro dan kontra di kalangan ulama dan lembaga hak asasi manusia.

“Kami menilai itu layak dan adil dilakukan, terutama bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak. Karena akibatnya amat destruktif pada anak-anak yang masih polos. Pasti akan menyebabkan trauma berkepanjangan. Itu kejahatan kemanusiaan yang luar biasa,” tegas Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Masdar Farid Mas’udi kepada BeritaBenar. Ia menambahkan mayoritas kyai dan peserta diskusi yang pernah digelar NU menyetujui keputusan pemerintah tersebut.

Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Abdul Mukti, menilai hukum kebiri problematik dari sudut pandang hak asasi manusia dan hukum Islam.

“Itu akan membuat orang menjadi kehilangan fitrahnya sebagai manusia. Karena itu secara HAM akan bermasalah, karena membuat seseorang cacat sepanjang hayat. Tidak ada kesempatan dan ruang bagi pelaku untuk memperbaiki diri,” paparnya.

“Memang dia tidak lagi bisa melakukan kejahatan seksual, tapi tidak berarti dia tidak akan melakukan kejahatan lain dalam bentuk yang berbeda. Bahkan bisa jadi secara psikologis dia bisa menjadi seorang psikopat,” tambahnya.

Sementara itu Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat ketika diwawancara MetroTV, Rabu malam, meragukan kebiri jadi solusi pemberantasan kejahatan seksual, karena bukan hanya terkait urusan alat kelamin.

"Saya tidak yakin. Kita harus jeli melihat fenomena kejahatan seksual kepada anak itu seperti apa," ujarnya. "Bahkan anak-anak yang sangat belia sangat rentan jadi korban maupun menjadi pelaku."

Dia mengharapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Kejahatan Seksual itu lebih menitikberatkan kepada pemberian kewajiban pemerintah untuk melakukan langkah preventif. "Seperti pendidikan seks kepada anak belia," tuturnya.

Kalangan aktivis hak asasi sepakat akan keharusan penanganan serius terhadap kekerasan seksual namun menolak hukuman kebiri dan hukuman mati dengan alasan tidak efektif dan juga tidak manusiawi. Mereka menuntut pemerintah untuk memperbaiki sistem nilai yang tumbuh di masyarakat yang dianggap tidak berpihak pada perempuan dan pada keadilan gender.

Perppu kejahatan seksual

Rencana hukuman kebiri disepakati pemerintah setelah maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak dalam beberapa bulan terakhir. Selain kebiri, ada juga hukuman mati yang bakal diatur dalam Perppu Kejahatan Seksual.

“Kita sepakat melakukan pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual," kata Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, usai menghadiri rapat yang membahas masalah itu di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu, 11 Mei 2016.

Puan menambahkan dalam Perppu terdapat empat sanksi tambahan yaitu hukuman kebiri, hukuman mati terhadap pelaku kalau korban meninggal dunia dan mengalami trauma, dipasang gelang dengan chip khusus setelah pelaku keluar dari penjara dan identitas para pelaku akan dipajang di ruang publik untuk memberikan efek jera.

Hukuman maksimal

Abdul Mukti mengatakan setuju pemerintah menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku kekerasan seksual sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

“Tidak selalu harus merujuk pada UU Perlindungan Anak, bisa juga menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” ujarnya.

Problem yang terjadi selama ini, lanjutnya, adalah penegakkan hukum yang lemah, bukan pada perangkat hukumnya.

“Selama ini pasal-pasal yang dikenakan kepada para pelaku kejahatan seksual adalah ringan dan hanya selalu menggunakan UU Perlindungan Anak. Jika menggunakan pasal berlapis, mungkin bisa dihukum seumur hidup. Selama ini kan belum ada pelaku yang dihukum seumur hidup lewat pasal pembunuhan,” tuturnya.

Mengenai hukuman kebiri, menurutnya, Islam tidak mengenal hukuman itu. Ia menyimpulkan yang penting dilakukan adalah perlindungan lebih terhadap anak-anak dan memberlakukan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku.

Sementara Masdar mengatakan walaupun ia setuju hukuman kebiri tapi tidak diterapkan pada pelaku di bawah umur. “Jika pelaku di bawah umur, saya kira bisa diringankan. Pemerintah dan masyarakat harus memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri,” ujarnya.

Tuntutan publik tentang hukuman berat terhadap pelaku kejahatan seksual mencuat setelah terbongkar kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang remaja 14 tahun oleh 14 pelaku di Bengkulu awal April lalu.

Tujuh pelaku yang berusia di bawah 18 tahun telah divonis masing-masing 10 tahun penjara. Berkas perkara lima pelaku lain masih disidik aparat kepolisian setempat. Sedangkan dua pelaku masih diburu polisi karena melarikan diri.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.