Tersangka Jaringan Penyedia Prostitusi Online Anak Dianggap Layak Dihukum Kebiri
2016.09.02
Jakarta
Sebagian aktivis perlindungan anak mendesak penegak hukum untuk tak ragu menjatuhkan hukuman kebiri terhadap ketiga tersangka penyedia prostitusi online yang melibatkan anak-anak. Ketiganya adalah AR, U, dan Em, yang ditangkap minggu ini, tersangka pelaku perdagangan manusia atas lebih dari 100 laki-laki, sebagian masih berusia di bawah 18 tahun.
"Layak karena ada unsur pemberatan," ujar Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh kepada BeritaBenar, Jumat, 2 September 2016, merujuk pada aksi ketiga tersangka yang menimbulkan trauma terhadap para korban .
Apalagi seorang tersangka yaitu AR merupakan residivis kasus perdagangan manusia. Ia pernah mendekam selama 2,5 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Paledang, Bogor.
Menurut Asrorun, penegak hukum seharusnya tak perlu ragu menetapkan hukuman kebiri pada para pelaku, meski aturan itu masih mendapat pertentangan dari sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM).
"Justru kejadian ini harus menjadi momentum memerangi kejahatan seksual terhadap anak," tegasnya.
"Apakah benar-benar serius menganggap bahwa kekerasan seksual ini adalah kejahatan luar biasa, seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo."
Pernyataan serupa disampaikan aktivis perlindungan anak, Seto Mulyadi. Menurut Seto, hukuman berat mutlak diberikan terhadap para tersangka agar kejahatan serupa tidak terulang di masa mendatang.
"Perlu pemberatan biar jera," ujar aktivis yang akrab disapa Kak Seto, "apa yang mereka lakukan adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi."
Hukuman tambahan berupa kebiri kimia termaktub dalam Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sanksi ini diberikan sebagai pemberatan hukuman, dengan catatan, jika pelaku pernah dipidana karena melakukan pidana serupa, korban lebih dari satu orang, dan mengalami trauma kejiwaan.
Poin itu, menurut Asrorun dan Seto, terpenuhi sehingga ketiga tersangka layak dihukum pemberatan berupa kebiri kimia.
Perppu Kebiri sampai kini masih tersandung pengesahan di Dewan Perwakilan Rakyat. Meski begitu, aturan itu telah memiliki konsekuensi hukum tetap sehingga sanksi kebiri bisa dilaksanakan.
Dijerat pasal berlapis
Perihal kemungkinan hukuman kebiri terhadap para tersangka, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal Agung Setya hanya menjawab diplomatis.
"Hukuman, kan, saat vonis," katanya kepada para wartawan di Markas Besar Kepolisian Indonesia.
Kepolisian menjerat AR, U, dan E dengan pasal berlapis, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena menawarkan para korban lewat jejaring sosial Facebook. Ancaman maksimal hukuman ini adalah enam tahun penjara dan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
Adapula UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman penjara paling singkat enam bulan dan maksimal 12 bulan.
Selain itu, mereka juga dijerat dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman antara dua tahun penjara hingga lima tahun, dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang memuat sanksi terberat, yaitu kebiri.
Berpura-pura pesan
Agung mengisahkan, pengungkapan kasus ini bermula dari pelacakan tim Cyber Patrol Mabes Polri yang menemukan bahwa AR menjajakan anak laki-laki di bawah umur melalui Facebook.
Anggota kepolisian kemudian menjebak AR dengan berpura-pura memesan enam anak. Setiap anak dihargai oleh AR senilai Rp1,2 juta. Tetapi, setiap anak hanya menerima Rp150.000.
Setelah bersepakat, polisi dan AR kemudian berjanji untuk bertemu di salah satu hotel di kawasan Puncak, Jawa Barat, pada 30 Agustus 2016.
Seiring perkembangan, polisi keesokannya juga menangkap tersangka lain yaitu U dan E, masih di kawasan Bogor. Ketiganya, tutur Agung, memiliki peran berbeda-beda.
"Ada penyedia, pengurus rekening, dan penghubung," jelas Agung.
Dalam pemeriksaan sejauh ini, diketahui terdapat 103 orang yang diperdagangkan oleh para tersangka.
Dari keseluruhan jumlah itu, 27 di antaranya adalah anak lelaki di bawah umur berusia 13 hingga 17 tahun. Sisanya lelaki berusia 18 hingga 23 tahun.
"Sasarannya memang kaum homoseksual dan pedofil," tambah Agung.
Dia menambahkan polisi akan terus mengembangkan pemeriksaan. Pasalnya, ia menilai masih banyak pelaku prostitusi online lain.
"Ini biasanya jaringan," tegasnya.
Rehabilitasi
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Yohana Yembise mengatakan pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian Informasi dan Komunikasi untuk membongkar pelaku-pelaku prostitusi online lainnya.
"Karena selama ini terselubung dan susah dideteksi," katanya seperti dikutip dari laman Kompas.com.
Terkait para anak yang menjadi korban perdagangan AR, Yohana mengatakan mereka kini telah mendapatkan pendampingan dari Kementerian Sosial dan KPAI.
Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, pendampingan dan rehabilitasi memang dibutuhkan agar anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual itu tak berubah menjadi pelaku di masa mendatang.
Asrorun menambahkan, kecenderungan itu memang terhitung besar. Makanya, kata dia, pendampingan terhadap anak korban pelecehan seksual mutlak dibutuhkan.