Pengamat: Penggunaan APBN untuk Kereta Cepat Membahayakan Keuangan Negara
2021.10.12
Jakarta
Keputusan pemerintah mengizinkan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dapat semakin membebani keuangan negara yang sudah tidak sehat akibat pandemi COVID-19, demikian pengamat dan anggota DPR.
Presiden Joko "Jokowi" Widodo merestui penggunaan APBN berupa penyertaan modal negara dan penjaminan kewajiban lewat Peraturan Presiden tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang diteken 6 Oktober.
Revisi dari Peraturan Presiden tahun 2015 itu dibuat menyusul membengkaknya biaya pembangunan proyek dari semula US $6,07 miliar atau sekitar Rp86,3 triliun menjadi US $8 miliar atau sekitar Rp114 triliun. Pembangunan kereta cepat ini merupakan bagian dari proyek One Belt One Road (OBOR) China atau yang kini dikenal juga sebagai proyek Belt Road Initiative (BRI).
"Keputusan itu akan semakin membebani APBN yang saat ini sudah tidak sehat akibat pandemi," ujar Direktur Eksekutif Center of Reforms on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal kepada BenarNews pada Selasa (12/10).
Alih-alih memaksakan pendanaan lewat APBN, Faisal mengatakan bahwa pemerintah semestinya berani menyetop proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan mengalihkannya untuk kebutuhan mendesak seperti pemulihan ekonomi dan penanggulangan pandemi.
"Pemerintah semestinya paham program prioritas sehingga selektif dalam menyalurkan dana. Apalagi saat ini penerimaan negara sedang tidak lancar," lanjut Faisal.
Dalam pernyataan hari ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa defisit anggaran melebar menjadi 5,82 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp961 triliun, dari sebelumnya target 5,7 persen. Hal itu disebabkan lonjakan kasus COVID-19 pada Juni hingga Agustus.
Sebelum direvisi, Peraturan Presiden nomor 107 Tahun 2015 itu menyebut bahwa pendanaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dilarang menggunakan APBN. Kebijakan yang diputuskan sebelumnya berbentuk business-to-business, tidak menggunakan APBN baik langsung maupun tidak langsung. Pemerintah pun menggaransi tidak akan menyediakan dana jaminan dalam bentuk apapun.
Proyek ini pada mulanya direncanakan tidak dibangun oleh China, melainkan Jepang.
Bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bahkan telah melakukan studi kelayakan dengan Japan International Corporation Agency (JICA) dengan dana studi ditalangi JICA.
Belakangan, pemerintah menunjuk China untuk menggarap proyek kendati proposal yang ditawarkan berbunga lebih tinggi ketimbang Jepang, yakni 2 persen per tahun, bernilai US $5,5 miliar berjangka 50 tahun.
Adapun Jepang menawarkan pinjaman berdurasi 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun dengan masa tenggang sepuluh tahun.
Salah satu alasan pemerintah kala itu adalah lantaran China siap menggarap proyek dengan skema business-to-business, hal yang tidak disanggupi Jepang. Kedua pihak lantas membentuk konsorsium yang terdiri dari sejumlah BUMN Indonesia dan perusahaan China dengan nama PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC).
Peresmian awal pembangunan dilakukan Jokowi pada 21 Januari 2016 di Bandung Barat, Jawa Barat.
Namun seiring waktu, sejumlah masalah bermunculan yang menghambat pembangunan proyek sampai akhirnya dana pembangunan kini membengkak menjadi US $8 miliar atau sekitar Rp114 triliun.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan intervensi APBN dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung berpotensi membuat pemerintah terjebak dalam beban utang yang semakin membesar dan membahayakan APBN dalam jangka panjang
Apalagi, tambah Bhima, pemerintah masih menargetkan defisit anggaran pada 2022 di level 4,85 persen dari PDB.
Ia mencontohkan jika konsorsium menerbitkan utang dengan pemerintah sebagai penjamin. Situasi tersebut tetap berbahaya karena memiliki risiko kontijensi atau potensi tekanan terhadap keuangan BUMN yang berefek domino terhadap anggaran negara.
"Pemerintah kemudian terpaksa melanjutkan program dengan siasat menarik pajak dari masyarakat atau menambah utang di masa depan," kata Bhima.
Lebih lanjut, Bhima pun meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengevaluasi proyek sebelum pemerintah resmi mendanai program kereta cepat Jakarta-Bandung.
"DPR harus membongkar penyebab sebenarnya kenapa anggaran bisa membengkak. Jangan asal menyuntik dana, tapi berbahaya jangka panjang bagi fiskal negara," kata Bhima.
Bermasalah sejak awal
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung telah salah perhitungan dan hal itu ia sampaikan kepada Jokowi pada 2016.
Saat itu Jokowi mengatakan Indonesia membutuhkan moda transportasi yang mutakhir.
Beberapa poin yang disampaikan Agus, antara lain, biaya proyek yang terlampau mahal termasuk potensi menggembosi anggaran negara jika nanti telah beroperasi karena stasiun kereta cepat tidak terletak di pusat kota Jakarta dan Bandung.
"Hal yang terjadi sekarang sudah saya sampaikan kepada Presiden Jokowi. Dari awal, hitung-hitungannya juga sudah salah," ujar Agus dalam wawancara bersama CNN Indonesia.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ecky Awal Mucharam mengkritik langkah pemerintah yang mengizinkan penggunaan APBN, dengan menyebutnya sebagai kebijakan yang mencederai asas keadilan.
"Skema pendanaan yang tertuang pada Perpres baru berupa penyertaan modal dan penjaminan negara akan membuat APBN semakin berat," kata Ecky dalam keterangan kepada wartawan.
Ecky sendiri menilai proyek kereta cepat menunjukkan ketidakmatangan rencana sedari awal sehingga perhitungan studi kelayakan tidak akurat yang mengakibatkan pembengkakan biaya.
Dalam pernyataan pada Minggu (9/10), Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga mengatakan bahwa pembengkakan anggaran salah satunya disebabkan oleh perubahan desain akibat kondisi geologis dan geografis yang berbeda saat perkiraan awal, serta kenaikan harga tanah.
"Jadi, jangan dikatakan, misal, perhitungan awal bagaimana? Hampir semua negara mengalami hal sama, apalagi kita yang untuk pertama kali."
Perihal lain adalah penyebaran COVID-19 yang mengganggu alur dana perusahaan BUMN yang tergabung dalam KCIC.
Arya mencontohkan PT KAI - salah satu anggota konsorsium - yang tidak bisa menyetor dana akibat penurunan penumpang kereta api sepanjang pandemi.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengatakan langkah Jokowi yang memungkinkan penggunaan APBN dalam proyek kereta cepat tidak keliru.
"Apa salahnya menggunakan APBN untuk proyek strategis nasional agar dapat selesai tepat waktu?" kata Ngabalin.
Juru bicara PT KCIC Mirza Soraya enggan berkomentar terkait pemakaian APBN dengan dalih kebijakan tersebut adalah ranah pemerintah. "Kami berfokus pada percepatan pembangunan," ujarnya.
Beban utang
AidData, sebuah lembaga riset berbasis di Amerika Serikat, baru-baru ini merilis data terkait negara di dunia yang berpotensi terjebak utang dari China akibat gencarnya pembangunan infrastruktur dalam proyek ambisius Belt and Road Initiative (BRI).
Dalam laporan AidData, Indonesia disebut memiliki utang tersembunyi atau hidden debt per 2017, senilai total U.S.$17,28 miliar atau setara Rp246 triliun dari total 71 proyek yang pembangunannya sedang berjalan.
“Masalah ‘utang tersembunyi’ bukan tentang pemerintah yang mengetahui bahwa mereka perlu membayar utang yang tidak diungkapkan (dengan nilai moneter yang diketahui) ke China, tapi lebih tentang pemerintah yang tidak mengetahui nilai moneter utang ke China yang mungkin atau mungkin tidak harus mereka bayar di masa depan,” kata AidData dalam laporan akhir bulan lalu.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menolak mengatakan nilai tersebut sebagai utang tersembunyi.
“Tidak tepat kalau disebutnya utang tersembunyi, itu investasi perusahaan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dalam bentuk PMA (Penanaman Modal Asing),” kata Iskandar kepada BenarNews.
Riset AidData juga menggarisbawahi, utang-utang BUMN itu beresiko membebani keuangan negara apabila perusahaan pelat merah gagal bayar atau bangkrut.
Ronna Nirmala turut berkontribusi dalam laporan ini.