Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban Masyarakat Sulit Dilaksanakan: Pakar

Oleh Nurdin Hasan
2015.05.07
150507_ID_NURDIN_QANUN_KEMASLAHATAN_700.jpg Sepasang mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, berboncengan di sepeda motor setelah pulang kuliah, Selasa, 5 Mei 2015.
BeritaBenar

Akademisi dan aktifis menyakini aturan yang berisi larangan bagi pasangan yang belum menikah untuk menaiki sepeda motor di sebuah daerah di Aceh akan sulit dilaksanakan.

Aturan yang dikenal dengan Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban Umat (QKKU) itu disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara pekan lalu rencananya akan berlaku Mei tahun depan.

“Masyarakat tidak akan mematuhinya,” kata Amrizal J. Prang, ahli hukum tata negara dari Universitas Malikussaleh kepada BeritaBenar tanggal 5 Mei.

“Tahun 2013 lalu, Pemerintah Kota Lhokseumawe yang berbatasan dengan Aceh Utara melarang perempuan duduk mengangkang di sepeda motor tidak dipatuhi,” katanya lanjut.

QKKU melarang pasangan belum menikah berboncengan sepeda motor, mengatur pemisahan ruang belajar laki-laki dan perempuan, melarang menjual pakaian ketat, melarang menampilkan manekin, mengatur pemisahan wisatawan pria dan wanita, melarang pertunjukan musik dan karaoke.

Aceh adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Sharia.

QKKU ini disahkan lima bulan sebelum Qanun Jinayat resmi diimplementasikan di Aceh.

QJ merupakan penyempurnaan empat peraturan Syariat Islam di Aceh, yang berlaku sejak tahun 2001, tentang syiar Islam, minum minuman beralkohol, perjudian, dan khalwat (berduan di tempat tertutup, pasangan non-muhrim, atau belum menikah).

Dengan adanya QKKU, peraturan syariat Islam di Aceh Utara semakin ketat. Selama setahun mendatang QKKU akan disosialisasikan kepada warga.

Aturan dan Sanksi Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban Umat

Sanksi QKKU berbagai macam.

“Mulai dari teguran, permintaan maaf, bimbingan di pesantren, kerja bakti sosial, pencabutan izin usaha, denda hingga diusir dari desa,” kata Fauzan, seorang anggota DPRK Aceh Utara kepada BeritaBenar tanggal 4 Mei.

Alasan pembuatan QKKU kata politisi Partai Aceh ini adalah untuk meminimalisir maksiat di kabupaten berpenduduk lebih 500 ribu jiwa.

Partai Aceh merupakan partai lokal yang dibentuk mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah perdamaian di Helsinki, Finlandia, Agustus 2005 untuk mengakhiri konflik bersenjata 30 tahun di Aceh.

“Berboncengan laki-laki dan perempuan non-muhrim melanggar syariat Islam. Duduk berdempetan dapat mengarah kepada dosa,” tutur Fauzan, sambil menambahkan,  berboncengan pasangan belum menikah dibolehkan dalam kondisi darurat.

Amrizal mengatakan aturan seperti itu tak efektif di kabupaten yang memiliki 852 desa tersebut dan hanya mempermalukan pemerintah.

Tidak melibatkan publik

Pembahasan qanun ini juga tidak melibatkan masyarakat luas.

Amrizal menambahkan Qanun ini akan membingungkan masyarakat. Ia mencontohkan penerapan di daerah perbatasan.

“Universitas Malikussaleh yang kampusnya di perbatasan Aceh Utara dan Lhokseumawe. Mahasiswa yang kuliah di gedung wilayah Aceh Utara dipisahkan, sedangkan mereka yang belajar di Lhokseumawe tidak. Ini akan membingungkan mahasiswa dan terkesan diskriminasi,” ujarnya.

Amrizal menambahkan bahwa ada kesan peraturan seperti itu hanya berlaku kepada masyarakat biasa, bukan untuk pejabat.

“Rakyat dilarang karaoke, tapi pejabat memiliki tempat khusus berkumpul laki-laki dan perempuan. Belum lagi perilaku koruptif pejabat padahal itu jelas dilarang dalam Islam,” katanya.

Fauzan enggan menjelaskan secara detil kesiapan Pemerintah Aceh Utara dalam melaksanakan Qanun.

“Tugas kami membuat aturan setelah ada masukan dari ulama. Yang menjalankan eksekutif dan kami mengawasi secara ketat,” tegasnya.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Aceh Utara, Amir Hamzah, ketika dikonfirmasi BenarBenar, 5 Mei, tidak mau memberikan keterangan karena menunggu tanggapan Gubernur Aceh.

“Bupati Aceh Utara belum ada keinginan melaksanakan peraturan larangan laki-laki dan perempuan bukan muhrim berboncengan di sepeda motor,” katanya.

Fokus kepada kesejahteraan masyarakat

Kritikan keras juga dikatakan Soraya Kamaruzzaman, Presidium Balai Syura Ureueng Inong Aceh, perkumpulan perempuan aktifis di Aceh dengan berbagai latar belakang.

Soraya mempertanyakan urgensi Qanun. Menurutnya, pemerintah sebaiknya memfokuskan pada peningkatan kesejahteraan karena masih banyak masyarakat Aceh Utara hidup di bawah garis kemiskinan.

Ia mengatakan jika Qanun diterapkan maka pemerintah harus siap termasuk menambah jumlah guru dan kelas.

“Apakah mereka sudah memikirkan berapa jumlah kelas harus disiapkan untuk memisahkan pelajar pria dan perempuan,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.