BNPT Rangkul Generasi Muda Perangi Radikalisme
2015.10.28
Yogyakarta
Lebih dari 1000 remaja usia 19-24 tahun berkumpul di Yogyakarta menghadiri seminar dan workshop bertemakan "Peran Generasi Muda Dalam Pencegahan Terorisme" yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada hari Sumpah Pemuda, Rabu 28 Oktober.
Acara yang berlangsung sampai 30 Oktober ini diikuti oleh perwakilan mahasiswa dari 119 perguruan tinggi di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, selain juga dari organisasi kepemudaan dan komunitas dunia maya se-Indonesia.
Kepala BNPT Saud Usman Nasution mengatakan, Yogyakarta dipilih sebagai tempat seminar karena sesuai julukannya, kota itu adalah Kota Pelajar dan mereka datang dari seluruh wilayah Indonesia.
"Bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda hari ini kami merangkul generasi muda untuk bersama mengantisipasi pengaruh paham radikal yang berpotensi melahirkan aksi terorisme," ujar Saud dalam sambutannya.
Saud mengatakan, gerakan Islamic State atau Daulah Islamiyah tidak ada hubungannya dengan agama.
Dia menjelaskan bahwa gerakan ini dibungkus oleh tipu daya berkedok agama yang mengumbar surga dan misi suci, sehingga banyak orang -- terutama pemuda yang merasa terpinggir -- mau bergabung dengan gerakan ini.
Membunuh, dosa luar biasa
Dalam pidato pembukaan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memaparkan, data Kementerian Agama menunjukkan bahwa rasa ketidakadilan adalah salah satu dari dua faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan penganut paham ekstrem.
"Mereka merasa sistem yang ada tidak memadai untuk menyikapi ketidakadilan itu. Lalu mereka memilih tindak kekerasan sebagai jalan pintas," ujar Lukman.
Faktor kedua, menurut Lukman, adalah paham keagamaan yang tidak pas dan kemudian dijadikan faktor pembenaran atas aksi-aksi teror.
Kata jihad tidak hanya terkait dengan perang fisik. Kata jihad bisa berarti berbakti kepada orang tua, berjuang melawan pemimpin yang dzalim, menuntut ilmu, membantu fakir miskin dan menjadi haji yang mabrur, kata Lukman.
"Agama (Islam) tidak mentolerir cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak. Membunuh orang adalah dosa yang luar biasa," tukasnya.
Pemahaman beragama yang sepotong-sepotong ini juga menjadi penyebab suburnya ekstremisme, kata Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Ali Mustafa Yaqub.
"Jangan karena mendengar hadis 'Perangilah orang-orang kafir karena tempat mereka di neraka' langsung gorok orang. Dianggap (mereka) jihad, matinya langsung bertemu para bidadari," ujar Mustafa.
Kepada para peserta muda, Mustafa meminta umat Islam untuk mempelajari Islam dengan sempurna. Ia memberi contoh apakah kita pernah mempelajari bahwa Rasulullah mempunyai sahabat seorang pendeta Yahudi bernama Mukhairik yang setia ikut berperang bersama Rasul.
Islam yang ramah, bukan yang marah
Istri Nabi Muhammad, Siti Aisyah, juga selalu membuka rumahnya untuk kaum Yahudi, bahkan mertua Rasul ada yang beragama Yahudi.
"Jadilah orang Islam yang ramah bukan Islam yang marah," kata Mustafa, yang disambut riuh tepuk tangan peserta.
Pembicara lain adalah Abdul Rahman Ayub, mantan Komandan Mantiki IV, wilayah Australia, yang terkait dengan jaringan Jemaah Islamiyah dan Al-Qaeda.
Dia membagi pengalamannya saat masih bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) dan pengalaman berperang selama 10 tahun di Afghanistan dan Mindanao, Filipina di tahun 1980-an dan 1990-an.
Pemahaman agama yang dangkal juga menjadi faktor utama mengapa ia bisa bergabung dengan kelompok pimpinan terpidana terkait kasus terorisme, Abu Bakar Ba’asyir.
"Hati-hati dengan doktrin mereka yang mengkafirkan pemerintah, aparat, dan negara NKRI," ujar Ayub.
Peserta menyambut baik
Wisnu Bahtiar, 21, mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM, menyatakan ia mendaftarkan diri untuk menjadi peserta acara ini saat melihat undangan acara ini di musala kampus.
Ia mengaku buru-buru mendaftar karena disebutkan hanya 60 orang yang pertama mendaftar yang bisa mendapat tempat.
"Saya penasaran ingin tahu seperti apa acara diskusi ini," kata mahasiswa yang juga masih belajar di pesantren Al Barokah di Yogyakarta ini.
Sedangkan peserta lain, Nur Ulin, 22 tahun, mahasiswa Sastra Arab UGM ingin tahu seperti apa doktrin gerakan garis keras itu.
"Di kampus saya, banyak teman-teman yang bergabung dengan pengajian kelompok radikal, saya tidak ingin terpengaruh dan semoga acara ini bisa membuat saya lebih mengerti tentang gerakan-gerakan seperti itu, " kata Ulin.
Di hari kedua, peserta akan mengikuti diskusi dengan penggiat dunia maya, yang menampilkan pembicara para hacker yang terlibat dalam kampanye anti-terorisme di media sosial.