Survei: Jokowi Masih Populer di Tengah Persepsi Menurunnya Demokrasi, Ekonomi

Analis sebut ada problem kebebasan berekspresi dalam pemerintahan saat ini namun tidak terpotret jelas.
Ronna Nirmala
2021.10.20
Jakarta
Survei: Jokowi Masih Populer di Tengah Persepsi Menurunnya Demokrasi, Ekonomi Presiden Joko “Jokowi” Widodo berbicara dalam sebuah wawancara di Bebatu, dekat Tarakan, Kalimantan Utara, 19 Oktober 2021.
Reuters

Kepuasan masyarakat terhadap performa Presiden Joko “Jokowi” Widodo masih relatif tinggi, di tengah persepsi menurunnya kebebasan berpendapat dan lemahnya kinerja ekonomi pemerintah di masa pandemi, demikian beragam survei publik pada bulan ini. 

Tiga lembaga survei nasional, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indikator Politik Indonesia, dan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KOMPAS, melakukan penilaian terhadap persepsi publik atas kinerja Jokowi pada periode kedua kepemimpinannya. 

Ketiga survei menemukan popularitas Jokowi masih berada pada rentang 58-68 persen, meskipun angka itu terpantau turun bila dibandingkan dengan persepsi pada periode sebelum pandemi COVID-19. 

“Pemilih Jokowi ini memang cenderung bias dalam konteks positif. Ketika ditanyakan kondisi polhukam (politik, hukum dan keamanan), memang ada tren yang menunjukkan sisi negatif. Namun itu penilaian terhadap situasi lain, jadi tidak serta-merta mencerminkan mata publik kepada Jokowi,” Edbert Gani, peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

“Beberapa survei cukup konsisten menunjukkan itu,” kata Gani kepada BenarNews.  

Survei SMRC menemukan sebanyak 68,5 persen responden masih puas terhadap kinerja Jokowi, angka itu turun dari posisi 75,7 persen pada Mei 2021. Hasil tak jauh berbeda ditunjukkan dalam survei Litbang KOMPAS dengan 66,4 persen pada Oktober 2021, atau turun sekitar 2,7 persen dibanding April 2021. 

Sementara angka kepuasan publik kepada Jokowi sedikit lebih rendah dari hasil survei Indikator Politik yang menemukan sebanyak 58 persen responden masih percaya dengan kinerja Jokowi, turun dari 72,7 persen pada periode sebelum pandemi COVID-19.  

Tingkat kepuasan atas kinerja Jokowi ini relatif lebih baik dibandingkan dengan presiden pendahulunya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) satu dekade yang lalu. Dalam periode kedua SBY yang dimulai pada Oktober 2009, peringkat popularitasnya turun menjadi 46,1 persen pada Oktober 2011, dari 63,1 persen pada Januari 2010, menurut Lingkar Survei Indonesia, dikutip dari Lowy Institute.

SMRC menemukan kepercayaan publik terhadap perbaikan kondisi politik nasional turun menjadi 26,8 persen pada September 2021, dari posisi 41 persen pada periode sama dua tahun lalu. 

Sementara, persepsi masyarakat terkait lemahnya penegakan hukum juga naik dari 15,1 persen menjadi 24,8 persen. Hasil serupa juga terlihat pada persepsi 49,1 persen responden yang memandang kasus korupsi semakin banyak pada periode ini. 

Serupa, survei Litbang KOMPAS menemukan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang politik dan keamanan menurun dari 77 persen pada April menjadi 70,8 persen pada periode Oktober. Sementara di bidang hukum, merosot dari 65,6 persen menjadi 60,6 persen untuk perbandingan periode waktu yang sama. 

Kebebasan berekspresi

Ujang Komarudin, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia mengatakan sulit untuk mengukur objektivitas dari survei publik yang mengukur kepuasan terhadap kinerja pemerintah. 

“Sesungguhnya mungkin stabilitas politik yang dibangun dari hasil survei itu terbentuk karena ada cara-cara yang cenderung represif. Kemudian masyarakatnya takut bicara, jadinya demikian,” kata Ujang, melalui sambungan telepon. 

Ujang menilai, situasi demokrasi Indonesia memang turun dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan dampak penurunan demokrasi juga terasa sampai masyarakat kelas bawah. 

“Sekarang kita lihat orang mengkritik sedikit dianggap menghina presiden dan sebagainya. Ambil contoh kasus mural, ketika masyarakat bawah sedang susah dan mencoba mengeskpresikannya lewat itu, kemudian dianggap penghinaan,” ujarnya.

Kepala Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, sepakat dengan Ujang.

“Ini menunjukkan ada problem di kebebasan berekspresi, juga karena bisa jadi publik saat ini semakin takut berbicara. Ini kondisi yang menurut saya tidak bisa terpotret dalam survei publik itu,” kata Firman. 

Agus Sunaryanto, wakil koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), mengatakan memburuknya persepsi terhadap kinerja pemberantasan dan penindakan korupsi menjadi wajar di saat publik disuguhkan dengan polemik tes wawasan kebangsaan yang membuat 58 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kehilangan pekerjaan. 

Tes wawasan kebangsaan digelar untuk mengalihstatuskan pegawai KPK menjadi pegawai negara seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang KPK tahun 2019. 

Respons pemerintah terhadap polemik pemberantasan korupsi, lanjut Agus, pada akhirnya mencederai ruang demokrasi dan kebebasan sipil. 

“Ini bukan baru saja terjadi karena begitu masif, dari aksi “reformasi dikorupsi” pada 2019, kemudian ada penyerangan digital kepada jurnalis, aktivis, akademisi, yang begitu masif,” kata Agus. 

Padahal, kata Agus, “Sebelum menjabat di periode kedua, sebenarnya Jokowi sudah menyatakan bahwa akan melakukan penguatan KPK. 

Penanganan pandemi

Hal lain, survei SMRC dan Indikator menemukan tingkat kepuasan publik kepada kinerja Jokowi menangani pandemi COVID-19 cenderung membaik dalam satu tahun terakhir, di antaranya karena responden berpendapat pemerintah telah menunjukkan upayanya mengendalikan penyebaran virus meski pandemi belum berakhir. 

“Pada umumnya warga masih percaya Presiden Jokowi mampu membawa Indonesia keluar dari krisis akibat wabah COVID-19,” kata Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas dalam keterangan pers, Selasa.

Pada survei SMRC ditemukan tren kepuasan penanganan wabah mencapai 64,6 persen, atau naik dari posisi 61,8 persen pada Mei 2021. 

Firman dari BRIN mengakui bahwa pemerintah melakukan upaya yang serius dalam penanganan pandemi, tapi menganggap hal itu terlambat.

“Apa yang bisa kita nikmati sekarang bisa jadi harusnya kita sudah nikmati sejak enam bulan lalu, bila seandainya pemerintah sejak awal betul-betul mendengarkan para ilmuwan, pakar, membuat kebijakan dengan pendekatan ilmiah,” ujarnya.

Laju penularan COVID-19 dalam sebulan terakhir mengalami penurunan drastis setelah mengalami lonjakan gelombang kedua pandemi yang nyaris melumpuhkan sistem kesehatan di kota-kota besar pada Juni-Agustus lalu. 

Pada Rabu, kasus positif COVID-19 bertambah 914, sehingga jumlah orang yang terjangkit sejak pandemi dimulai sejak satu setengah tahun lalu menjadi 4,23 juta.

Kematian bertambah 28 kasus dalam 24 jam terakhir, sehingga total keseluruhan menjadi 143.049 orang meninggal dunia. 

Sementara pada periode gelombang kedua antara Juni dan Agustus, angka terkonfirmasi positif harian sempat nyaris menyentuh 60.000 orang, dengan kematian tertinggi tercatat pada 27 Juli dengan 2.069 orang. 

Ekonomi

Sebanyak 50,7 persen warga menyatakan puas dengan kerja pemerintah menangani ekonomi yang dihantam pandemi COVID-19, menurun dibanding survei Maret lalu sebesar 61,3 persen, menurut survei SMRC.

SMRC mengatakan sebanyak 60,6 persen warga yang disurvei menilai pendapatan rumah tangga mereka turun, sementara 32,3 persen mengaku pendapatannya tetap, dan hanya 6,1 persen naik.

“Penilaian tersebut stabil bila dibandingkan survei Mei 2021. Masih belum ada tanda-tanda pemulihan antara Mei sampai September ini,” kata Sirojudin.

Namun demikian, sekitar 65,6 persen warga percaya ekonomi rumah tangga tahun depan lebih baik dibanding saat ini, sementara hanya 9,1 persen yang memprediksi akan lebih buruk, kata SMRC.

Sebanyak 17,9 persen menilai tidak akan ada perubahan.

Isu-isu kontroversial seperti Undang-undang Cipta Kerja, revisi undang-undang KPK, hingga jerat pidana korupsi kepada sejumlah pejabat pemerintah, menurut Gani dari CSIS,  tidak terlalu memengaruhi persepsi masyarakat kepada Jokowi, ujarnya. 

“Beberapa isu di tingkat nasional jadi tidak banyak pengaruhnya karena sekarang ini yang paling berpengaruh adalah persoalan ekonomi yang jatuh karena pandemi,” kata Gani. 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.