Kesepakatan Perdagangan Asia-Pasifik Disambut, Namun Juga Tuai Kekhawatiran
2020.11.16
Jakarta
Para pemimpin dari 15 negara Asia-Pasifik menyambut penandatanganan kesepakatan perdagangan terbesar di dunia sebagai langkah menuju integrasi ekonomi regional, namun para aktivis hak asasi manusia dan buruh memperingatkan hal itu mungkin tidak membawa kemakmuran bagi semua orang.
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) ditandatangani sepuluh Kepala Negara ASEAN beserta pemimpin dari Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru pada Minggu (15/11), menandakan integrasi ekonomi dengan pasar yang mencakup 2,1 miliar konsumen setelah melalui proses negosiasi panjang selama delapan tahun.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyebut RCEP sebagai bentuk kerja sama perdagangan dengan prinsip yang terbuka, adil, dan memberikan optimisme baru bagi pemulihan ekonomi pascapandemi di kawasan. “Penandatanganan ini menandai masih kuatnya komitmen kita terhadap multilateralisme,” kata Jokowi.
Nguyen Xuan Phuc, Perdana Menteri Vietnam, yang saat ini memegang kepemimpinan ASEAN dan menjadi penyelenggara KTT virtual tersebut, mengatakan puas akan pencapaian itu.
Penandatanganan perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia ini “akan mengirimkan pesan yang kuat yang menegaskan peran utama ASEAN dalam mendukung sistem perdagangan multilateral, menciptakan struktur perdagangan baru di kawasan, memungkinkan fasilitasi perdagangan yang berkelanjutan, merevitalisasi rantai pasokan yang terganggu oleh COVID-19 dan membantu pemulihan pasca pandemi,” kata Phuc, menurut media pemerintah Vietnam.
Sementara itu Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengatakan RCEP telah melalui proses negosiasi yang mengacu pada perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota demi menjamin kesetaraan profit dalam pakta ini.
“RCEP bakal menjadi kendaraan utama, yang dapat mengintegrasikan dan meningkatkan ekonomi ASEAN dan mitra wicara,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Juru Bicara Presiden Filipina, Harry Roque, mengatakan kemitraan ini akan menambah lebih banyak lagi orang Filipina yang bekerja.
"Artinya peluang pasar global untuk barang-barang buatan Filipina akan meningkat. Jika kita mengekspor lebih banyak, kita bisa menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi warga kita," kata Harry kepada BenarNews, Senin.
RCEP yang diklaim muncul pertama kali atas inisiatif mantan Menteri Perdagangan Indonesia Mari Elka Pangestu pada 2011 adalah penggabungan dari sejumlah pakta perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) antara ASEAN dengan pendekatan yang disebut para analis lebih “subtil”.
Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi Center Strategic and International Studies (CSIS), menyebut RCEP memberi keuntungan bagi kawasan Asia Tenggara untuk terlibat lebih aktif dalam rantai pasokan global yang selama ini banyak melibatkan tiga negara Asia Timur: Cina, Jepang, dan Korea Selatan.
“Kita ketahui bahwa rantai perdagangan global selama ini bergantung pada jaringan produksi internasional, di mana barang-barang tidak diproduksi di satu negra saja tapi banyak negara. RCEP ini membuat kawasan di Asia Timur dan Tenggara menjadi lebih koheren, terintegrasi satu sama lainnya,” kata Yose kepada BenarNews, Senin.
Indonesia optimistis RCEP mampu menambah volume ekspor ke negara-negara anggota sebesar 8 sampai 11 persen, begitu juga investasi yang meningkat 18-22 persen, lima tahun setelah aturannya diratifikasi oleh dewan legislatif.
RCEP secara kumulatif mewakili 29,6 persen penduduk dunia, 30,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) global, 27,4 persen perdagangan dunia, serta 29,8 persen penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI) dunia.
Perjanjian ini menghapus hingga 90 persen tarif impor atas 6.050 uraian barang antara negara-negara anggota selama 20 tahun ke depan dengan turut mencakup urusan kekayaan intelektual dan perdagangan digital.
Proses ratifikasi ditargetkan berlangsung selama 60 hari sehingga perjanjian ini bisa mulai berlaku pada 2021.
Pengaruh Cina
Meski tidak dimotori oleh Cina, namun negara Asia Timur itu membawa pengaruh yang cukup signifikan atas kinerja RCEP merujuk pada volume pasar serta PDB yang lebih besar dibandingkan negara anggota lainnya.
Data Bank Dunia menunjukkan Cina mengantongi PDB sebesar US $14,4 triliun pada 2019, atau nyaris satu setengah kali dari total PDB 14 anggota RCEP lainnya. Dalam hal populasi, Cina juga mendominasi dengan penduduk yang mencapai 1,3 miliar orang.
Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menyebut pengaruh Cina bakal semakin menguat diwujudkan melalui bertambahnya produk dari negara itu yang masuk ke dalam negeri saat RCEP mulai berlaku nanti.
Pihaknya mencatat, impor barang dari Cina ke Indonesia pada Januari-Oktober 2020 sudah menyentuh 30,1 persen dari total impor, atau melonjak dari periode sama pada tahun sebelumnya dengan level 29 persen.
“Artinya sebelum RCEP, Cina makin dominan sebagai pemasok barang impor di Indonesia. Ditambah RCEP, makin dominan lagi,” kata Bhima kepada BenarNews.
Tanpa RCEP, Indonesia juga sudah mengalami defisit perdagangan yang cukup dalam dengan Cina dan Australia, tambah Bhima. Per September, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan Cina mencapai U.S.$6,6 miliar dan U.S.$1,5 miliar dengan Australia.
“Apalagi ada RCEP, perbankan, asuransi hingga perusahaan dalam negeri makin didominasi modal asing. Implikasinya cukup serius terhadap pelebaran defisit transaksi berjalan khususnya neraca pendapatan primer, dan neraca jasa,” katanya.
Perdana Menteri Cina, Li Keqiang, dalam pernyataan tertulisnya mengatakan Beijing akan tetap mengedepankan situasi pembangunan yang damai dan stabil dengan berbasis pada multilateral dan perdagangan bebas.
“Setelah delapan tahun berunding, penandatanganan RCEP memancarkan sinar dan harapan di tengah kondisi suram. Ini jelas menunjukkan bahwa multilateralisme adalah cara yang benar, mencerminkan arah yang tepat bagi perekonomian global dan kemajuan manusia,” katanya, dikutip dari Xinhua.
India sebenarnya turut terlibat dalam negosiasi RCEP namun pada 2019 memutuskan untuk keluar dari perjanjian ini karena khawatir barang-barang murah dari Cina akan membanjiri negara Asia Selatan itu.
Namun demikian, para kepala negara ASEAN tetap berharap India mengubah keputusannya dan ikut bergabung dalam pakta perdagangan ini. “Bagi Indonesia, kami masih membuka peluang negara di kawasan untuk bergabung dalam RCEP ini,” kata Jokowi.
Perlindungan lingkungan dan pekerja
Bukan hanya keuntungan ekonomi yang masih dipertanyakan, RCEP turut dikritik sebagai kemitraan yang mengesampingkan urusan hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, hingga hak pekerja.
Sarah Elago, anggota Kongres Filipina dan ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) menyebut pakta ini hanya memberikan keistimewaan bagi pebisnis tanpa mempertimbangkan konsultasi publik yang lebih luas.
“Saatnya kita menghentikan kebohongan ini dan mengakui bahwa RCEP adalah berita buruk bagi hak asasi manusia dan demokrasi,” kata Sarah.
Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), menuntut pemerintah untuk mengedepankan perjanjian yang adil ketimbang bebas lantaran meyakini Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi komoditas-komoditas yang datang dari negara ekonomi kuat seperti Cina.
“Kaum buruh ini menginginkan adanya fair trade, bukan free trade,” kata Said kepada BenarNews.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyampaikan kekecewaan mereka karena keputusan pemerintah yang justru mendorong liberalisasi perdagangan di tingkat regional pada masa pandemi COVID-19.
Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, mengatakan pihak yang paling diuntungkan dari kemitraan ini sudah pasti Cina dan Jepang yang menjadi konsumen terbesar produk batu bara dan minyak sawit dari Indonesia.
“Cina mungkin di dalam negerinya punya komitmen untuk menghapus emisi, tapi dengan mitra dagangnya tidak begitu. Misal, Cina gak butuh batu bara lagi karena dia mau mengembangkan mobil listrik, tapi tambangnya kan tetap jalan di Indonesia,” kata Yuyun, merujuk pada pertambangan nikel milik Cina di Sulawesi.
“Bilateral saja kalah, Indonesia defisit dengan Cina, apalagi regional begini,” tambahnya melalui sambungan telepon, Senin.
Kemitraan AS di kawasan
Pakta perdagangan RCEP juga dipandang sebagai upaya Cina untuk menyisihkan pengaruh Amerika Serikat (AS) di kawasan Asia Tenggara, “bukan hanya secara politik ekonomi, tetapi juga dalam perdagangan, produksi dan investasi,” kata Yose.
Saat negosiasi RCEP dimulai pada 2012, AS, di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, juga tengah melakukan perundingan kerja sama perdagangan serupa bersama Australia, Brunei, Jepang, Malaysia, New Zealand, Singapura dan Vietnam.
Kesepakatan kerja sama Trans-Pacific Partnership (TPP) itu kemudian ditandatangani pada 2016 dengan turut melibatkan Singapura, Meksiko, Peru, dan Chile. Namun di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS menarik diri dari TPP.
Kemenangan Joe Biden tak lantas memberi sinyal bahwa AS akan kembali bergabung dengan perjanjian yang kini diubah namanya menjadi Comprehensive and Agressive Agreement for TPP (CPTPP).
“Untuk Biden, mungkin agak berbeda. AS mungkin akan lebih involve di kawasan, sehingga mereka mungkin akan lebih demanding terhadap negara-negara di kawasan. Revitalisasi TPP mungkin menjadi pilihan juga,” kata Yose.
Dalam KTT ASEAN-AS, Minggu (15/11), Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha mengharapkan adanya peran AS yang lebih konstruktif di dalam mempromosikan netralitas sekaligus strategi ekuilibrium di kawasan Indo-Pasifik demi membantu pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
“AS, sebagai ekonomi terbesar di dunia, dan ASEAN sebagai ekonomi terbesar kelima, perlu bekerja sama untuk meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan rantai pasokan, meningkatkan akses ke teknologi dan mendukung pengembangan kota pintar,” kata Prayut.
Sementara Indonesia memandang bahwa kemitraan AS-ASEAN sebagai kekuatan positif di dalam menciptakan perdamaian, stabilitas dan kemakmuran kawasan. “Ke depan Indonesia tetap berharap agar Amerika Serikat menjadi mitra penting dan strategis di kawasan Indo-Pasifik, termasuk di antaranya dalam penerapan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Dalam empat tahun terakhir, volume perdagangan ASEAN-AS meningkat sebesar 39 persen dari U.S.$211,8 miliar menjadi U.S.$294,6 miliar. Begitu juga dengan investasi AS yang melonjak 110 persen di kawasan dari U.S.$11,65 miliar menjadi U.S.$24,5 miliar, sebut Menlu Retno.
Hadi Azmi di Kuala Lumpur, Pimuk Rakkanam di Bangkok, dan Jason Gutierrez di Manila turut berkontribusi pada artikel ini.