Kalah Lagi di PTUN Soal Reklamasi, Pemprov Jakarta Bakal Banding

Masyarakat nelayan dan aktivis lingkungan mengaku tidak gentar dengan upaya banding Pemprov DKI Jakarta.
Arie Firdaus
2017.03.17
Jakarta
170317_ID_JktReclamation_1000.jpg Nelayan dan aktivis berunjuk rasa menolak kelanjutan proyek reklamasi Teluk Jakarta di depan Istana Negara, 19 September 2016.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana akan mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memenangkan gugatan kelompok masyarakat penolak reklamasi Pulau F, I, dan K di Teluk Jakarta.

"Kemungkinan iya (banding)," kata Staf Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, Maratua Purba kepada BeritaBenar, Jumat, 17 Maret 2017.

Upaya banding itu dipertimbangkan Pemprov DKI Jakarta lantaran pernah menang pada gugatan yang sama di tingkat banding, yakni dalam kasus izin reklamasi Pulau G.

"Saya dengar sekilas, pertimbangan putusan mirip dengan Pulau G," tambah Maratua, tanpa merinci lebih lanjut detil putusan, "jadi kami yakin memenangkan banding, seperti sebelumnya."

Pulau-pulau tersebut adalah bagian dari 17 pulau- dinamakan sesuai alfabet yang termasuk dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta yang diinisiasi oleh Pemprov Jakarta dimana pengembangannya diserahkan kepada sejumlah pihak swasta.

Pemprov Jakarta mengatakan reklamasi tersebut diperlukan untuk memecahkan masalah lahan di ibukota, yang terancam penurunan dan kenaikan permukaan laut.

Menurut Pemprov Jakarta, 45 persen lahan reklamasi akan menjadi milik Pemprov sehingga bisa mendatangkan keuntungan besar yang bisa dipakai untuk pembangunan fasilitas publik.

Setiap pulau reklamasi tersebut punya fungsi berbeda, mulai dari pemukiman, bisnis, hingga pelabuhan.

Namun hal itu dibantah pihak kontra reklamasi yang menyebut proyek ini merugikan 28 ribu nelayan di sekitaran Teluk Jakarta akibat kerusakan ekosistem laut dengan estimasi kerugian mencapai Rp 92 triliun.

Pemprov DKI Jakarta sebelumnya pernah kalah dalam sidang gugatan tahapan pertama terkait izin Pulau G pada Mei 2016.

Ketika itu, hakim menilai Keputusan Gubernur Nomor 2238 Nomor 2014 yang dijadikan dasar reklamasi Pulau G bertentangan dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Belakangan di tahap banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), Pemprov DKI Jakarta justru menang sehingga proyek reklamasi Pulau G pun dilanjutkan.

Cacat prosedur

Kemenangan masyarakat penolak reklamasi Pulau F, I, dan K diputus majelis hakim TUN dalam persidangan, Kamis, 16 Maret 2017. Gugatan didaftarkan pada Januari 2016 oleh kelompok masyarakat nelayan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang terdiri dari Baiq Yuliani, Arif Pratomo, dan Adi Budi Sulistyo menilai bahwa ada cacat prosedur dalam penerbitan izin reklamasi oleh Pemprov DKI Jakarta, seperti tidak melibatkan warga sekitar dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Selain itu, majelis hakim juga menilai Pemprov DKI Jakarta tak merujuk Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang disusun pemerintah pusat.

Hakim juga meminta proyek reklamasi di tiga pulau dihentikan hingga ada keputusan hukum tetap.

Pulau F seluas 190 hektare dan I yang berluas 405 hektare dikembangan oleh PT Jakarta Propertindo sejak Oktober 2015.

Sedangkan Pulau K seluas 32 hektare dikembangkan PT Pembangunan Jaya Ancol sejak November 2015.

Pulau M tercatat sebagai pulau terbesar dengan luas sekitar 587 hektar.

‘Hakim adil’

Perihal kemenangan di PTUN, Ketua Komunitas Nelayan Tradisional, Iwan Carmidi mengaku bahagia dan senang.

"Hakim telah berbuat adil," ujarnya kepada BeritaBenar.

Hal sama diutarakan salah seorang nelayan tradisional, Suhali. Menurutnya, hakim telah tepat dengan berpihak kepada masyarakat kecil, dengan memenangkan gugatan para nelayan.

"Ini keberpihakan kepada nelayan. Saya sangat lega," kata Suhali.

Senada pernyataan aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Edho Rahman, yang mengatakan bahwa proyek reklamasi memang layak dihentikan.

“Karena jelas menyengsarakan nelayan di sekitaran,” ujarnya.

Adapun terkait rencana banding Pemprov DKI Jakarta, baik Edho, Iwan, dan Suhali mengaku tak gentar. Mereka mengatakan siap untuk terus mengawal jika nanti sidang banding digelar di PT TUN.

"Itu hak mereka (banding)," kata Iwan lagi.

"Yang penting semua harus tetap bersatu menolak reklamasi. Kami butuh dukungan besar agar reklamasi ini dihentikan secara total,” pungkas Edho.

Rencana lama

Menuai keributan sejak beberapa tahun terakhir, reklamasi sejatinya adalah proyek lawas yang telah ada sejak Presiden Soeharto. Pada 1995, Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang reklamasi. Hanya saja, ketika itu proyek reklamasi tak langsung digelar.

Lalu pada 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan Surat Keputusan Nomor 14 tentang Ketidaklayakan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara. Kebijakan tersebut diperkuat Mahkamah Agung pada 2009 yang memutuskan reklamasi menyalahi AMDAL.

Hanya saja dua tahun berselang, keputusan MA berubah di tingkat Peninjauan Kembali. Reklamasi dianggap legal dan layak dilanjutkan. Keputusan itu disambut Gubernur DKI Jakarta ketika itu Fauzi Bowo dengan menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 121 Tahun 2012.

Disusul keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama pada 2014 yang kemudian mengeluarkan izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera —anak perusahaan Agung Podomoro Land.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.