Rekonsiliasi ‘Tragedi 1965’ Ala Warga Banjar Masean Bali
2017.01.10
Jembrana
Sekitar 500 warga Banjar Masean, Desa Batuagung, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, duduk bersama di lapangan voli yang Jumat malam, 6 Januari 2017, berubah menjadi tempat nonton bareng.
Malam itu, warga banjar (dusun) yang berjarak tiga jam perjalanan dengan kendaraan dari Denpasar menonton Masean’s Messages, film dokumenter yang mengisahkan pembongkaran kuburan massal korban tragedi politik 1965 di desa mereka.
Selama satu jam, warga sesekali serempak bersorak girang, tertawa, atau meledek wajah-wajah yang mereka kenali di layar tancap. Film itu memang tentang Masean.
Dalam film produksi ELSAM dan Sanggar Siap Selem, warga tak hanya membongkar kuburan massal, tapi juga melakukan rekonsiliasi terkait salah satu tragedi besar di negara ini, pembantaian massal 1965.
“Filmnya bagus. Tidak hanya menceritakan peristiwa yang terjadi di desa kami, tapi juga di Indonesia,” tutur Ida Bagus Putu Siwa, seorang penonton.
Melalui Masean’s Messages, pembuat film Dwitra J Ariana ingin memperlihatkan bagaimana rekonsiliasi para pelaku dan korban tragedi 1965 berhasil dilakukan di tingkat lokal dengan pendekatan adat dan agama.
“Warga tidak punya kepentingan politik. Mereka hanya ingin desanya bersih dari gangguan akibat banyaknya orang dikubur tidak wajar,” katanya.
Dwitra menambahkan, film ini juga menjadi semacam pengingat bahwa pada 1965, banyak orang di Bali mati dibunuh dan dikubur secara massal.
“Banjar Masean bisa menjadi contoh bahwa tidak ada tendensi politik atau lainnya (untuk rekonsiliasi). Hanya menghormati mereka yang mati tidak wajar,” katanya.
Bunuh diri
Pembongkaran kuburan massal di Masean dilakukan Oktober 2015 lalu. Melalui pembongkaran secara swadaya, warga menemukan sembilan korban yang dikubur di jalan utama desa.
Kelian Banjar, atau pemimpin dusun Masean, Ida Bagus Kadek Suwartama menjelaskan, dari keterangan saksi mata, ada sebelas korban pembantaian yang dikubur di tempat itu. Pada 1984, dua korban sudah digali keluarga mereka.
Suwartama mengaku sejak 1980-an, warga ingin membongkar kuburan massal itu. Namun, saat itu, mereka menghadapi kendala biaya dan tekanan politik. Akhirnya, rencana itu batal. Hanya keluarga yang mampu. Itu pun secara diam-diam.
Menurutnya, warga ingin membongkar kuburan massal dan menguburkan kerangka korban secara layak karena banyak kejadian aneh terjadi di desa, seperti ada yang melihat mayat berjalan tanpa kepala.
“Setiap kali setelah warga melihat hal semacam itu, pasti kemudian ada yang bunuh diri,” katanya.
Sejak 1965 hingga sebelum pembongkaran, setidaknya terjadi 50 kasus bunuh diri di Masean, dengan motif beragam. Ada karena alasan ekonomi atau keluarga. Tapi, caranya selalu sama, dengan gantung diri.
Salah satu adegan dalam film Masean's Messages. (Anton Muhajir/BeritaBenar)
Patungan dana
Setelah iklim politik lebih terbuka, niat warga untuk membongkar muncul kembali. Mereka sepakat untuk tak menonjolkan unsur politik.
Warga menekankan bahwa pembongkaran untuk menguburkan para korban secara layak dan membersihkan desa mereka dari “arwah gentayangan”.
Akibat perbedaan pendapat, sempat terjadi tarik ulur jadi tidaknya pembongkaran. Ketika akhirnya sepakat membongkar, mereka menghadapi kendala besarnya biaya yang mencapai Rp62 juta lebih. Bagi warga yang sebagian besar petani, itu bukan jumlah sedikit.
Warga sepakat patungan untuk membiayai rangkaian upacara penyucian menurut agama Hindu. Mereka juga mengajukan proposal ke beberapa pihak untuk membiayai kegiatan.
Akhir Oktober 2015, niat warga membongkar kuburan terlaksana. Selama sehari, mesin pengeruk menggali jalan utama di depan SDN 3 Batuagung. Mereka menggali lokasi yang telah ditandai di wilayah itu berdasarkan informasi saksi mata yang masih hidup.
Setelah tulang-belulang para korban ditemukan, warga membakar dan melarungnya ke laut. Pada bagian terakhir, warga menggelar upacara penyucian di lokasi bekas kuburan tersebut.
“Sekarang masyarakat sudah tenang. Tidak lagi resah karena kejadian-kejadian aneh,” ujar Suwartama.
Pembantaian
Jembrana, kabupaten paling barat Bali, adalah salah satu lokasi pembantaian 1965 - 1966. Beberapa sumber, seperti buku The Dark Side of Paradise karya Geoffrey Robinson, menyebutkan jumlah korban mencapai 80.000 atau sekitar 5 persen penduduk Bali saat itu.
Menurut I Ngurah Suryawan, peneliti sejarah kekerasan politik 1965, Jembrana memang menjadi tempat pembantaian massal 1965 terbesar di Bali. Salah satunya posisi Jembrana paling dekat dengan Jawa.
“Meskipun terjadi di seluruh Bali, Jembrana menjadi awal pembantaian massal 1965 di Bali,” kata penulis buku Ladang Hitam di Pulau Dewa, Pembantaian Massal 1965 di Bali tersebut.
Pembantaian 1965 di Bali, menurutnya, sering kali terjadi tanpa alasan jelas. Pelaku dan korban kadang masih terikat hubungan keluarga.
“Kami sama-sama korban adu domba,” kata Putu Siwa, seorang warga.
Lewat pembongkaran kuburan massal seperti ditayangkan dalam Masean’s Message, warga hendak menyampaikan, rekonsiliasi tragedi 1965 bisa dilakukan tanpa harus mengedepankan unsur politik, tapi melalui pendekatan agama dan adat.
Mereka berharap model ini bisa diterapkan di tempat lain di Indonesia asalkan ada kemauan. Tapi, beberapa kali upaya rekonsiliasi di tingkat nasional terkait tragedi 1965 yang pernah digagas selalu gagal karena terkesan lebih mengedepankan unsur politik.