Revisi UU Terorisme, DPR Tolak Penghambat Kebebasan Berekspresi

Revisi UU diharapkan memastikan keseimbangan yang baik antara hak-hak warga sipil dan kepentingan keamanan.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.04.06
Jakarta
170406_ID_TerrorismLaw_1000.jpg Dari kiri ke kanan: Teguh Samudera, Ketua Dewan Pengawas DPP Ikadin; Arsul Sani, anggota DPR RI; Al Araf, Direktur Imparsial; Sidney Jones, Direktur IPAC, dan moderator Erwin Natosmal Oemar saat diskusi tentang UU Terorisme di Jakarta, 6 April 2017.
Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar

Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menolak pasal usulan pemerintah yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi.

“Kita tolak karena tidak jelas kausalitas antara tulisan atau ucapan dimaksud memang benar mengakibatkan terorisme,” ujar Arsul Sani, anggota Panja Revisi UU Terorisme dalam diskusi tentang perkembangan terbaru revisi UU tersebut yang digelar Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) di Jakarta, Kamis, 6 April 2017.

Usulan Pasal 13A dalam revisi UU itu berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan yang dapat mendorong perbuatan atau tindakan kekerasan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun.”

Menurut Arsul, pasal ini merupakan satu dari banyak klausul usulan pemerintah yang diminta DPR agar ditulis ulang.

“Kami sadar ini masalah serius tapi jangan sampai terlalu paranoid sehingga rambu-rambu pencegahannya bisa mengenai orang-orang yang tidak terkait masalah ini,” ujar Asrul, yang juga anggota Komisi III DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, mengatakan bahwa rumusan pasal ini tidak jelas dan rancu karena bila maksudnya untuk menggerakkan orang melakukan tindak pidana terorisme, hal itu sudah diatur dalam pasal lain.

Namun, jika maksudnya adalah semua perbuatan sebagaimana disebutkan dalam pasal seperti “ucapan, perbuatan tingkah laku atau tampilan yang mengakibatkan terorisme”, pasal ini bebas ditafsirkan, ujarnya dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar, Rabu, 5 April 2017.

“ICJR menyadari keinginan perumus untuk membatasi kebebasan berekspresi dalam hal penghasutan untuk melakukan tindakan terorisme, seperti dalam pidato, ceramah atau ucapan dan ekspresi lain yang menghasut, menganjurkan atau membenarkan perbuatan terorisme,” tambahnya.

Supriyadi mendorong agar ketentuan ini diperhatikan serius untuk menghindari adanya masalah baru dan perlu diselaraskan dengan pasal penganjuran dan penghasutan yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Hal senada juga disampaikan oleh Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), yang menjadi salah satu pembicara. Ia mengatakan Panja DPR harus dapat menghasilkan pasal yang tetap bisa mempidanakan hal-hal seperti penulisan buku petunjuk cara membuat bom, tanpa melanggar kebebasan berekspresi.

Hal lain yang berpotensi serupa adalah pasal mempidanakan pelatihan yang bersifat paramiliter.

“Jangan sampai pasal-pasal yang dibuat nantinya malah dapat mengancam keberadaan kelompok seperti perguruan pencak silat, yang kadang-kadang ada latihan seperti paramiliter,” ujar Sidney.

Prinsip HAM

Al Araf, Direktur Imparsial, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu mengatakan, tantangan terbesar DPR dalam merevisi UU ini adalah memastikan keseimbangan yang baik antara kebebasan hak-hak warga sipil dan kepentingan keamanan.

“Dua hal ini jangan dinegasikan satu sama lain. Negara dan Panja harus memastikan dua hal ini berimbang dan revisi UU ini tetap dalam koridor sistem hukum peradilan pidana,” ujar Al Araf.

Supriyadi mengharapkan pemerintah dan DPR konsisten memasukkan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dalam pembahasan revisi UU, yang telah dilakukan sejak pertengahan tahun lalu.

“Prinsip hak asasi manusia harus menjadi parameter dan landasan krusial dalam pembahasan pasal-pasal revisi UU Terorisme,” ujarnya.

Menurutnya, dua usulan pasal yang berpotensi melanggar HAM adalah Pasal 28 tentang Penangkapan, dan Pasal 43A tentang Pencegahan, yang oleh kalangan aktivis pegiat HAM kerap menyebutnya sebagai “Pasal-Pasal Guantanamo”.

Usulan revisi Pasal 28 adalah memperpanjang masa penangkapan dari tujuh hari menjadi 30 hari. Sedangkan pasal 43A mengusulkan bahwa dalam rangka pencegahan, aparat penegak hukum dapat menahan orang yang diduga akan melakukan terorisme selama enam bulan.

“Hal ini berpotensi terjadinya praktik penyiksaan, tindakan menyakitkan dan penghilangan,” ujar Supriyadi.

Al Araf berpendapat sama, dengan mengatakan masa penangkapan maksimal tujuh hari yang sudah berlaku sekarang cukup lama dan harus dimaksimalkan untuk penyelidikan.

“Total masa penahanan di berbagai tahap yang bisa lama, bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana di Indonesia yang prinsipnya penahanan harus sesingkat mungkin,” tegasnya.

Arsul mengatakan DPR sudah sepakat untuk memperpanjang masa pembahasan revisi UU Terorisme yang diharapkan sudah bisa rampung pada pertengahan tahun ini.

“Ada 110 daftar inventaris masalah yang harus dibahas. Sudah ada 60 yang dibahas tapi itu masih banyak yang tertunda karena dikembalikan ke pemerintah (untuk dirumuskan ulang),” ujarnya kepada BeritaBenar seusai acara diskusi tersebut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.