Aktivis kecam revisi UU TNI yang dinilai tingkatkan kewenangan dalam peran nonmiliter

Puspen TNI sebut revisi itu untuk mengakomodasi peran tentara dalam proses bernegara.
Pizaro Gozali Idrus dan Dandy Koswaraputra
2023.05.12
Jakarta
Aktivis kecam revisi UU TNI yang dinilai tingkatkan kewenangan dalam peran nonmiliter Personel TNI Angkatan Udara berparade dalam peringatan upacara hari ulang tahun mereka yang ke-77 di pangkalan udara Halim Perdanakusuma di Jakarta, 9 April 2023.
[Willy Kurniawan/Reuters]

Upaya militer yang sedang menggodok revisi undang-undang Tentara Nasional Indonesia dengan menambah peran prajurit aktif untuk memegang posisi di instansi pemerintah dan kewenangan lainnya mendapat kecaman dari aktivis hak asasi manusia yang mengkhawatirkan hal tersebut bisa mengembalikan Dwifungsi ABRI yang berpotensi melemahkan demokrasi.

Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan pada Jumat (12/5) bahwa inisiatif merevisi undang-undang nomor 34 tahun 2004 itu untuk mengakomodasi lebih besar peran tentara dalam proses bernegara.

“(Revisi) terkait fakta-fakta konkret bahwa TNI aktif dalam penanganan Covid-19, penanganan sampah dan lain sebagainya. Ini untuk memaksimalkan peran TNI,” kata Julius kepada BenarNews.

Namun, peneliti dari lembaga advokasi hak asasi manusia SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, berbeda pendapat. Ia mengingatkan TNI agar memfokuskan diri pada pengembangan kemampuan prajurit ketimbang memperluas peran tentara dalam posisi jabatan publik.

“Sebaiknya TNI fokus pada peningkatan profesionalisme institusi dan prajurit mengingat perubahan geopolitik global dan konsekuensi persaingan China dan AS di Pasifik,” jelas Bonar kepada BenarNews.

Usulan diperluasnya wewenang prajurit aktif untuk bisa menduduki jabatan sipil pada tujuh kementerian atau lembaga lain di luar apa yang sudah tertera dalam UU TNI saat ini, juga menuai kecaman.

“Ini sama saja dengan membuka peluang bagi kembalinya Dwifungsi ABRI. Sesuai dengan mandat reformasi seharusnya prajurit TNI hanya diperbolehkan untuk menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga yang berkaitan dengan pertahanan negara,” urai Andi Muhammad Rezaldy peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) adalah dua kewenangan tentara pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu selain dalam bidang pertahanan juga pada sektor sosial politik.

Kewenangan ganda di tangan militer pada Orde Baru di bawah 32 tahun kekuasaan rejim Soeharto itu telah menajamkan otoritarianisme dan melemahkan demokrasi.

Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998, pengaruh militer dalam lembaga-lembaga dihapus dan “tentara kembali ke barak”.

UU TNI saat ini menyebut bahwa perwira TNI diwajibkan mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum melamar jabatan publik. Akan tetapi beleid itu mengecualikan beberapa jabatan untuk dapat diisi perwira aktif TNI. Jabatan ini terutama menyangkut dan berkaitan dengan keamanan negara, semisal Mahkamah Agung, bidang intelijen, lembaga ketahanan nasional, lembaga sandi negara, Search and Rescue (SAR), dan penanggulangan narkotika.

Dalam usulan revisi undang-undang, ada tambahan tujuh lembaga yang dapat diisi prajurit aktif, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelola perbatasan, dan Badan Keamanan Laut.               

Perluasan wewenang TNI selain perang

Ketua Centra Initiative yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Al Araf, menyatakan revisi UU TNI yang memasukkan fungsi tentara bukan hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga keamanan negara adalah tidak tepat.

Menurut Al Araf, di negara demokrasi fungsi militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik dan dilatih untuk perang.

“Oleh karena itu meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru dan membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara," ucap dia kepada BenarNews.

Bagi TNI, justru peran lebih besar tersebut merupakan bagian dari pengembangan profesionalisme tentara dalam koridor operasi militer selain perang, kata Julius, menambahkan ada 15 pasal yang akan direvisi dan hanya dua pasal yang berkaitan dengan peran dan fungsi tentara.

“Sudah banyak para personel TNI yang terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan operasi selain perang seperti penanganan Covid-19, bencana alam, hingga melakukan evakuasi WNI di luar negeri,” kata Julius.

Pada UU TNI nomor 34/2004, pasal 7 ayat 2 disebutkan operasi militer selain perang, antara lain untuk mengatasi gerakan separatisme dan pemberontakan bersenjata, mengamankan wilayah perbatasan dan objek vital nasional strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, serta sejumlah kewenangan lainnya.

Pada usulan revisi Undang-Undang TNI termasuk di dalamnya mendukung tugas pemerintahan di daerah; mendukung Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.  

“Usulan revisi total ada 19 operasi militer selain perang dari sebelumnya hanya 14,” kata Julius.

Pasal operasi militer selain perang tersebut, bagi Andi dari KontraS, merupakan salah satu pasal bermasalah karena menurutnya akan membuka ruang bagi pengerahan tentara secara masif yang berisiko pelanggaran hak asasi manusia (HAM)

“Selain risiko pelanggaran HAM, pengerahan pasukan dalam rangka operasi militer selain perang juga sudah terbukti menjadi salah satu faktor dalam langgengnya situasi kekerasan di beberapa wilayah, utamanya Papua,” ujar Andi kepada BenarNews.

Impunitas militer

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga mencermati beberapa usulan lain yang dinilai tidak tepat.

Seperti misalnya dalam UU saat ini disebutkan bahwa “Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden”. Sementara itu usulan perubahannya menyebutkan hanya “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah presiden.”

“Jika kewenangan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI oleh Presiden dihapus maka TNI dapat melakukan operasi militer tanpa persetujuan dan pengawasan dari Presiden,” terang Andi yang juga merupakan anggota Koalisi.

Hal lain yang menjadi kekhawatiran, terkait pengadilan pada anggota militer. Dalam UU TNI saat ini menyebutkan bahwa anggotanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, dan pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Sedangkan dalam usulan revisi menyebutkan prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal baik pelanggaran hukum pidana militer maupun pidana umum. Hal ini dikhawatirkan akan memperkuat impunitas militer.

Untuk itu, Koalisi meminta kepada pemerintah untuk meninjau ulang usulan revisi UU yang sempat menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (prolegnas) di DPR pada 2022 namun tidak termasuk sebagai salah satu dari 39 rancangan undang-undang yang menjadi prioritas pembahasan legislasi tahun ini.

"Kami memandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini," kata Koalisi dalam keterangan tertulisnya.

Merespons banyaknya kritik dari elemen masyarakat sipil, Julius meminta pihak-pihak tersebut menyampaikannya dalam seminar agar dapat dipahami secara lebih jelas.

“Buat saja seminar umum, yang pro dan kontra dijadikan satu forum,” terang dia.

Nazarudin Latif berkontribusi pada artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.