‘Ritual Berkah’ Sambut Tahun Baru Islam
2018.09.11
Solo, Jawa Tengah
Sutarmi (45) berdesakan dengan ratusan orang di pelataran pendopo Pura Mangkunegara, Solo, Jawa Tengah, Senin malam, 10 September 2018, untuk memperoleh air bunga yang diyakini bisa membawa berkah.
“Setiap tahun saya ke sini, ngalap berkah, harapannya diberikan kelancaran untuk usaha, penyakit disembuhkan,” tutur Sutarmi yang datang berombongan dari Karanganyar, bisa ditempuh sejam dengan mobil bila lalu lintas lancar.
Dia memang tak berhasil membawa pulang air bunga malam itu, tapi hanya membasuh wajahnya sambil mengucapkan harapannya.
Hal sama juga dilakukan Subroto (58), yang mengaku sudah mengikuti ritual malam Satu Suro di berbagai daerah dan keraton di Indonesia sejak berusia belasan tahun.
“Tergantung kemantapan hati saja hal-hal seperti ini. Saya menganggapnya sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Memohon tetap pada Allah, karena saat melakukannya kita mengucapkan doa juga tetap pada Allah,” jelasnya.
Setiap malam Satu Suro atau malam tahun baru Islam, ada ritual yang dilaksanakan Pura Mangkunegara, satu istana pemerintahan setingkat Kadipaten di Solo.
Menurut Heri Priyatmoko, seorang sejarawan, ritual membasuh dengan air bunga, udik-udik atau merebutkan uang yang dibagikan kerabat Istana Mangkunegara, dan laku tapa bisu, mengelilingi tembok yang membentengi istana, memiliki arti sangat dalam.
“Air memiliki arti penting sebagai bagian dari ritual penyucian yang menyertai agama-agama besar di dunia,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Dalam khasanah budaya Jawa kuno, air melahirkan konsep patirtan, toya marta, banyu mahaprawita yang dianggap mujarab, dapat menyembuhkan penyakit serta membawa berkah. Sedangkan udik-udik pemberian raja atau penguasa dianggap membawa berkah.
“Uang itu tidak dipakai jajan, tapi disimpan sebagai jimat karena diyakini bertuah,” kata Heri.
Sementara, laku tapa bisu memiliki nilai universal bagi semua agama, yaitu pengharapan manusia terhadap Tuhan agar dilimpahi berkah dan kesehatan.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga hadir saat laku tapa bisu di Mangkunegara hari itu.
Memakai baju adat Jawa berupa beskap, jarik dan blangkon, ia berada di barisan terdepan bersama Wakil Walikota Solo Achmad Poernomo dan anggota DPR RI Aria Bima.
Gatot mengaku bukan pertama kali mengikuti ritual Satu Suro, tapi baru pertama ikut laku tapa bisu.
Dia mengingatkan bahwa Indonesia terdiri dari banyak kerajaan yang mengangkat harkat dan martabat bangsa dengan tradisi luhur.
“Semua ini mengingatkan kita semua punya sejarah perlawanan yang dipimping oleh RM Said (yang kemudian dikenal sebagai Mangkunegara I),” ujarnya.
Ketika ikut ritual laku tapa bisu sekitar 30 menit itu, Gatot mengaku mengisinya dengan melantunkan dzikir dan salawat.
Warisan Dinasti Mataram
Bulan Sura (Suro) dalam penanggalan Jawa atau Muharram dalam Islam punya berbagai ritual yang digelar konsisten oleh keraton-keraton pecahan Dinasti Mataram Islam di Jawa.
Selain Pura Mangkunegara, Keraton Kasunanan Surakarta juga menggelar ritual malam Satu Suro dengan kirab “kerbau bule”.
Kotoran kerbau bule sangat dinantikan warga yang ikut kirab. Mereka memperebutkan sambil mengharapkan berkah jika berhasil mendapatkan kotoran kerbau itu.
Di Keraton Kasultanan Yogyakarta juga digelar ritual berjalan kaki mengitari benteng Keraton dalam rangka instropeksi diri.
Kemudian dilanjutkan dengan berbagai ritual seperti melakukan sedekah bumi di Gunung Merapi, Gunung Lawu dan di desa-desa. Selain itu, ada juga lek-lekan atau begadang di Pantai Parangkusumo dan Pantai Parangtritis yang terletak di selatan Yogyakarta.
“Ritual-ritual ini adalah tradisi warisan dinasti Mataram Islam dan sudah berlangsung berabad-abad lamanya,” tutur Heri.
Semua tradisi yang dilakukan pecahan Kerajaan Mataram kuno ini, menurut sejarawan senior Joko Suryo, juga dipercaya sebagai salah satu penasehat Sultan.
Semua ritual yang dilakukan untuk menyambut datangnya tahun baru Islam memiliki dua makna, yaitu wujud rasa syukur atas setahun yang telah dilalui dan penyucian diri untuk memasuki tahun selanjutnya.
“Tirakat di barat (gunung Merapi), timur (gunung Lawu) dan semuanya (selatan dan utara) tujuannya untuk syukuran juga membersihkan diri,” ujarnya.
Sisi riligius
Humas Pura Mangkunegara, Joko Pramudyo, mengatakan tradisi menyambut malam Satu Suro memiliki kaitan erat dengan sisi religius manusia.
Dia menyontohkan dengan berjalan mengelilingi benteng tanpa alas kaki bertujuan agar kaki bersentuhan langsung dengan tanah.
“Sehingga manusia selalu ingat bahwa dia diciptakan Tuhan dari tanah dan akan kembali ke tanah. Sementara tapa bisu adalah bentuk perenungan dan instropeksi diri,” terangnya.
Saat bersamaan, Mangkunegara juga menggelar sema’an (membaca) Alquran (semalam suntuk) di Masjid Al Wustho. Tujuannya adalah untuk menjaga keseimbangan antara budaya dan agama.
Ulama asal Solo, Al Munawar, sudah sangat hapal dan tahu tentang seluk beluk tradisi menyambut malam tahun baru Islam di Keraton Solo, Keraton Yogyakarta maupun Pura Mangkunegara.
Sebagai pecahan Kerajaan Mataram Kuno yang beragama Hindu dan Buddha sampai jadi bagian Kerajaan Mataram Islam, berbagai tradisi dan ritual kerajaan-kerajaan ini adalah perpaduan dari budaya Hindu, Buddha dan Islam.
Ketika melakukan penilaian terhadap pelaksanaan tradisi maupun ritual di Keraton Solo, Keraton Yogyakarta maupun Pura Mangkunegaran, Munawar mengaku harus melihat dari banyak aspek.
“Sepanjang budaya tidak bertentangan dengan Islam, tentu diperbolehkan, bahkan jika menjadi syiar Islam justru dianjurkan,” ujarnya.
Munawar mengingatkan masyarakat yang ikut ritual dan tradisi itu selalu mengingat jika Tuhan itu hanya Allah SWT dan bukan kepada yang lain.
“Menyembah juga hanya kepada-Nya, begitu pula meminta pertolongan. Berkah itu dari Allah, dapat diperoleh dengan cara-cara yang sudah ditentukan,” tuturnya.