Rusia dan Asia Tenggara merapat untuk jalin hubungan politik dan perdagangan multipolar
2025.03.07
Washington

Presiden Rusia Vladimir Putin dengan gamblang menggarisbawahi niatnya meningkatkan partisipasi di Asia Tenggara dengan mengirim seorang pejabat tinggi baru-baru ini untuk meningkatkan hubungan di kawasan tersebut, demi tujuan bersama mencapai tatanan dunia yang lebih multilateral, kata para analis kepada BenarNews.
Sekretaris Dewan Keamanan Sergei Shoigu berkunjung ke Indonesia dan Malaysia minggu lalu. Pertemuannya di kedua negara tersebut sejalan dengan keinginan ketiga negara untuk mendiversifikasi pasar dan pusat kekuatan di luar biner antara Washington dan Beijing, ujar Emil Avdaliani, seorang pakar hubungan internasional di Universitas Eropa di Tbilisi.
“Rusia menganggap Asia Tenggara sebagai salah satu pilar dalam tatanan dunia multipolar yang sedang berkembang. Ini berarti Moskow berupaya keras untuk membina hubungan politik dan ekonomi dengan ruang geopolitik yang dinamis ini,” kata Avdaliani kepada BenarNews.
Sanksi Barat terhadap Rusia setelah menginvasi Ukraina “berfungsi sebagai pendorong utama untuk melihat ke arah timur,” katanya.
“Rusia memahami bahwa Asia Tenggara berada dalam posisi yang sulit setelah invasinya ke Ukraina pada tahun 2022 dan Moskow berhati-hati untuk tidak memaksakan visinya di kawasan tersebut,” tambah Avdaliani.
“Rusia [juga] memahami bahwa Asia Tenggara punya kepentingannya sendiri, yang berarti [mereka mengikuti] kebijakan luar negeri multi-vektor, menyeimbangkan antara aktor-aktor besar dan tidak memilih pihak mana pun.”
Asia Tenggara bukanlah kawasan yang homogen. Ini berarti bahwa Filipina dan Singapura, negara-negara sekutu setia AS yang memberi sanksi kepada Moskow, mungkin menolak upaya Rusia memperluas jejak langkahnya di kawasan tersebut.
Keterlibatan Rusia yang diperbarui di Asia Tenggara mungkin membuat Manila tidak nyaman, karena kemitraan Moskow yang relatif baru dengan Beijing, yang oleh banyak orang disebut sebagai "aliansi yang menguntungkan."
Bagi Filipina, China adalah duri dalam daging karena China terus meningkatnya agresinya di Laut China Selatan, di mana kedua negara memiliki sengketa wilayah.
Namun, dalam tatanan dunia geopolitik yang terpecah-pecah dan penuh pertikaian, negara-negara yang bersekutu erat dengan Washington atau Beijing mungkin menyadari bahwa mereka perlu mandiri dalam menjaga kepentingan mereka.
Misalnya, utusan Manila untuk Washington, Jose Manuel Romualdez, mengatakan kepada wartawan awal minggu ini, bahwa negara-negara perlu "selalu siap ... untuk menyediakan sumber daya mereka sendiri" untuk melakukan yang terbaik bagi diri mereka sendiri.

Namun, negara-negara Asia Tenggara secara keseluruhan telah lama dianggap menerapkan kebijakan luar negeri yang praktis, dan ini menjadi daya tarik bagi Rusia, menurut analis Muhammad Waffaa Kharisma.
“[Mereka] tidak terlalu dibatasi oleh keputusan politik transatlantik atau Eropa,” kata peneliti di Centre for Strategic and International Studies di Jakarta kepada BenarNews.
“Sebagian besar negara berkembang di kawasan ini bisa sangat pragmatis.”
Data perdagangan mencerminkan pragmatisme kawasan tersebut.
Setelah sempat menurun akibat sanksi Barat pada Moskow setelah Februari 2022, perdagangan Asia Tenggara dengan Rusia terus meningkat.
Perdagangan Rusia-ASEAN meningkat 10% menjadi US$17 miliar pada periode Januari-September 2024, menurut kantor berita milik Moskow, Sputnik, yang mengutip pernyataan seorang menteri Rusia pada bulan November.
Perdagangan secara keseluruhan antara kedua belah pihak pada tahun 2023 berjumlah $15,8 miliar, menurut data ASEAN.
Negara-negara anggota ASEAN, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam, yang semuanya menyatakan tidak berpihak, meningkatkan perdagangan dengan Rusia, terutama tahun lalu.
Pemerintah Indonesia menunjukkan sikap menentang ketika ditanya tentang memperkuat hubungan dengan Rusia.
Selama hubungan tersebut saling menguntungkan dan "saling menghormati," tidak ada alasan untuk tidak memperluas hubungan, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat.
"Mengapa tidak bekerja sama dengan Rusia?" katanya kepada BenarNews. "Indonesia tidak terintimidasi oleh negara mana pun kita menjunjung tinggi kepentingan nasional kita."

Alexey Gruzdev, menteri industri dan perdagangan Rusia, mengatakan perdagangan meningkat karena kalangan bisnis Rusia telah "berhasil beradaptasi" dengan sanksi Barat, Sputnik melaporkan pada bulan November.
Analis mengatakan ada hal lain juga selain bisnis yang beradaptasi.
Rusia telah memanfaatkan sentimen anti-Barat yang berkembang, khususnya terkait konflik di Gaza, untuk meningkatkan citranya di Asia Tenggara, kata Radityo Dharmaputra, pakar Eropa dan Eurasia di Universitas Airlangga Indonesia.
Dukungan Moskow untuk rakyat Palestina sejalan dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia, yang telah mengutuk respon sekutu AS, Israel, yang mereka anggap tidak proporsional terhadap serangan 7 Oktober 2023 oleh militan Hamas.
"Narasi ini telah menjadi bagian inti dari strategi Rusia," kata Radityo.
"Dengan mempromosikan pesan anti-Barat... , Rusia secara efektif telah memenangkan dukungan, khususnya di Malaysia dan Indonesia."
'Memperluas rantai pasokan'
Selain itu, perdagangan dengan Rusia juga meningkat karena beberapa negara Asia Tenggara secara proaktif ingin mengakses pasar alternatif, kata Julia Roknifard, pakar hubungan internasional di Kuala Lumpur.
"Ini tentang diversifikasi rantai pasokan dari fokus tunggal pada mitra dagang terbesar," kata Roknifard, dosen senior di Sekolah Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan di Universitas Taylor, kepada BenarNews.
"Rusia, di sisi lain, tertarik pada produk dari industri semikonduktor Malaysia."

Menyusul peringatan dari Presiden baru AS Donald Trump untuk mengenakan pajak impor, dengan fokus pada negara-negara yang mengalami defisit perdagangan dengan Amerika – khususnya Vietnam, Thailand, dan Malaysia – pasar baru akan membantu meredakan potensi perlambatan perdagangan di Asia Tenggara.
Faktor BRICS
Strategi Rusia lainnya untuk mendekati Asia Tenggara adalah memasarkan BRICS, blok ekonomi berkembang yang didirikannya pada tahun 2006, sebagai jalur untuk menciptakan dunia multipolar.
Nama BRICS adalah singkatan dari nama negara-negara pendirinya yaitu Brasil, Rusia, India, dan China, serta Afrika Selatan, yang bergabung pada tahun 2010.
Peningkatan kerja sama dalam platform BRICS merupakan prioritas kebijakan luar negeri Moskow, kantor berita TASS mengutip pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov pada bulan April 2023.
Selama masa kepemimpinan Rusia tahun lalu, BRICS mengumumkan bahwa Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam akan menjadi negara mitranya.
Indonesia kemudian secara resmi bergabung dengan kelompok tersebut pada bulan Januari, dan menyampaikan "rasa terima kasih kepada Rusia" karena telah memfasilitasi keanggotaannya.

Mantan menteri luar negeri Malaysia, Syed Hamid Albar, mengatakan ASEAN perlu lebih banyak bekerja sama dengan BRICS untuk "melindungi" hubungan negara-negara Asia Tenggara dengan negara-negara besar dalam tatanan dunia yang terus berubah.
"Bagaimanapun, Rusia menyediakan ruang bagi negara-negara kecil dan besar untuk bergerak maju dari hegemoni dan beroperasi di bawah tatanan dunia baru dan multilateralisme," katanya kepada BenarNews.
Pergeseran kebijakan AS terhadap Ukraina
Sementara itu, langkah Washington yang membalikkan sikap permusuhannya kepada Moskow atas Ukraina akan memiliki implikasi di seluruh dunia, termasuk di Asia Tenggara, kata para analis.
Chester Cabalza, seorang pakar keamanan, berbicara tentang kemungkinan konsekuensi dari perubahan ini terkait dengan Filipina. Manila dan Washington terikat oleh perjanjian pertahanan bersama yang telah terjalin lama.
"Pejabat pertahanan AS masih bersikeras menyelamatkan hubungan pertahanan mereka dengan Filipina," kata Cabalza, seorang kepala lembaga kajian di Manila, International Development and Security Cooperation, kepada BenarNews.
Namun, perubahan Washington telah "secara harus mengingatkan Manila untuk mempraktikkan kemandirian," tambahnya.
Perubahan sikap Washington terhadap Ukraina juga dapat membantu perluasan hubungan Asia Tenggara dengan Rusia, kata Radityo Dharmaputra, pakar Eropa-Eurasia dari Universitas Airlangga.
"Sekarang tampaknya ada rasa lega di Asia Tenggara terkait hubungan AS-Rusia," kata Radityo, kepala Pusat Studi Eropa dan Eurasia di Universitas Airlangga, kepada BenarNews.
"Negara-negara ini tampaknya merasa yakin bahwa hubungan antara Washington dan Moskow telah membaik, yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan perdagangan dan hubungan diplomatik."
Iman Muttaqin Yusof di Kuala Lumpur, Tria Dianti di Jakarta, dan Jason Gutierrez di Manila berkontribusi pada laporan ini.