Revisi UU Kepolisian dikhawatirkan perluas kewenangan intelijen lembaga itu

Pengamat dan aktivis sebut ini berpotensi menjadikan Polri alat kepentingan penguasa.
Arie Firdaus dan Pizaro Gozali Idrus
2024.05.20
Jakarta
Revisi UU Kepolisian dikhawatirkan perluas kewenangan intelijen lembaga itu Polisi bersiaga dalam sebuah unjuk rasa menentang hasil Pemilu 2024 di sekitar gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta pada 19 April 2024.
Bay Ismoyo/AFP

Pengamat dan aktivis menyuarakan kekhawatiran tentang usulan revisi Undang-undang Kepolisian yang memberi lembaga itu wewenang lebih besar dalam melakukan pengawasan dan intelijen, tapi tidak memperkuat pengawasan memadai atas anggotanya.

Rancangan undang-undang yang akan dibahas di DPR pada hari Selasa (20/5) ini dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan wewenang lembaga lain dan disusun tanpa konsultasi publik yang memadai, kata aktivis dan pengamat.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai kewenangan lebih besar untuk melakukan penyadapan dan penggalangan intelijen berpotensi membuat kepolisian menjadi alat kepentingan penguasa.

"Kewenangan ini seperti memiliki muatan politis untuk menjaga kepentingan penguasa," kata Bambang kepada BenarNews.

Revisi UU Kepolisian semestinya berfokus pada substansi yang dapat memperkuat pengawasan dan reformasi di tubuh polisi, salah satunya penguatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), kata Bambang.

Selama ini, kata Bambang, Kompolnas tidak efektif karena perwakilan masyarakat sipil hanya 30 persen, sementara sisanya diisi oleh pemerintah dan kepolisian sehingga kemudian Kompolnas sangat tidak efektif dalam melakukan kontrol dan pengawasan.

“Peran Kompolnas seharusnya diperkuat, tapi saya tidak melihat itu di revisi UU Polri,” kata Bambang.

Beberapa pasal yang beroleh kritikan para pengamat dan pegiat hak asasi manusia, antara lain menyatakan bahwa tugas pokok kepolisian yakni melakukan kegiatan pembinaan, pengawasan, dan pengamanan ruang siber.

Draf RUU ini juga menyebutkan kepolisian juga dapat melakukan penyadapan dalam lingkup tugas. Selain itu, draf juga menyatakan Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri dapat melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen.

Ketentuan penyadapan tidak ada dalam UU Kepolisian tahun 2002, namun termaktub dalam beleid turunan yakni Peraturan Kapolri tahun 2010.

Indonesia sampai sekarang belum memiliki undang-undang khusus tentang penyadapan lantaran RUU Penyadapan masih mandek pada tingkat pembahasan di DPR.

Ardi Manto, peneliti dari Imparsial, sebuah lembaga pemantau hak asasi manusia, berpendapat Kompolnas semestinya diberikan kewenangan yang memadai seperti menindak pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh anggota kepolisian.

“Model pengawasan oleh Kompolnas saat ini sangat tidak memadai untuk mengawasi kerja-kerja kepolisian karena tidak memiliki kewenangan yang cukup dan terdiri dari unsur pemerintah,” kata Ardi kepada BenarNews.

Ia pun mendesak, tidak ada lagi keanggotaan Kompolnas yang berasal dari unsur pemerintah karena sangat rentan dipolitisasi.

Anggota badan legeslatif (baleg) DPR Guspardi Gaus enggan berkomentar banyak terkait revisi undang-undang kepolisian, dengan mengatakan, "Ini masih tahap kajian atau wacana."

"Tim ahli baleg memang sedang membahas revisi, tapi secara formal belum pernah ada pembahasan hal ini," kata Guspardi.

BenarNews menghubungi beberapa anggota baleg lain, tapi mereka tak merespons saat ditanya, atau berkelit dengan mengatakan belum mengetahui draf revisi tersebut.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad seusai rapat paripurna DPR hari Senin mengatakan revisi UU Kepolisian dilakukan untuk menyamakan aturan tentang penegak hukum.

"Ada permintaan untuk melakukan revisi Undang-Undang Polri dan TNI agar dapat sama dengan Undang-Undang Kejaksaan tentang masa pensiun dan masa berakhirnya jabatan fungsional," kata Dasco seperti dikutip Tempo.co seusai rapat paripurna.

Ia juga menyebut bahwa pembahasan revisi yang digelar di pengujung masa tugas tak bermuatan politis, dengan mengatakan bahwa pembahasan revisi tertunda semata-mata akibat pelaksanaan Pemilihan Umum 2024.

Revisi UU Kepolisian terakhir kali dilakukan pada 2002, setelah sebelumnya diubah pada 1961 dan 1997.

Sebelum akhirnya kini dibahas di baleg tahun ini, rencana revisi sempat juga disuarakan pada 2014, namun urung digelar dengan alasan menunggu pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.

Perubahan juga sempat mengemuka setelah kasus pembunuhan berencana yang dilakukan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Ferdy Sambo kepada seorang ajudannya pada Juli 2022.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya meminta DPR dan pemerintah untuk menghentikan sementara pembahasan revisi undang-undang itu serta meminta pelibatan akademisi serta kelompok masyarakat sipil dalam penggodokannya.

Dimas mengakui perkembangan teknologi memang telah memunculkan beragam risiko tindak pidana baru, namun ia menilai perluasan kewenangan Polri dalam dunia siber dapat memicu penyalahgunaan kewenangan.

Ia merujuk pada tindakan pembatasan akses internet secara masif di Papua usai pecah kerusuhan di wilayah itu pada 2021.

“Peristiwa itu menunjukkan bahwa pemblokiran, pemutusan dan perlambatan akses ruang siber dapat dengan mudah dilakukan secara sewenang-wenang dan merugikan masyarakat,” ujar Dimas kepada BenarNews.

Dia mengatakan terminologi “pengawasan” yang digunakan dalam draf tersebut berpotensi digunakan sebagai justifikasi menyerang masyarakat dan aktivis yang bersuara kritis di media sosial.

Dimas menilai revisi mekanisme pengawasan serta sanksi kepada anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran tidak dijalankan dengan ketat karena banyak dari mereka hanya dijatuhi sanksi etik, bahkan dalam beberapa kasus tidak dikenai sanksi sama sekali.

Menurut KontraS, sepanjang Januari-April tahun ini telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah mengenai klausa perpanjangan usia pension anggota kepolisian dari 58 menjadi 60 tahun, bahkan bisa mencapai 65 tahun bagi pejabat fungsional tertentu. Terkait hal itu para pengamat bersepakat rencana itu tidak memiliki dasar argumen yang kuat.

Dimas dan Bambang menilai perpanjangan usia pensiun justru akan menghambat regenerasi dan kaderisasi di tubuh kepolisian, padahal selama ini institusi itu telah mengalami masalah banyak perwira menengah dan tinggi yang tidak mendapat jabatan.

Sementara Ardi menilai perpanjangan usia pensiun akan berdampak pada pembengkakan anggaran kepolisian.

BenarNews menghubungi Juru Bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisno Andiko, tetapi belum beroleh balasan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.