Aktivis: Meski ada kemajuan, RUU KUHP masih mengandung pasal yang ancam kebebasan

RUU tersebut mengkriminalisasi “penghina” presiden/wakil presiden dan pelaku seks di luar nikah.
Tria Dianti
2022.12.01
Jakarta
Aktivis: Meski ada kemajuan, RUU KUHP masih mengandung pasal yang ancam kebebasan Para mahasiswa memegang spanduk mengecam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dipandang mengebiri kebebasan berpendapat dan mencampuri ranah privat masyarakat, di luar gedung DPR/MPR di Jakarta pada 30 September 2019.
[Adek Berry/AFP]

Meski ada perbaikan, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP/RKUHP) masih mempertahankan pasal-pasal yang dapat mengancam kebebasan, termasuk pidana untuk “penghinaan” terhadap presiden dan perbuatan zina, kata aktivis dan ahli hukum.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mensahkan RUU KUHP yang sudah memicu perdebatan selama bertahun-tahun itu sebelum masa reses 15 Desember, kata legislator kepada BenarNews.

Pakar Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, menilai adanya perbaikan dibandingkan dengan draf pada 2019 lalu karena adanya partisipasi dari berbagai ormas sipil.

“Ada perbaikan tentu saja karena ini ada kerja keras dari banyak pihak tapi harusnya lebih baik lagi pasal yang masih represif dan berpotensi nantinya menyempitkan ruang berpendapat di Indonesia, harusnya tidak boleh ada sama sekali,” katanya kepada BenarNews.

Pada Kamis (24/11) Komisi III DPR bersama pemerintah menyepakati RKUHP dibawa ke rapat paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang.

Keseluruhan sembilan fraksi menyetujui RUU tersebut termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan partai oposisi pemerintah, menyatakan setuju dengan sejumlah catatan.

Anggota Komisi III dari fraksi PKS, Dimyati Natakusumah mengatakan RKUHP akan segera disahkan dalam waktu dekat di sidang paripurna selanjutnya.

“Diharapkan sebelum reses Desember ini, tanggalnya belum ditentukan masih dirapatkan dengan badan musyawarah (Bamus) untuk diputuskan tanggal berapa,” kata Dimyati kepada BenarNews.

Dalam RKUHP ini juga mengatur hukuman mati yang hanya dimasukkan sebagai hukuman pidana alternatif dengan percobaan. “Jika dengan jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati diubah pidana seumur hidup, atau pidana 20 tahun," ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Omar Sharif Hiariej terkait RUU tersebut, kepada media, Selasa (29/11).

Pasal kontroversial

RUU KUHP pasal 218 menyatakan bahwa “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat” presiden atau wakil presiden dapat dipidana dengan hukuman penjara tiga tahun dan denda Rp200 juta.

Selain itu, pasal 219 juga melarang menempelkan menyiarkan gambar atau tulisan yang “menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden.”

Tindak pidana ini hanya dapat dituntut berdasarkan aduan oleh presiden atau wakil presiden sendiri baik secara langsung maupun tertulis.

Bivitri mengatakan pasal itu menjadikan RKUHP masih bersifat kolonial.

“Kalaupun pemerintah merasa terhina kan masih ada pasal hukum yang umum sekali untuk semua orang, pejabat pun bisa,” ujarnya.

“Cara pandang itu keliru, justru pejabat negara yang punya kekuasaan jadi gak perlu lagi diberikan privilege khusus melalui KUHP,” katanya.

Pasal lainnya yang jadi kontroversi adalah tentang perzinaan. Dalam pasal 413 (1), orang yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan dapat diancam pidana penjara selama satu tahun.

Sementara dalam pasal 414 (1) juga diatur mengenai orang yang tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan dapat dihukum 6 bulan penjara.

Peraturan tersebut merupakan delik aduan, yang berarti polisi hanya bisa melakukan penyidikan pidana bila ada pengaduan oleh suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan dan orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

Penambahan syarat itu dinilai sebagai kompromi terhadap kalangan konservatif dan liberal yang bertentangan pendapat soal seks di luar nikah.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Erasmus Napitupulu, menilai telah banyak masukan dan perbaikan yang diakomodir dalam RUU KUHP.

“Meskipun tidak sempurna, RKUHP versi November 2022 jauh lebih baik dan jelas rumusannya daripada RKUHP versi 2019 yang belum mengakomodir masukan masyarakat sipil,” ujar Erasmus, yang juga Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), kepada BenarNews.

“Pembatasan kebebasan berpendapat”

Hal berbeda disampaikan anggota Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan beberapa pasal di RUU “membatasi pendapat dari masyarakat.” 

“Kalau sampai disahkan maka berpotensi terjadinya pemberangusan terhadap kebebasan pers,” kata Arif dalam suatu diskusi di Jakarta.

Dia menyebut setidaknya ada 22 pasal yang dinilai bermasalah dan bisa mengekang kebebasan pers, salah satunya Pasal 309 dan 310 yang mengatur tentang pemidanaan terhadap pelaku yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang “mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat.”

Hal senada disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Sasmito Madrim

“Kalau pers diberangus, maka kualitas demokrasi menurun, dan fungsi kontrol jurnalis tidak bisa dilakukan. Berbagai kekerasan, korupsi, yang dilakukan pemerintah dan aparat tidak akan berhasil terungkap ke publik kalau pers nya dikendalikan,” kata dia.

Ia juga menilai ancaman pidana dan denda bagi pelaku demonstrasi tanpa pemberitahuan sangat merugikan masyarakat.

Peneliti sekaligus pegiat keterbukaan informasi, Ravio Patra, menilai ancaman yang kerap dirasakan publik dengan adanya RUU KUHP yang baru karena tidak pernah ada assessment tentang undang-undang dan bagaimana implikasinya kepada masyarakat.

“Kita lihat saja implementasinya itu jauh panggang dari api dan itu tidak ditindaklanjuti sama sekali sehingga berpotensi merenggut kebebasan individu tentang membuat pilihannya sendiri serperti dalam pasal perzinaan,” kata dia.

“Dari awal tim penyusun RUU tidak mau mengakui ada gap implementasi dan teori hukum untuk menyusun RUU nya. Sehingga dalam menyusun RKUHP baru, seperti tidak pernah ada, karena formulasinya mirip,” tambahnya.

September 2019, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memutuskan untuk menunda pengesahan RUU KUHP setelah adanya gelombang protes secara nasional dimotori aktivis HAM dan mahasiswa terhadap sejumlah pasal kontroversial terutama terkait kriminalisasi kepada mereka yang dinilai melakukan penghinaan terhadap presiden/wakil presiden dan perzinaan.

DPR secara resmi kembali melanjutkan pembahasan pada April 2020 dan ditargetkan selesai pada Juli 2022, namun RUU kembali batal disahkan, yang salah satu penyebabnya adalah karena terkait permasalahan pada pasal yang sama.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.