Empat Pelaut Indonesia Dibebaskan Perompak Somalia
2016.10.24
Jakarta
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, empat anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) berhasil dibebaskan dari perompak Somalia setelah disandera lebih empat tahun.
“Keempat sandera dibebaskan pada Sabtu, 22 Oktober 2016, sekitar pukul 13.00 WIB,” ujarnya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin.
Dia merincikan keempat sandera adalah Sudirman (24) dan Adi Manurung (32), kedua asal Medan, Sumatera Utara, Supardi (34) asal Cirebon, Jawa Barat, dan Elson Pesireron (32) asal Seram, Maluku.
Keempat WNI itu adalah bagian dari 26 sandera yang juga dibebaskan. Mereka berasal dari berbagai negara seperti Filipina, Kamboja, Thailand, China, dan Vietnam.
Mereka ditangkap saat kapal Naham III, yang mereka tumpangi dibajak di perairan dekat Kepulauan Seychelles, Samudera Hindia, 26 Maret 2012 lalu. Naham III merupakan kapal ikan buatan Taiwan yang dikelola perusahaan Oman.
Saat dibajak, Naham III mengangkut 29 kru, tapi sang kapten kapal tewas ketika pembajakan terjadi, sementara dua lainnya meninggal karena penyakit malaria selama ditawan, termasuk seorang WNI atas nama Nasirin asal Cirebon.
Retno melanjutkan, keempat kru WNI bersama 22 sandera lainnya telah tiba di Nairobi, Kenya pada 23 Oktober pukul 17.32 waktu setempat atau pukul 21.00 WIB.
Duta besar RI untuk Nairobi dan tim kementerian luar negeri yang dipimpin Direktur Perlindungan WNI telah berada di lokasi untuk menjemput keempat sandera tersebut.
“Kondisi sandera secara umum sehat. Saya telah berbicara langsung dengan salah satu dari keempat sandera yaitu Bapak Sudirman, kemarin malam pada pukul 21.45 WIB, 15 menit setelah mereka mendarat di bandara Nairobi,” ujar Menlu.
Segera pulang
Retno mengatakan bahwa mereka akan menjalani pemeriksaan kesehatan untuk proses pemulihan di Kenya.
“Diperkirakan akan diperlukan beberapa hari sebelum keempat eks sandera WNI itu dipulangkan ke Indonesia,” katanya.
Ia menambahkan, pihaknya juga sudah memberitahukan soal pembebasan ini kepada keluarga sandera.
“Pihak keluarga mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah termasuk di antaranya tantangan yang dihadapi pemerintah terhadap proses pembebasan. Komunikasi dilakukan sangat rutin dan intensif,” kata dia.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, mengatakan keempat sandera diketahui tercatat sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) resmi yang bekerja sebagai ABK Naham III.
Namun, pembebasan ini memakan waktu sangat lama karena melibatkan banyak negara dan berbagai pihak untuk melakukan upaya persuasif menghadapi penyandera.
“Pembicaraan dengan negara asal para ABK yang diculik itu dilakukan sangat intensif. Pemerintah Indonesia juga melakukan koordinasi dan kerjasama dengan LSM dan organisasi nirlaba dan dukungan PBB,” jelas diplomat yang dikenal dengan panggilan Tata.
Dia menegaskan tak ada uang tebusan yang dibayar pemerintah untuk membebaskan keempat sandera.
“Indonesia tidak pernah membayar kepada orang yang telah melakukan pembajakan. Itu posisi negara Indonesia. Saya tegaskan posisi pemerintah Indonesia selama ini tidak punya kebijakan membayar pembajak dengan uang,” ujarnya.
Lemahnya kemauan
Pakar terorisme dan inteligen dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, menilai bahwa lambannya proses pembebasan keempat sandera karena tidak ada kemauan serius saat awal pembajakan.
“Sebenarnya ini masalah goodwill saja, kalau pemerintah serius ya seharusnya sudah dari dulu bisa dibebaskan, karena mereka (perompak) itu hanya mengejar ransom money saja. Apakah pemerintah menghindari resiko untuk membayar tebusan kan bisa saja,” katanya kepada BeritaBenar.
Kasus serupa pernah terjadi saat kapal MV Sinar Kudus yang dioperasikan PT Samudera Indonesia dibajak di perairan Laut Arab pada 16 Maret 2011. Kapal itu bermuatan ferro nikel yang berlayar dari Sulawesi menuju Rotterdam Belanda.
Tapi, pemerintah kala itu memilih operasi militer untuk menyelamatkan para sandera. Terdapat 30 – 50 perompak yang berhasil dilumpuhkan oleh pasukan TNI, sementara seluruh sandera selamat.
Permasalahannya, lanjut Ridlwan, Naham III yang dirompak bukan merupakan kapal berbendera Indonesia. Sementara, dalam kapal itu ada ABK negara lainnya.
“Barangkali ada logika yang digunakan karena kapal Naham III itu dimiliki asing maka mereka (pengelola) yang harus bertanggung jawab,” katanya.
“Sementara logika lain berpendapat satu atau dua orang WNI yang butuh bantuan harus diselamatkan. Selain itu posisi sandera dibawa ke darat. Ini membuat situasi menjadi lebih rumit,” tambahnya.
Ridlwan menduga ada sejumlah uang yang dibayarkan untuk menyelamatkan sandera kapal tersebut.
“Sudah menjadi hal biasa seperti itu (membayar tebusan pada perompak Somalia). Ini operasinya hanya tiga bulan saja mulai dari Kemlu, upaya diplomasi dengan kelompok NGO dan lain-lain,” pungkasnya.
Seperti diketahui bahwa perairan Somalia dikenal paling rawan perompakan dan telah lama dihindari kapal-kapal Indonesia.
Berdasarkan data Oceans Beyond Piracy, dalam 15 tahun terakhir, lebih dari 3.000 pelaut menjadi korban aksi penyanderaan perompak saat melintasi perairan Somalia.