Malaysia: Telepon Permintaan Tebusan Dilakukan dari Filipina
2018.09.25
Kota Kinabalu, Malaysia
Keluarga dari dua nelayan Indonesia yang diculik di lepas pantai timur Sabah, Malaysia, awal bulan ini telah menerima permintaan uang tebusan sebesar 4 juta ringgit atau setara Rp14 miliar dari seorang yang menelepon dari Filipina dengan menggunakan bahasa Melayu, seorang pejabat keamanan Malaysia mengatakan, Selasa.
Penelepon meminta uang tebusan tersebut dibayar dalam mata uang Malaysia tetapi tidak menentukan tenggat waktu, kata Komisaris Polisi Sabah, Omar Mammah.
Telepon itu diterima istri salah satu korban di Sulawesi, kata Omar.
“Penelepon yang meminta uang tebusan kepada istri dari asisten kapten kapal itu berbicara dalam bahasa Melayu pada pukul 10:24 pagi pada tanggal 18 September,” kata Omar kepada BeritaBenar.
“Ada kemungkinan besar penelepon sempat berada di Sabah. Kami tidak mengabaikan kemungkinan ini. "
Para nelayan itu diculik pada 11 September dari kapal mereka yang berlabuh di dekat pulau Bodgaya, di lepas pantai timur negara bagian Sabah, menurut para pejabat. Dua anggota awak lainnya bersembunyi ketika dua pria bertopeng dari sebuah perahu naik ke kapal mereka.
"Kami percaya telepon itu dilakukan dari Filipina karena nomer yang digunakan dari negara tersebut," kata Omar kepada wartawan pada hari Selasa.
"Kami juga yakin akan ada negosiasi antara para penculik dan keluarga tentang tebusan."
‘Diculik dari perairan mereka’
Pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia yang bertanggung jawab terhadap perlindungan WNI di luar negeri, belum bisa dihubungi berkaitan dengan kepastian tentang telepon meminta uang tebusan tersebut.
"Semoga Kepolisian Sabah tidak hanya bisa meneruskan informasi permintaan tebusan dari penyandera, tapi juga bisa membebaskan dua nelayan WNI yang diculik dari perairan mereka," kata Lalu Muhammad Iqbal, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam sebuah pesan singkat kepada awak media.
Omar mengatakan pihak berwenang mengintensifkan upaya keamanan setelah menerima laporan dari nelayan tentang perahu yang tampaknya mengintai perairan Sabah yang dicurigai sedang menunggu peluang penculikan.
Empat hari setelah penculikan tersebut, tiga nelayan Indonesia yang telah ditawan oleh Abu Sayyaf selama 18 bulan dibebaskan. Abu Sayyaf adalah kelompok militan yang berbasis di Filipina selatan yang terkenal karena penculikan, pemboman dan pemenggalan tawanannya dalam dua dekade terakhir.
Seorang analis keamanan regional mengatakan pemerintah Indonesia tidak banyak mengeluarkan komentar atas pembebasan mereka.
“Kami tidak tahu persis apa yang terjadi karena pemerintah Indonesia tidak mengatakan apa pun tentang itu,” Lai Yew Ming dari Universiti Malaysia Sabah mengatakan kepada BeritaBenar.
“Beberapa pemerintah menekankan mereka memiliki kebijakan toleransi nol terhadap penculik, yang berarti tidak ada negosiasi sama sekali. Tapi apa yang terjadi di belakang layar bisa menjadi cerita yang berbeda. ”
Pada upacara serah terima ketiga sandera yang telah bebas tersebut dari Kemlu kepada keluarga mereka pada 19 September di Jakartaa, Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, AM Fachir, mengatakan ketiganya dibebaskan "dengan memanfaatkan aset yang kami miliki di lapangan dan dukungan dari pemerintah Filipina."
Dua terduga tewas
Pada 20 September, pasukan Komando Keamanan Sabah Timur (Esscom) telah menewaskan dua orang yang dicurigai bertindak sebagai informan bagi penculik, dalam pengejaran laut di Pulau Bohayan, juga di distrik Semporna, Sabah, tempat terjadinya penculikan pada 11 September tersebut.
Orang-orang itu, yang tidak membawa identitas tetapi tampaknya berusia 50-an, menembaki pihak berwenang ketika mereka berusaha melarikan diri dengan perahu mereka, menurut polisi, yang memburu mereka setelah menerima petunjuk dari penduduk setempat.
Esscom mencurigai warga setempat menyembunyikan para informan, kata Komandan Hazani Ghazali. Dia juga mengatakan para penculik bisa jadi anggota Abu Sayyaf.
"Gelombang penculikan tahun 2016 di Sabah terjadi karena Abu Sayyaf ingin membiayai operasi mereka selama perang Marawi pada 2017," katanya, mengacu pada pengepungan lima bulan oleh para militan yang berfiliasi dengan ISIS di kota Filipina selatan yang menewaskan total 1.200 orang .
Pada Juni 2017, Filipina, Malaysia, dan Indonesia meluncurkan patroli trilateral yang bertujuan mengamankan laut Sulu dan laut Sulawesi yang terletak di antara ketiga negara tersebut dari perompak dan militan.
Penculikan 11 September itu adalah yang pertama di wilayah tersembut dalam hampir 18 bulan, menurut pusat informasi yang berbasis di Singapura, Perjanjian Kerjasama Regional tentang Pemberantasan Pembajakan dan Perampokan Bersenjata terhadap Kapal di Asia (ReCAAP).
Tria Dianti di Jakarta turut berkontribusi pada laporan ini.