Kursus Ibrani, Langkah Bernyali Sapri Sale
2018.03.20
Jakarta
Sapri Sale mengulang wejangannya saban kali mendapati ada murid yang menulis ulang pelajaran di buku catatan.
"Ingat," kata pria 52 tahun itu memberi penekanan, "Jangan ditulis dalam huruf Latin."
Beroleh amaran, empat siswa yang duduk menyebar di meja bersusun seperti huruf "O" hanya diam, larut dalam catatan masing-masing.
Dia kembali berbicara, menyuarakan harapan, "Saya akan buktikan bahwa belajar Ibrani itu mudah."
Begitulah sekilas suasana belajar mengajar bahasa Ibrani yang digelar di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Jakarta, Senin malam, 19 Maret 2018.
Kendati perintah sering berulang kali diutarakan, sejatinya tidak ada ketegangan dalam kelas. Sapri selaku pamong banyak tersenyum dan meladeni setiap pertanyaan.
Sering pula lelaki kelahiran Palu, Sulawesi Tengah, itu mengangkat-angkat tangannya, sebagai tanda kepada peserta kursus untuk lebih berani bersuara, merespons guratan di papan tulis.
Kegagapan memang lumrah setiap kali Sapri menuliskan sesuatu. Butuh beberapa detik untuk setiap guratan Sapri, baru ada balasan. Itupun secara samar. Namun, Sapri tetap sabar.
Seorang siswa yang enggan disebutkan namanya, mengakui kesabaran dan ketekunan Sapri dalam mengajarkan Ibrani.
"Cara mengajarnya juga enak," kata lelaki yang berprofesi sebagai karyawan swasta itu.
Kursus Ibrani yang dihelat Sapri di ICRP berlangsung dua kali sepekan, Senin dan Rabu, yang dibagi dalam sesi petang dan malam.
Saat BeritaBenar turut menghadiri kelas malam, tiga peserta tak menghadiri kelas. Satu orang datang untuk pertama kalinya, padahal kursus telah berlangsung tiga kali.
Tapi alih-alih menanyakan musabab ketidakhadiran peserta baru, ia justru meledek para peserta lain.
"Awas, nanti kesalip," ujar Sapri, disambut tawa para murid lain.
Menolak stigma
Ketertarikan Sapri dengan Ibrani bermula saat kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo di Mesir pada 1989.
Kala itu, hubungan Mesir dan Israel tak sepenuhnya harmonis kendati secara resmi berhubungan diplomatik. Mayoritas warga Mesir, kata Sapri, memandang negatif keberadaan Israel dan Yahudi.
“Yahudi dan Israel seperti hantu,” katanya.
Bukannya turut larut dalam stigma kebanyakan, rasa penasaran Sapri justru tumbuh. Ia tertarik mencari tahu perihal Israel dan Yahudi.
Baginya, tidak mungkin suatu bangsa sepenuhnya berlumur keburukan, tanpa kebaikan, termasuk Israel.
“Masa jelek semua. Dalam nalar saya begitu,” tuturnya.
Sapri pun mulai mencari tahu tentang Yahudi dan Israel, salah satunya melalui buku dan sumber tertulis dalam bahasa asli bangsa tersebut, yakni Ibrani.
Namun upaya itu tak berjalan mulus, karena tidak ada kursus Ibrani di Mesir. Pusat kebudayaan Israel yang diharapkan Sapri menggelar kursus bahasa, ternyata hanya melaksanakan serangkaian seminar.
Tak patah arang, Sapri kemudian belajar secara otodidak dan mandiri. Kenekatan yang cukup membuahkan hasil, karena dia mulai menguasai Ibrani, meski seadanya.
Selepas kuliah pada 1996, Sapri pindah ke Lebanon. Harapannya sempat tumbuh seiring kepindahan ke negara di utara Israel itu. Tapi, ternyata, masyarakat Lebanon dan Mesir tidak jauh berbeda, memandang Israel secara negatif.
Barulah setelah pindah ke Amerika Serikat, usai menetap empat tahun di Lebanon, dia bisa mempelajari Ibrani secara leluasa.
Tapi, tantangan hadir dalam wujud lain. Sapri banyak mendapat kecurigaan karena latar belakangnya yang Muslim dan bisa berbahasa Arab.
“Karena aneh, ada Muslim bisa Arab dan Ibrani sekaligus,” kenangnya.
Beruntung tidak ada ancaman fisik menghampirinya selama 15 tahun tinggal di Amerika, yang bekerja sebagai staf di kedutaan Belgia. Sesekali memang ada ledekan, tapi Sapri tak menanggapi serius.
Pengalaman tak jauh berbeda dialaminya setelah mudik ke Indonesia pada 2015 lalu. Kepiawaiannya berbahasa Ibrani tak jarang membuat orang menudingnya antek Yahudi.
“Sering nama saya dipelesetkan, dari Sapri Sale menjadi Sapri Yahudi,” ujarnya, sambil tergelak.
Sejauh ini, dia tak merasa terganggu. Baginya, keinginan untuk menyebarluaskan Ibrani ke masyarakat Indonesia jauh besar ketimbang ketakutan.
Karyawan sebuah perusahaan swasta itu juga menepis tindakannya berkaitan dengan politik, atau wujud dukungan terhadap Israel atas pendudukan tanah Palestina — yang banyak ditentang masyarakat Indonesia.
Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik.
“Wajar stigma buruk Israel muncul di sini, karena rasa simpati terhadap Palestina yang merembet ke hal-hal yang tidak perlu,” katanya.
Tidak negatif
Manajer Program ICRP, Nur Habibi Rifai berharap masyarakat Indonesia tak memandang negatif kursus Ibrani. Menurutnya, yang dilakukan Sapri semata-mata demi memperluas wawasan.
Motif itu pula, kata Habibi, membuat ICRP menyediakan tempat untuk Sapri menggelar kursus.
“Sesuai tujuan kami, mempromosikan perbedaan,” katanya. “Jika ada yang keberatan, ayo, belajar bersama.”
Segendang sepenarian penilaian pengamat Timur Tengah Faisal Assegaf yang menyebut masyarakat Indonesia tak perlu risau dengan keberadaan kursus ini.
“Ini sama posisinya dengan orang Indonesia, misal, mempelajari Mandarin atau Jepang,” katanya.
“Malah, kalau pun merasa Yahudi sebagai musuh, keberadaan kursus membantu karena Muslim bisa mencari tahu tahu soal Israel langsung dari literatur mereka, tanpa melalui media Barat.”
Baik Habibi atau Faisal berharap kursus ini dapat terus digelar. Apalagi ini adalah kursus Ibrani pertama kepada publik di Indonesia. Begitu pula keinginan Sapri.
Sebagai bekal awal, Sapri telah menerbitkan dua buku mengenai Ibrani, yaitu kamus Indonesia-Ibrani yang dirilis Februari 2017 dan percakapan sehari-hari dalam Ibrani, diterbitkan tujuh bulan setelahnya.
Sapri mengaku tengah menyusun buku ketiga yang rencananya dirilis pada September mendatang.
Beberapa pemodal sudah menaruh minat untuk membiayai penerbitan buku itu, seperti Kementerian Luar Negeri Israel dan Kedutaan Besar Israel di Singapura.
“Tapi saya lebih senang independent begini,” pungkasnya.