Putusan MK Tumbuhkan Harapan Penghayat Kepercayaan
2017.11.20
Surabaya
Sanggar Candi Busana di kawasan Lebak Jaya Surabaya, Jawa Timur, ramai, Kamis malam, 17 November 2017, karena warga (jemaat) Sapto Darmo – penghayat kepercayaan terbesar di Indonesia - menggelar kegiatan sujud kepada Tuhan.
Dalam tradisi dan kepercayaan penganut Sapto Darmo, Kamis malam atau jelang hari Jumat merupakan saat turunnya wahyu sujud dari Tuhan.
Sujud itu merupakan kegiatan rutin Sanggar Candi Busana sejak lama, yang diikuti puluhan warga Sapto Darmo.
Naen Suryono, seorang tokoh Sapto Darmo, mengaku kegiatan semacam ini tidak hanya di Sanggar Candi Busana saja, melainkan juga di sanggar lainnya yang ada di Surabaya.
Naen yang menjabat Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Pusat itu menjelaskan bahwa di Surabaya terdapat 45 sanggar Sapto Darmo.
“Total seluruh Indonesia ada 769 sanggar, mereka tersebar di 17 provinsi. Jumlah warga Sapto Darmo di Surabaya antara 7.500 hingga 15.000 orang,” katanya pada BeritaBenar.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembatalan Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan, menjadi pemicu munculnya semangat dan gairah baru bagi warga Sapto Darmo dan penghayat kepercayaan lain di Indonesia, tambahnya.
Keputusan tersebut membolehkan penghayat kepercayaan untuk menuliskan ajaran keyakinannya pada kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan tidak harus memilih salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah.
Stigma dan diskriminasi
Sebelum ada putusan MK pada 7 November lalu, menurut Naen, mereka banyak mengalami tindakan diskriminasi dari aparatur pemerintahan.
Dia menyontohkan, saat membuat KTP, mereka harus memilih satu dari enam agama yang diakui negera – Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu.
“Kalau ingin mengubah data, petugas di kelurahan dan kecamatan selalu mengatakan belum bisa dilakukan,” tutur Naen.
Hak sipil lain yang jadi persoalan adalah ketika hendak menggelar perkawinan. Di beberapa daerah, pemerintah setempat belum mengakui dan tak bisa menerima perkawinan antar-penghayat kepercayaan.
“Khusus perkawinan di Kota Surabaya tidak ada masalah, tapi tidak di daerah lain,” katanya.
Diskriminasi yang dinilai paling fatal selama ini ada di dunia pendidikan. Siswa penghayat kepercayaan diminta mengikuti pelajaran salah satu agama.
“Untuk kepangkatan PNS, penganut penghayat kepercayaan tidak akan mungkin menduduki jabatan strategis. Begitu juga kalau masuk ke TNI dan Polri. Selama ini mereka menilai kolom KTP yang kosong memiliki stigma negatif, dan ada anggapan jika para penghayat kepercayan masuk golongan atheis,” jelas Naen.
Otto Bambang Wahyudi, Ketua Presidium II MLKI Jawa Timur menyebut di beberapa tempat terjadi pembakaran sanggar Sapto Darmo seperti Rembang, Jawa Tengah, dan Jember, Jawa Timur.
Selain itu, katanya, pendirian sanggar dipersulit. Warga penghayat kepercayaan juga pernah mengalami kesulitan saat pemakaman ketika meninggal dunia.
Menurut Otto, diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan sudah terjadi sejak Orde Lama.
“Ketika Orde Lama pernah muncul UU Pencegahan Penyalahangunaan dan/atau penodaan agama (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965. Saat peristiwa PKI, kami dicap komunis,” jelasnya.
“Lalu, saat Orde Baru ada TAP MPR No 4 tahun 1978 yang ada poin menyebut kepercayaan terhadap Tuhan YME bukan agama dan tidak diperbolehkan ada agama baru di Indonesia.”
Sri Sulastri, salah satu penganut Sapto Darmo mengaku sebelum ada peraturan administrasi kependudukan, saat mengisi kolom agama dengan penghayat kepercayaan selalu tidak bisa dengan alasan komputer error.
Namun semenjak ada aturan itu, perubahan di kolom agama tak ada persoalan dan mudah dilakukan, katanya.
Pasca putusan MK
Pasca adanya ketetapan MK tersebut, Naen mengatakan, MLKI akan menindaklanjutinya, dengan segera menggelar rapat dengan kementrian terkait untuk mendapatkan petunjuk pelaksanaan hasil putusan itu.
Kepada para penganut penghayat kepercayaan, MLKI meminta agar melakukan perubahan identitas kependudukan pada kolom agama di KTP.
Menurutnya, keputusan MK jelas sangat membahagiakan, karena telah memberikan ruang kepada penghayat kepercayaan untuk mengekpresikan diri sendiri.
“Sebelumnya, banyak orang kadang-kadang merasa takut dan tidak bisa mengekspresikan diri secara bebas. Putusan MK menambah semangat warga Sapta Darmo dan penghayat kepercayaan lain,” katanya.
Tentangan
Tapi, harapan warga Sapta Darmo dan penghayat kepercayaan tampaknya tak akan berjalan mulus karena ditentang sejumlah pihak, terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketua Umum MUI, Ma'ruf Amin menyebut, putusan MK tentang penghayat kepercayaan tak mempertimbangkan kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Menurutnya, putusan itu bisa menuai persoalan di tengah publik.
"MK membuat keputusan yang hanya semata-mata berpegang kepada prinsip perundang-undangan, tanpa memperhatikan kesepakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya seperti dikutip dari laman Kompas.com.
Kesepakatan yang dimaksud Maruf adalah salah satu identitas setiap warga negara adalah agama, bukan aliran kepercayaan. Sehingga, dia mengkhawatirkan akan muncul gejolak di tengah masyarakat.
Sedangkan Ketua MUI Jawa Timur, Abdushommad Buchori, menolak berkomentar terkait hal itu dan hanya menyatakan MUI Pusat akan melakukan koordinasi lebih lanjut.