Terpuruknya SDM dan Sektor Ketenagakerjaan, Picu Ketimpangan Ekonomi

Laporan Oxfam dan INFID mencatat harta empat orang terkaya Indonesia setara 100 juta orang miskin.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.02.23
Jakarta
170223_ID_gap_620.jpg Dalam foto yang diambil 23 Februari 2017 ini, tampak gedung pencakar langit di belakang rumah-rumah penduduk di Jakarta.
AFP

Sumber daya manusia dan sektor ketenagakerjaan yang tidak mapan berdampak besar terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia, demikian disampaikan sejumlah pakar dalam acara peluncuran laporan kajian dua lembaga nirlaba OXFAM dan INFID di Jakarta, Kamis 23 Februari 2017.

Sugeng Bahagijo, Direktur Eksekutif INFID, forum LSM internasional untuk pembangunan Indonesia, mengatakan kebijakan SDM dan ketenagakerjaan merupakan lokomotif ekonomi dan jaminan satu-satunya agar Indonesia bisa mencapai ekonomi inklusif, kualitas hidup yang maju dan bersaing dalam 15 tahun ke depan.

“Tujuan dari kebijakan pemerataan pembangunan – bukan kesetaraan absolut – terjadinya mobilitas sosial, terutama dari kelompok 40 persen termiskin, sehingga semua keluarga dan anak-anak Indonesia dari golongan miskin, wilayah terpencil maupun perkotaan memperoleh kesempatan setara untuk pelatihan, beasiswa, pendidikan kompetensi dan akhirnya mempunyai pekerjaan yang layak,” ujar Sugeng.

Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri, yang hadir sebagai panelis, setuju bahwa sektor ketenagakerjaan berkontribusi besar terhadap ketimpangan sosial di Indonesia.

Menurutnya, saat ini 60 persen angkatan kerja Indonesia didominasi lulusan SD-SMP, sehingga tingkat kompetensi yang dimiliki mereka rendah.

Karena itu, pihaknya terus mendorong program penguatan akses dan mutu pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi mereka.

"Kesenjangan kompetensi memegang peranan kunci terhadap kesenjangan sosial-ekonomi," ujarnya.

Data Badan Pusat Statistik per November 2016 menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja, atau mereka yang berusia 15 tahun ke atas, di Indonesia sebesar 125,44 juta orang, meningkat 3,06 juta dari 122,38 juta di bulan yang sama tahun 2015.

Dari jumlah angkatan kerja tersebut, 7,03 juta atau 5,61% di antaranya tidak bekerja, sementara sektor pertanian menyerap tenaga kerja terbanyak dengan jumlah 37,77 juta.

Keberadaan populasi pemuda yang besar, tapi menganggur atau bekerja dengan upah pas-pasan, rentan berdampak negatif. Mereka, seperti misalnya, mudah digoda ideologi ekstrim dan bersedia menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya, demikian kata Sugeng.

Ketimpangan ekonomi

Laporan OXFAM dan INFID yang dikerjakan selama empat bulan dan diluncurkan dalam seminar “Menuju Indonesia yang Lebih Setara” itu juga mengatakan bahwa ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin makin lebar dan Indonesia berada pada peringkat keenam dalam kategori ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia.

Pada 2016, sebanyak 1 persen individu terkaya dari total penduduknya menguasai 49 persen total kekayaan dan kekayaan kolektif empat miliarder terkaya di Indonesia tercatat sebesar $25 miliar, lebih besar dari total kekayaan 40 persen penduduk termiskin di Indonesia yang berjumlah sekitar 100 juta orang.

Restruktusi pajak

Menurut Sugeng, disamping SDM dan ketenagakerjaan, ketimpangan ini bisa diperkecil dengan memperbarui kebijakan pajak sesuai potensi ekonomi indonesia, sesuai besaran jumlah golongan kaya dan super kaya serta berdasarkan prinsip pembagian beban yang adil dan bermanfaat.

Anggoro Budi Nugroho, ekonom pada Sekolah Bisnis dan Manajemen Pascasarjana Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan perlu ada restrukturisasi kebijakan pajak untuk memperkecil ketimpangan.

“Restrukturisasi pajak akan menyokong realokasi kekayaan kepada pembangunan infrastruktur dan basis industri yang berpengganda tinggi bagi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja,” ujarnya saat dihubungi BeritaBenar.

“Sehingga, setidaknya nanti 40 persen rakyat yang hidup dengan Rp 330,776 per bulan dapat ditekan jumlahnya,” tambahnya.

Ekonomi berkeadilan

Untuk mengatasi ketimpangan sosial, pemerintah akhir bulan lalu telah meluncurkan program besar Kebijakan Ekonomi Berkeadilan.

“Kebijakan ini bersifat aksi afirmatif untuk mencegah terjadinya reaksi negatif terhadap pasar, terhadap sistem demokrasi, sekaligus mencegah terjadinya friksi akibat konflik sosial di masyarakat,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, di Istana Bogor, 31 Januari lalu.

Darmin mengatakan kebijakan ini mencakup tiga area pokok, yakni berbasis lahan yang meliputi antara lain reforma agraria, pertanian dan nelayan, berbasis kesempatan dan berbasis peningkatan kapasitas SDM.

Akses lahan

Laporan Oxfam juga menyebutkan bahwa kurangnya akses terhadap lahan adalah faktor lain yang berkontribusi terhadap ketimpangan dan pada umumnya, petani kecil di Indonesia menggarap rata-rata kurang dari 0,25 hektar lahan.

Agusdin Pulungan, Presiden Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti), menyebutkan penguasaan lahan yang didominasi segelintir pihak menyebabkan orang kebanyakan tidak punya akses terhadap lahan dan segala sumber daya alam yang ada di dalamnya.

“Perlu ada perubahan radikal dalam peraturan perundangan agraria, agar ada perubahan dan keseimbangan pemilikan lahan antara rakyat dan pemilik modal,” ujar Agusdin kepada BeritaBenar.

“Hal itu juga untuk menjaga agar sumber daya agraria tidak hilang, tidak terkuras akibat eksploitasi, dan untuk memastikan Indonesia masih ada lahan agraria yang bisa digarap oleh rakyat di tahun-tahun mendatang.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.